Jadi Penulis Harus “Tahan Banting” (5)

Share on facebook
Share on twitter
Share on linkedin
Share on whatsapp
Share on telegram

Oleh Muhammad Subhan

MASIH tentang dukungan keluarga saat seorang penulis (pemula) memilih jalan menjadi penulis. Intinya, jangan ambil pusing. Kalau pusing, semangat akan luntur. Tekad dan mimpi terkubur. Kalau itu terus berlarut, bisa dihinggapi penyakit “3S”: Stres, Stroke, Stop!

Stres membuat pikiran rusak. Bawaannya marah saja. Wajah cemberut. Umur baru 20-an tahun, tetapi muka sudah seperti orang 50-an tahun.

Stroke sudah pasti membuat diri tidak bisa melakukan apa-apa. Bergerak susah, bicara payah. Terbaring kaku di ranjang. Malah makin menyusahkan keluarga. Sekarang banyak orang berusia muda sudah terserang stroke. Penyebabnya, bukan semata soal makanan, tetapi juga salah mengelola pikiran.

Stop, ini yang lebih parah. Sudah habis usia. Menjadi warga alam baka. Si penulis (pemula) tidak akan pernah menikmati hasil suksesnya menerbitkan buku; dikenal, mendapatkan finansial jika diniatkan untuk itu, berkesempatan berplesiran, maupun bermacam manfaat lainnya.

Pendek kata, segala ujian dan cobaan tak perlu diambil pusing. Nikmati saja sambil makan bakso. So, mereka yang menguji (meragukan, mengkritik, bahkan menjauhi karena perbedaan ideologi), semata hanya karena ingin tahu seberapa kuat si penulis (pemula) bertahan. Semakin kuat, semakin besar peluangnya untuk sukses. Badainya, tentu jauh lebih kuat.

Kalau si penulis (pemula) anak sekolahan, ia tidak akan pernah naik kelas kalau tidak ikut ujian. Apalagi kalau tidak sungguh-sungguh belajar, banyak main, atau malah bolos di saat kawan-kawannya mengikuti ujian, alamat nilai nol, bahkan berpotensi tinggal kelas. Kalau sudah tinggal kelas, baru menyesal kemudian; minder, malu, dan memutuskan keluar sekolah, lalu mencari sekolah lain yang mau menampung. Untung-untung di sekolah baru itu bisa naik kelas, itu pun sambil memelas.

Soal-soal ujian yang sumbernya dari keluarga, saya juga pernah mengalaminya—tentu banyak penulis lain yang juga mengalaminya. Ketika itu saya masih duduk di bangku kelas 2 SMA, sedangkan menulis sudah saya lakoni sejak kelas 1 SMP. Ujian datang dari ibu saya. Suara mesin tik pinjaman yang berisik “tak, tik, tuk” membuat telinga ibu terusik. Tak jarang ia menghardik, “Berhentilah mengetik-ngetik itu. Apa gunanya? Ada kau dapat uang?”

Kalimat itu berulang kali diucapkan ibu kepada saya dengan mimik wajah tidak bersahabat, tetapi saya terus saja mengetik, sebab di zaman itu hanya ada mesin tik. Penulis (pemula) hari ini lebih beruntung karena saat mengetik tulisan tidak lagi berisik, sebab tuts laptop tidak bersuara—kecuali gaya mengetiknya seperti mengetik di mesin tik.

Suatu hari, takdir Allah terjadi. ayah saya sakit, lalu meninggal dunia. Disusul ujian berikutnya; ibu sakit pula, tidak bisa berbuat apa-apa. Dampaknya, ekonomi keluarga lumpuh. Kami terpuruk di dasar jurang kemiskinan. Saya anak tertua, punya adik kecil-kecil; tiga orang.

Apa akal? Mau tidak mau saya harus berjuang sendirian, menyelamatkan keluarga yang tersisa, jika tidak ingin tinggal nama.

Setelah keputusan menjadi penulis yang sungguh-sungguh saya jalani—diawali menjadi wartawan di beberapa media massa di Padang—ibu baru mengakui bahwa apa yang saya kerjakan lebih 20 tahun lampau tidak sia-sia. Buktinya, setelah berkeluarga dan sumber penghasilan full saya dapatkan dari pekerjaan menulis—juga kegiatan-kegiatan yang masih terkait dengan menulis—ibu juga menikmati hasilnya. Ibu tidak bekerja, dan sakit ibu berangsur pulih. Alhamdulillah.

Yang pasti, ketika berhadapan dengan orangtua, seorang anak sejatinya tidak boleh melawan. Kalau melawan, si anak bisa jadi Malinkundang atau Sampuraga. Bisa-bisa dikutuk jadi boneka Pinokio. Jelaskan saja baik-baik bahwa apa yang ditulis itu bermanfaat, semoga suatu hari nanti buku yang diperjuangkan terbit, lalu menghasilkan sesuatu, baik materi maupun hal lain yang dapat membuat kedua orangtua bangga. Bukankah salah satu cita-cita seorang anak adalah ingin membahagiakan kedua orangtuanya?

Memang, belum banyak orangtua paham apa manfaat menulis yang dilakukan anak-anaknya, apalagi jika si orangtua bukan penulis, atau tidak bersentuhan dengan tulis-menulis. Niat mereka baik juga, agar anaknya tidak lalai belajar—padahal menulis salah satu bentuk belajar—, kelak mendapatkan pekerjaan layak seperti mereka harapkan; menjadi dokter, insinyur, pegawai kantor pemerintah, karyawan bank, guru, dosen, pejabat, pengusaha, dan lainnya. Si anak pun dimasukkan ke sekolah-sekolah berbasis ilmu eksakta, karena katanya jurusan eksakta itu keren, mencerminkan anak-anak pintar; anak-anak serius yang selalu berkutat dengan rumus. Padahal, jurusan lain juga tak kalah bagus.

Itu soal pilihan saja. Namun, yang pasti, apa pun pekerjaan kelak, di mana pun si anak sekolah, jika tidak dibarengi dengan aktivitas menulis, agaknya ada yang kurang lengkap dalam hidupnya. Kalau sejak dini menulis, jika suatu hari nanti ia menjadi dokter, ia akan menulis buku tentang dunia kedokteran. Betapa banyak orang lain yang mendapatkan manfaat dari ilmu dan pengalaman yang ia bagikan tentang dunia medis itu. Misalnya, si doker yang juga penulis menemukan obat untuk menyembuhkan penyakit tertentu yang belum pernah ditulis orang lain, lalu ia menulis bukunya. Dampaknya, industri obat baru hasil temuan itu akan tumbuh, pasien-pasien yang menderita sakit menjadi sehat kembali. Secara spiritual, si dokter yang penulis sudah menabung amal dan “mendapat tiket ke surga”, sebab sudah membantu banyak orang lewat tulisannya. Bukankah doktrin agama, orang baik kelak akan mendapat tempat yang baik di sisi-Nya?

Contoh lain, jika si penulis juga seorang bidan kandungan. Ia menulis sebuah novel tentang kisah-kisah di balik kamar bersalin. Betapa banyak cerita di balik kamar bersalin itu. Ada seorang ibu muda, hamil tua, datang seorang diri ke ruang praktik bersalinnya tanpa ditemani suami. Rupanya, sang suami sedang berada di bilik jeruji besi karena terlibat narkoba. Si bidan pun mendengar curhatan si ibu muda yang bercerita dengan linangan air mata. Bayi yang dilahirkannya melihat dunia tanpa seorang ayah yang mengazankannya. Sang ibu harus menanggung sendiri biaya persalinan dan biaya kehidupannya dari bekerja menjual sayur di pasar. Ketika dia sakit tak ada keluarga yang menjenguk. Jika itu ditulis menjadi novel, orang yang membacanya bisa menangis, apalagi jika si pembaca memiliki kesamaan pengalaman hidup dengan si ibu muda tadi.

Begitu pula, jika si penulis (pemula) berprofesi guru kelak, ia bisa menulis buku tentang dunia pendidikan. Di ruang kelas, ia menghadapi banyak murid dengan beragam latar kehidupan keluarga mereka. Ada yang miskin, ada yang kaya. Dari mereka ia mendapat banyak inspirasi untuk menulis cerita. Ada anak yang berjalan belasan kilometer dari rumahnya ke sekolah, miskin tetapi keinginan belajarnya tinggi. Ia tak punya uang jajan, jarang sarapan pagi, bajunya lusuh, hanya satu-satunya melekat di badan. Dia tidak pernah bolos sekolah. Namun, temannya, anak seorang kaya, memiliki semua fasilitas; ke sekolah diantar mobil mewah sang ayah, tetapi prestasi belajarnya rendah. Perangainya nakal dan suka bolos di saat jam belajar. Nongkrong di belakang sekolah, merokok, bahkan narkoba.

Si penulis yang guru ini bisa membandingkan kisah kehidupan dua muridnya itu, lalu ia tulis menjadi buku yang menginspirasi semua orangtua di dunia agar mereka memerhatikan kehidupan anak-anaknya. Bahwa, anak-anak tidak sekadar disejahterakan dengan uang, tetapi mereka juga butuh perhatian dan kasih sayang, sehingga tidak menjadi anak “brokenhome”. Kadang, kesibukan orang tua mengabaikan perhatian mereka terhadap anak-anak (baru-baru ini viral kasus balita babak belur di tangan baby sister karena ortunya sibuk. Pengasuhan anak sepenuhnya diserahkan ke baby sister). Lewat buku, si penulis juga bisa mengetuk pintu hati banyak orang bahwa masih banyak sekali anak-anak kurang mampu yang membutuhkan uluran tangan dermawan agar pendidikan mereka tidak putus di tengah jalan.

Pendek kata lagi, si penulis (pemula) tidak akan kekeringan ide untuk membuat buku-buku yang menginspirasi dan dibutuhkan pembaca. Tinggal keahliannya mengasah kreativitas dan tetap menjaga stabilitas ekonomi, eh, maksudnya menjaga “semangat” agar tak mudah menyerah apalagi sampai meletakkan pena.

Jadi, terus saja menulis. Jika belum berani menunjukkan karya secara terang-terangan kepada mereka (keluarga), tunjukkan saja secara “gelap-gelapan”—maksudnya, buku itu tulis dengan tidak menggunakan nama asli, melainkan memakai nama pena (samaran). Tetapi syaratnya harus betul-betul produktif. Sampai suatu hari ada media nasional mengundang si penulis (pemula) tampil di televisi atau podcast mereka, dan di rumah kedua orangtuanya sedang menonton di layar kaca. Di saat itu, kedua orangtuanya akan takjub tidak percaya; mata mereka berkaca-kaca, haru dan bangga, kok anaknya bisa muncul di televisi?

Ternyata, apa yang mereka larang selama ini keliru, dan si anak berhasil membuktikan bahwa hobi menulisnya dapat mengharumkan nama keluarga. Itu tidak mustahil, karena pekerjaan penulis bukan pekerjaan “kaleng-kaleng”. Ada hadiah Nobel yang sebanding dengan keilmuan lainnya untuk menghargai karya penulis (khususnya sastra).

Sebagai tambahan motivasi, terkait kesulitan-kesulitan dalam menulis, saya kutip kisah Hamka dalam buku Kenang-Kenangan Hidup, Balai Pustaka, Cet. ke-1, 2015:

Sesampai di Medan, belum cukup seminggu, mulailah dimasukinya dunia mengarang. Ditemuinya Redaktur harian Pelita Andalas, kepunyaan sebuah kongsi Tionghoa. Hoofd redakturnya ialah seorang Belanda tua, Tuan J. Koning dan Redakturnya M. Junus Is. Dimasukkannya dalam harian itu rencana berturut-turut tentang perjalanannya, penglihatannya, dan pertimbangannya tentang keadaan Mekkah dan orang Haji. Rupanya tulisannya dimuat selengkapnya. Tulisan yang dimuat itu, amat membesarkan hatinya. Meskipun honorariumnya hanya semangkuk kopi susu yang enak, yang dipesan dari kedai orang Tionghoa di samping drukkerij itu.

Tulisannya itu menarik perhatian Tuan Haji Muhammad Ismail Lubis, yang mengeluarkan majalah Seruan Islam di Pangkalan Berandan. Dia pun diminta mengarang pula di surat kabar itu. Sesudah itu dicobanya pula mengirim karangan ke Suara Muhammadiyah di bawah pimpinan H.A Aziz di Yogya: juga dimuat. Dikirimnya pula ke Bintang Islam yang dipimpin H. Fachruddin. Maka tiba surat pemimpin itu mempersilakan terus mengarang. Dan ketika itu juga beberapa pelajar Islam mengeluarkan majalah bernama Nibras di Yogya. Namanya dipacakkan menjadi pembantu di Medan.

Tetapi dari tulisan-tulisan itu belum bisa hidup!

Kisah Hamka di atas membuat kita dilecut, bahwa ketika memasuki dunia karang-mengarang, tantangannya tidak ringan. Bukan saja datang dari keluarga, tetapi juga bisa datang di luar keluarga, bahkan pada diri sendiri. Berhentikah Hamka menulis setelah badai kehidupan dihadapinya di Medan?

Tidak! Sampai akhir hayatnya Hamka tetap menulis dan menjadi penulis tersohor di zamannya. Andai saja Hamka berhenti kala itu, ia tidak akan menjadi ingatan banyak orang hingga sekarang. Pramoedya Ananta Toer mengatakan, “Menulis untuk keabadian”. Kalau ingin abadi, menulislah! (*)

Untuk keterbacaan teks dan tampilan website majalahelipsis.com yang lebih baik, sila unduh aplikasi majalah elipsis di Google Play atau APP Store, tanpa memerlukan login. Kirim naskah ke majalah digital elipsis (ISSN 2797-2135) via email: majalahelipsis@gmail.com. Dapatkan bundel digital majalah elipsis (format PDF 100 halaman) dengan menghubungi redaksi di nomor WhatsApp 0856-3029-582. Ikuti laman media sosial Majalah Elipsis (Facebook) atau @majalahelipsis.

Subscribe To Our Newsletter

Get updates and learn from the best

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Download versi aplikasi untuk kenyamanan membaca