Refleksi Pemikiran Riri Satria tentang Masa Depan Buku di Era Digital dan Masyarakat Cerdas 5.0

Share on facebook
Share on twitter
Share on linkedin
Share on whatsapp
Share on telegram

Oleh Rissa Churria, S.Ag., M.Pd.

SEPERTI kita ketahui bersama bahwa buku adalah jendela literasi dunia. Tanpa ke mana-mana dengan membaca buku kita bisa keliling dunia, mengikuti perkembangan dan peradaban dunia hanya dengan membaca.

Pada tanggal 17 Mei 2024 yang lalu, saya menghadiri acara Peringatan Hari Buku Nasional 2024 Festival Buku Sastra: “Aku, Buku, dan Sebuah Puisi Cinta”, di Taman Ismail Marzuki (TIM), Jakarta. Acara ini digagas dan diselenggarakan Masyarakat Pencinta Seni Indonesia (MPSI) didukung Dinas Perpustakaan dan Kearsipan (DISPUSIP) Jakarta, serta Unit Pengelola Pusat Kesenian Jakarta Taman Ismail Mazuki (UPPKTIM). Acara ini menarik karena menampilkan pameran poster sampul 100 buku yang fenomenal dalam sejarah sastra di Indonesia, di samping talkshow serta acara lainnya.

Saya menyimak talkshow yang membahas tentang buku dan minat baca yang menampilkan dua narasumber, yaitu Budayawan Taufik Rahzen serta Helmi Haska. Di samping kedua narasumber terdapat penanggap yang tak kalah menariknya menyampaikan pendapat dari sudut pandang yang berbeda.

Menurut saya, berbicara tentang buku tidak dapat dipisahkan dengan zaman atau peradaban di mana buku tersebut berada. Sebelum manusia mampu membuat mesin cetak, maka definisi buku adalah tulisan di daun lontar, kulit kayu, dan sejenisnya. Setelah adanya mesin cetak yang pertama kali dibuat tahun 1440 oleh Johannes Gutenberg dari Kota Mainz, Jerman, maka buku dalam wujud tulisan di atas kertas mulai dikenal, demikian pula surat kabar, serta berbagai dokumen lainnya. Namun, di era digital atau masyarakat cerdas 5.0 saat ini, definisi buku juga sudah berubah, tidak semata tulisan yang dicetak di atas kertas, melainkan juga dalam bentuk berkas digital yang kita kenal dengan istilah e-book.

Buku mengalami peralihan makna, dari wujud menjadi konten. Kalau di masa lalu bahkan sampai saat ini membawa buku berarti membawa sejumlah kertas yang dijilid di mana terdapat tulisan di dalamnya. Ke depanya menurut saya tidak demikian lagi. Buku adalah konten atau isi bacaan, sementara wujudnya bisa apa saja, mau kertas atau digital, semua juga namanya buku.

Saya sendiri adalah Generasi X yang mengalami masa peralihan peradaban dari era sebelum digital ke era digital. Berbagai literatur menyebutnya digital migration atau migrasi digital. Ini bukanlah migrasi dalam pengertian perpindahan penduduk, melainkan migrasi atau perpindahan peradaban ke era digital. Sementara itu generasi yang lahir belakangan, yaitu Generasi Z seringkali disebut digital natives atau born digital, yaitu sudah mengenal dunia digital sejak mereka lahir. Sedangkan Generasi Y yang berada di tengahnya masih termasuk generasi peralihan atau migrasi digital dan sudah mulai mapan disbanding Generasi X.

Salah seorang penanggap yang saya simak dengan seksama adalah Riri Satria, seorang pakar teknologi dan transformasi digital, Dosen Fakultas Ilmu Komputer Universitas Indonesia, pencinta puisi sekaligus Ketua Komunitas Jagat Sastra Milenia (JSM). Kehadiran sosok Riri Satria ke dalam dunia sastra di Indonesia ini sangat menarik, karena beliau mengajak para sastrawan untuk berkenalan dengan dunia digital lebih jauh dan mendalam. Dunia sastra yang merupakan dunia tulis-menulis tidak akan lepas dari pengaruh digital ini. Dalam berbagai kesempatan ia memberikan pencerahan bagaimana gelombang kemajuan tenologi akan mengubah dunia tulis-menulis, termasuk dunia kepenyairan dan sastra dengan munculnya teknologi kecerdasan buatan atau artificial intelligence (AI), metaverse, nonfungible token (NFT) untuk karya seni, novel yang berbentuk hypertext di jagat digital, dan sebagainya.

Setidaknya terdapat empat poin penting yang disampaikan Riri Satria terkait buku di era digital atau masyaraka cerdas 5,0.

Pertama, sangat dapat dipahami mengapa banyak orang yang “menangisi” bahkan “meratapi” hilangnya buku serta surat kabar atau tercetak tergerus perkembangan teknologi saat ini. Mengapa demikian? Karena mereka adalah Generasi X atau mungkin generasi sebelumnya, yaitu Baby Boomers. Bahkan mereka menyebutnya ini sebagai kemunduran peradaban. Padahal yang terjadi justru mereka sulit beradaptasi dengan perkembangan peradaban, yaitu migrasi ke era digital. Tetapi cobalah tanya kepada Generasi Z atau Generasi Y fase akhir, mereka sama sekali tidak merasa kehilangan apa-apa, serta tidak memperdulikannya, karena buku versi digital adalah hal yang sudah lazim buat mereka. Kebetulan yang hadir dalam acara talkshow ini adalah Generasi X, narasumbernya Generasi X, demikian pula audiensnya. Kalau ada Generasi Z di sini, mereka pasti akan bingung, ini diskusi tentang apa sih?

Kedua, sangat keliru mengatakan bahwa semakin berkurangnya buku cetak di kertas itu menandakan turunnya minat baca masyarakat, apalagi sampai memvonis terjadinya kemunduran peradaban pada generasi muda. Sesungguhnya ini adalah bentuk arogansi generasi tua kepada generasi muda, di mana generasi tua tidak mampu atau bahkan tidak paham dengan perkembangan peradaban ke era digital, termasuk e-book, lalu sibuk menyalahkan situasi di sana-sini. Saat ini orang sudah bisa membawa buku melalui layar gadget berupa ponsel, tab, serta laptop. Buku cetak saat ini hanya berfungsi sebagai pilihan, legacy, atau hanya sekedar koleksi seperti barang di museum.

Ketiga, perlu edukasi yang masif kepada masyarakat bahwa melalui gadget berupa ponsel, tab, serta laptop, kita dapat membaca berbagai buku dalam wujud e-book bahkan memilihnya dengan cepat sesuai kebutuhan, juga membaca berita terbaru dengan cepat melalui berbagai media daring dari seluruh dunia, mencari jurnal ilmiah penelitian terbaru dengan cepat dan akurat melalui search engine, mengikui kuliah dari berbagai profesor top dunia mengenai hal-hal baru di dunia ini, bahkan sampai dengan membaca Kitab Suci. Kita perlu mengedukasi masyarakat tentang manfaat gadget ini untuk pengembangan diri secara positif.

Keempat, jangan jadikan teknologi sebagai “musuh”. Sesungguhnya teknologi itu ada untuk memudahkan manusia. Jangan benturkan teknologi dengan kebudayaan dan peradaban, karena teknologi ini membawa peradaban manusia menjadi lebih baik dan kebudayaan secara luas akan semakin kaya. Mari kita beradaptasi dengan teknologi, bukan menghindar dari teknologi.

Saya sepakat dengan Bang Riri, demikian saya biasa memanggil Riri Satria. Perkembangan teknologi adalah sebuah keniscayaan, justru kemampuan manusia untuk beradaptasi yang sangat dibutuhkan.

Sejarah (contohnya dalam peradaban Islam) menunjukkan bahwa pada abad ke VIII peradaban Islam mengalami perubahan pesat karena berbagai kajian dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologinya. Ini dibuktikan dengan banyaknya ilmuwan-ilmuwan Islam yang terkenal tulisannya pada masa itu, misalnya dalam bidang astronomi, al-Battn (Albategnius) dapat menghasilkan tabel-tabel astronomi yang sangat akurat pada sekitar tahun 900 M, juga dalam bidang kedokteran seperti Abu Bakar Muhammad bin Zakariyya al-Razi atau Rhazes (250-313 H/864-925 M atau 320 H/932 M) , Ibn Sn atau Avicenna (1037 M), Ibn Rushd atau Averroes (1126-1198 M), Ab al-Qsim al-Zahrw (Abulcasis), dan Ibn uhr atau Avenzoar (1161 M). Ini menyebabkan terjadinya perubahan peradaban dalam Islam yang mengadopsi perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, terutama dalam bidang kesehatan atau kedokteran. Jadi perubahan itu adalah suau keniscayaan dari Allah Swt.

Saya ingin menutup tulisan ini dengan mengutip ucapapan Bang Riri, “Peradaban manusia maju karena perubahan. Namun, ada empat sikap manusia terhadap perubahan. Ada yang pro, ada yang kontra. Semua tergantung sudut padang mereka. Pertama, mereka yang menolak perubahan. Kedua, mereka yang hanya menyaksikan perubahan. Ketiga, mereka yang mengikuti perubahan bahkan mampu memanfaatkan perubahan. Keempat, mereka yang menciptakan perubahan dan membuat dunia tercengang. Kita termasuk ke dalam kategori yang manakah?”

Mari gemar membaca agar tak padam cahaya dunia! (*)

Untuk keterbacaan teks dan tampilan website majalahelipsis.com yang lebih baik, sila unduh aplikasi majalah elipsis di Google Play atau APP Store, tanpa memerlukan login. Kirim naskah ke majalah digital elipsis (ISSN 2797-2135) via email: majalahelipsis@gmail.com. Dapatkan bundel digital majalah elipsis (format PDF 100 halaman) dengan menghubungi redaksi di nomor WhatsApp 0856-3029-582. Ikuti laman media sosial Majalah Elipsis (Facebook) atau @majalahelipsis.

Subscribe To Our Newsletter

Get updates and learn from the best

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Download versi aplikasi untuk kenyamanan membaca