Romantika Cinta Aktivis Kampus

Share on facebook
Share on twitter
Share on linkedin
Share on whatsapp
Share on telegram

Oleh Muhammad Subhan

NOVEL dengan tema percintaan tidak satu dua jumlahnya. Sudah banyak. Sejak zaman Shakespeare hingga zaman penulis-penulis milenial yang menulis di aplikasi digital, atau yang lebih muda dari itu (Gen Z), bertaburan. Karya mereka juga dapat dijumpai di toko-toko buku, meski jumlah toko buku terus menyusut digilas zaman.

Judul buku di sampul dengan kata “cinta”, bila diurutkan satu per satu, tak terhitung jumlahnya. Setiap pengarang lahir dan mati, novel-novel baru dengan tema-tema percintaan terus “diproduksi” hingga kini.

Roman-roman era Pujangga Lama maupun Pujangga Baru, khususnya buku-buku yang diterbitkan Balai Pustaka, banjir dengan roman-roman percintaan—walau umumnya “cinta” dipakai sebagai “bumbu” di balik semangat nasionalisme para pengarangnya. Menyebut beberapa roman percintaan itu, semisal Binasa kerna Gadis Priangan (1931) karya Merari Siregar, Siti Nurbaya (1922) karya Marah Roesli, Ken Arok dan Ken Dedes (1934) karya Muhammad Yamin, Cinta yang Membawa Maut (1926), Salah Pilih (1928) karya Nur Sutan Iskandar, Sengsara Membawa Nikmat (1928) karya Tulis Sutan Sati, Darah Muda (1927), Asmara Jaya (1928) karya Djamaluddin Adinegoro, Salah Asuhan (1928), Pertemuan Djodoh (1933) karya Abdul Muis, dan banyak lainnya.

Singkat kata, karya sastra dengan bumbu percintaan tidak akan ada habisnya, sepanjang pengarang hidup dan terus menulis.

Lalu pertanyaannya, apa yang baru dari cinta?

Sepertinya tidak ada yang baru, sebagaimana di bawah matahari tidak ada yang baru. Cinta seorang lelaki kepada perempuan sudah jamak, begitupula, cinta anak kepada orangtua, cinta murid kepada guru, cinta suami kepada istri, cinta hamba kepada Tuhan, sudah terlalu banyak buku mencatatnya.

Namun, agaknya, yang baru, adalah “bagaimana cara” menuliskan “bumbu cinta” itu sehingga menjadi tidak biasa ketika buku sudah berada di tangan pembaca.

Di tahun 2015 terbit sebuah novel berjudul Kamu Itu Subhanallah (KIS) karya Nova Eka Putri, yang saat itu masih berstatus mahasiswi di sebuah kampus di Padang. Novel karya Nova itu satu di antara novel bertema percintaan yang menambah khasanah kesusastraan Indonesia, khususnya Sumatra Barat. Meski jenis novel ini populer, KIS menyajikan kisah “percintaan yang diam”, namun tokoh utamanya yakin bahwa apa yang diimpikan terwujud lewat doa—meski tema ini sudah klise. Penulisnya juga menyisipkan pesan-pesan ketuhanan di novel itu sehingga dapat disebut juga novel itu sebagai novel bertema agama (Islami).

Saya mencatat ada sedikitnya 40-an kata “takdir” tersurat hampir di setiap bab. Itu menandakan pengarangnya tidak ingin melepaskan persoalan ke-Ilahian yang diyakininya di dalam karangannya—berangkat dari pengalaman batin (spiritual) dan latar belakang pengarang yang seorang muslimah—bahwa hidup ada yang mengatur. Dialah Sang Khalik (Pencipta). Kebaikan yang diperbuat seseorang akan berbalas baik, sebaliknya kejahatan akan menerima pula ganjarannya.

Adalah seorang Ara Zalikha—tokoh utama di novel itu—berstatus mahasiswi farmasi, diam-diam menyukai sosok Nanda Oktaryal, mahasiswa sejurusan yang jago futsal di kampusnya. Sahabat Ara, Dwi Putri Pujalela, teman akrab Ara, tempat Ara curhat dan berdiskusi. Dwi mendukung kedekatan Ara dengan Nanda. Namun, yang terjadi sebaliknya, diam-diam Dwi malah merebut Nanda dari Ara. Menariknya, kata “merebut” tidak benar-benar terjadi, sebab di dalam cerita Ara dan Nanda tidak pernah menjalin hubungan kasih. Realitanya, Dwi dan Nanda yang berpacaran.

Dalam hidup, sering terjadi hal semacam itu. Kawan menjadi lawan. Di depan bermanis muka, di belakang menikam, atau menggunting dalam lipatan. Pengkhianatan demi pengkhianatan mewarnai kehidupan anak manusia dari zaman ke zaman. Novel KIS memotret itu.

Di kemudian hari, hubungan Dwi dan Nanda rusak. Nanda memutuskan Dwi dengan alasan mamanya tidak setuju mereka pacaran. Nanda kena karma, ia kecelakaan, dan di rumah sakit, mama Nanda menelepon Ara agar datang menjenguk. Terang-terangan, mama Nanda meminta Ara agar mau dijodohkan dengan Nanda.

Begitu pun, dalam kondisi lemah tak berdaya, Nanda memelas kepada Ara, bahwa Ara-lah cinta sejatinya dan meminta Ara kembali kepadanya. Di titik ini, agak terkesan kurang logis, sebab selama itu, Ara dan Nanda tidak berpacaran, dan tidak banyak narasi maupun dialog yang menceritakan bahwa Nanda dan Ara menjalin hubungan asmara.

Ara menolak permintaan Nanda. Ara menasihati Nanda agar ia insaf dan tidak mempermainkan perasaan perempuan. Ara ke luar dari rumah sakit, sementara di rumah sakit yang lain adiknya, Fani, juga dalam keadaan koma, sebab menjadi korban kecelakaan—yang di akhir cerita Fani ditabrak Nanda. Fani meninggal dunia, karena terlambat ditangani dokter, sebab Ara dan ibunya tidak memiliki uang cukup untuk membayar biaya rumah sakit.

Ara terpukul atas kematian adiknya. Harta berharga hidupnya tinggal sang ibu. Dia berjanji akan membahagiakan sang ibu.

Ketika pemilihan Presiden Mahasiswa (Presma), Ara mengenal Adizul Ilahi. Awalnya Ara menilai Uda Adi—sapaan Adizul Ilahi—adalah seorang laki-laki yang cuek dan tidak respek terhadap sesuatu. Pada sebuah foto Ara melihat Uda Adi tidak tampan, tetapi ketika berhadapan dengan laki-laki itu, Ara diam-diam mengagumi sosoknya.

Di lain hari Ara terjebak hujan deras. Seorang anak kecil berlari mendekat dan memberikan payung kepada Ara yang ternyata pemberian Uda Adi. Rupanya, dari jauh, Uda Adi melihat Ara. Ketika di sebuah masjid ada pengajian, Ara mengagumi bacaan Al-Qur’an “sang ustaz” yang tak lain adalah Uda Adi. Sebagai Presma, Uda Adi juga memperjuangkan turunnya uang kuliah di kampus, sehingga sangat membantu mahasiswa kurang mampu, dan itu membuat Ara bertambah kagum kepada Uda Adi.

Namun, walau begitu, tak ada dialog apa pun antara Ara dan Uda Adi. Kekaguman Ara adalah kekaguman yang lumrah ketika seorang gadis berstatus mahasiswi melihat mahasiswa aktivis kampus yang memiliki banyak kelebihan dan mengundang ketertarikan untuk mengenal lebih dekat.

Setelah tamat kuliah, Ara mendapat beasiswa pendidikan S-2 ke Australia. Di Negeri Kanguru itu, Ara bertemu kembali dengan Dwi dan Nanda. Dwi dan Nanda telah menikah.

Di titik ini, penulis seperti memaksakan jalan cerita bahwa Dwi dan Nanda harus berada di Australia bertemu Ara. Nanda yang suka “memberikan harapan palsu” sejak Ara mengenalnya kini menjadi “ustaz” yang mempunyai banyak jemaah. Dwi kembali menjadi sahabat akrab Ara dan melupakan masa lalunya.

Ketika akan tamat kuliah, Ara menerima telepon dari ibunya. Sang ibu menginginkan Ara pulang, sebab ada yang datang hendak melamarnya sebagai mantu. Ara kurang suka atas perjodohan itu, sebab yang ia mohon dalam setiap doa, jodohnya adalah Uda Adi, seorang laki-laki hafiz Qur’an yang dulu pernah menjadi Presiden Mahasiswa di kampusnya.

Pak Ujang, sahabat almarhum ayahnya, pernah menelepon, bahwa ada seorang laki-laki bernama Ferdi Fajar sering datang ke rumahnya menanyakan Ara. Ara mengira, Ferdi Fajar yang tak lain adalah teman sekampusnya dulu hendak melamarnya. Namun, Ara keliru, ketika ia pulang, keluarga yang hendak meminang dirinya adalah keluarga Uda Adi, laki-laki yang ia impikan selama ini.

Atas takdir Tuhan, Ara dan Uda Adi menikah. Kisah kedua aktivis kampus ini happy ending.

Novel ini memiliki banyak kejutan tak terduga. Sebagai novel perdana, penulisnya berhasil mengaduk-aduk perasaan pembaca. Bahasa tuturnya menarik dan mengalir. Banyak pesan hikmah dan moral yang disertai kutipan-kutipan Al-Qur’an di setiap bab dan membawa pembacanya pada jalan permenungan.

Namun demikian, soal tanda baca, ejaan, dan kaidah penulisan kata asing harus menjadi perhatian pengarang untuk cetakan berikutnya, termasuk beberapa kalimat mubazir yang perlu swasunting lebih ketat. Juga masih ditemukan beberapa kesalahan tik dan kata asing yang tidak dimiringkan. Sebab, kata asing (khususnya bahasa Inggris), bukan bahasa Indonesia. Sudah sepantasnya, bahasa asing yang masuk ke dalam teks berbahasa Indonesia harus dimiringkan sebagai penanda bahwa itu adalah kata asing. Terlepas dari kelebihan dan kekurangannya, novel ini layak dibaca.

Di awal mula terbit, novel ini didiskusikan penulisnya di beberapa tempat. Saya turut pula hadir. Ada harapan penulisnya sebagai penulis muda perempuan Minang melahirkan novel-novel berikutnya. Kita menunggu, dan muda-mudahan tak lama lagi buku itu menyapa pembaca. (*)

Untuk keterbacaan teks dan tampilan website majalahelipsis.com yang lebih baik, sila unduh aplikasi majalah elipsis di Google Play atau APP Store, tanpa memerlukan login. Kirim naskah ke majalah digital elipsis (ISSN 2797-2135) via email: majalahelipsis@gmail.com. Dapatkan bundel digital majalah elipsis (format PDF 100 halaman) dengan menghubungi redaksi di nomor WhatsApp 0856-3029-582. Ikuti laman media sosial Majalah Elipsis (Facebook) atau @majalahelipsis.

Subscribe To Our Newsletter

Get updates and learn from the best

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Download versi aplikasi untuk kenyamanan membaca