Oleh Muhammad Subhan
AIR adalah sumber kehidupan. Tanpa air, manusia akan mati. Bahkan, juga seluruh makhluk yang melata di bumi ikut mati kalau tidak bersentuhan dengan air. Air memberi nyawa. Air menyambung napas makhluk hidup sepanjang usia.
Tak terbilang manfaat air yang begitu banyak bagi kehidupan manusia. Ketika dahaga, manusia mencari air untuk diminumnya. Begitu pun, air digunakan untuk menunjang kebutuhan sehari-hari, seperti mandi, mencuci, memasak, membersihkan kotoran, menyiram tanaman, mengairi sawah, minuman ternak, hingga digunakan sebagai bahan campuran semen untuk membuat bangunan.
Manusia yang hidup di zaman purba selalu mencari tempat tinggal di dekat sumber-sumber air; sungai, danau, rawa, maupun laut. Di sanalah mereka membangun peradaban. Para arkeolog sering menemukan jejak kehidupan suatu bangsa yang telah punah di dekat sumber-sumber air itu. Sudah tentu, sejak manusia pertama hidup di bumi, air menjadi konsumsi yang tak pernah henti hingga kini.
Begitu pun di zaman modern sekarang ini, pemukiman-pemukiman penduduk bertumbuhan di bantaran-bantaran sungai, tepian danau, pinggiran laut dengan berbagai arsitektur bangunan indah. Meski kadangkala pada masa-masa tertentu air menjadi musuh manusia yang bikin resah, seperti tsunami, banjir bandang, air bah, yang tidak sedikit menjatuhkan korban jiwa.
Konon, kata orang, air yang baik adalah air yang mengalir. Bersumber dari mata air. Air yang langsung ke luar dari mata air biasanya jernih. Bening. Harum aromanya. Sejuk pula dipandang mata.
Di pegunungan, banyak sumber mata air yang mengalir membentuk anak sungai, lalu mengalir terus ke laut. Dalam peraliran itu, air yang keluar dari sumbernya berjalan jauh ribuan kilometer menuju muara. Di perjalanan, air berbenturan dengan batu, pasir, daun-daunan, ranting pepohonan, dan segala benda alam lainnya. Namun, ternyata, dalam benturan-benturan itu, air yang mengalir kondisinya semakin jernih, dan berhasil menempuh perjalanan panjang hingga ia menemukan laut, induk dari segala air.
Kalau air tak mengalir, atau tidak dialirkan, sudah dapat dibayangkan apa yang terjadi dengan kondisi air itu. Lama-kelamaan air mengeruh, menguning, lalu menghitam. Bermacam kuman hidup dan berkembang biak di dalamnya. Lumut bertumbuhan. Lalu air membusuk dan mengeluarkan bau tidak sedap. Jika dibiarkan berlama-lama dalam kondisi seperti itu, maka air tersebut menjadi sumber segala penyakit. Tempat berkembang biak nyamuk dan bakteri yang membawa wabah.
Dalam kehidupan ini, tak jarang kita menemukan orang-orang yang hidupnya bersahaja, mengalir seperti air. Seolah tanpa beban mereka menjalani hidup. Bukan tidak ada masalah, namun mereka mampu mengelola masalah menjadi energi positif. Setiap masalah dihadapi dengan bijak, dicarikan jalan keluar. Semakin banyak masalah dihadapi, semakin dewasa ia bersikap. Semua persoalan digantungkan kepada Tuhan, sebab Tuhan yang memberi cobaan untuk menguji sejauh mana batas keimanan hamba-Nya.
Inilah sebaik-baik manusia dalam kehidupan. Syukur dan sabar menjadi landasan hidup mereka. Syukur ketika ada, sabar ketika tiada.
Jika mereka menjadi kepala keluarga dalam rumah tangga, menjadi nakhoda yang baiklah dia. Begitu pun, jika memimpin masyarakat, menjadi imam yang adil dan bertanggung jawab. Kebijakannya mencerahkan. Ucapannya menyejukkan. Tidak menambah persoalan baru. Sangat cinta kepada rakyatnya.
Tetapi lihatlah manusia yang hidupnya ibarat air keruh yang tidak mengalir. Raut wajahnya kusam dan hitam. Marah dan dendam adalah menu kesehariannya. Tak salah pun orang berbuat dimarahinya juga. Sikapnya egois, sombong, angkuh, takabur, dan merasa paling benar sendiri. Segala masalah tak mampu disikapinya secara bijak. Energi positif di tubuhnya terbuang percuma. Jika ia menjadi pemimpin di tengah masyarakat, menjadi pemimpin yang zalimlah dia. Hatinya busuk, kotor, dan perilakunya jauh dari segala norma yang dianut masyarakat.
Menjadi air adalah pilihan. Menjadi dewasa juga pilihan. Semua akan berpulang pada diri sendiri, pun seperti menciptakan kebahagiaan; melalui air-air yang dibagi, bukan disembunyikan, atau untuk diteguk sendiri.
Selamat datang April yang ranum. Bumi semakin panas, tetapi syukurnya hujan selalu turun menumpahkan air kesejukan.
Sejatinya, jangan biarkan gabak risau membukit. Halau dengan doa-doa, sepalung harapan, di bulan Ramadan yang sudah di ujung. Lautan kata-kata terus alirkan, sepanjang sungai-sungai kehidupan, di liku dan lekuk musim yang kian berganti. (*)
Untuk keterbacaan teks dan tampilan website majalahelipsis.com yang lebih baik, sila unduh aplikasi majalah elipsis di Google Play atau APP Store, tanpa memerlukan login. Kirim naskah ke majalah digital elipsis (ISSN 2797-2135) via email: majalahelipsis@gmail.com. Dapatkan bundel digital majalah elipsis (format PDF 100 halaman) dengan menghubungi redaksi di nomor WhatsApp 0856-3029-582. Ikuti laman media sosial Majalah Elipsis (Facebook) atau @majalahelipsis.