Agama dan Budaya sebagai Sebuah Paradigma dalam Masyarakat

Share on facebook
Share on twitter
Share on linkedin
Share on whatsapp
Share on telegram

Oleh Atthoriq Chairul Hakim

AGAMA dan budaya merupakan sebuah konsep yang berkembang di lingkungan masyarakat, dan sering menjadi perdebatan, apakah agama melahirkan sebuah agama atau sebaliknya.

Perlu diketahui bahwa keduanya ini memiliki konsep dan kaidah pandangannya tersendiri, sehingga bisa ditemukan keterkaitan antara keduanya.

Gambar di atas merupakan tempat peribadatan umat Islam, yaitu musala. Musala muncul atas dasar kepercayaan umat terhadap dogma yang mengikat mereka. Di sinilah bentuk penggabungan nilai-nilai yang terdapat pada agama dan budaya, meskipun keduanya memiliki benang merahnya sendiri, namun saling mengikat satu sama lain untuk menunjukkan eksistensinya. Oleh karena itu perlu diketahui defenisi dasar keduanya, agar tidak terjadi kesalahpahaman jika bertemu fenomena akulturasi kebudayaan dan agama yang terjadi di tengah masyarakat.

Koentjaraningrat mendefenisikan agama sebagai seperangkat sistem yang terikat oleh nilai dan dogma dari Tuhan, sebagai guna untuk mengatur kehidupan manusia, agar tercapainya keselarasan secara jasmani maupun rohani. Agama dapat diartikan sebagai tanda bahwa ada kekuatan yang lebih tinggi (Ilahi) yang mengurus kehidupan manusia beserta alam semesta.

Penjelasan ini menguatkan bahwa agama memiliki otoritas tersendiri dari Tuhan dan tidak bisa diganggu gugat terkait atas nilai yang dimiliki olehnya. Kehadiran agama berguna sebagai landasan hidup ketika manusia mengalami kemandekan dalam memandang sesuatu. Peran kebudayaan hadir sebagai sarana (wadah) untuk mengeksistensikan agama serta nilai dan dogma yang terkandung pada agama itu sendiri.

Candi Muara Takus di Riau, salah satu peninggalan Hindu- Budha. (Foto: Dok. Atthoriq Chairul Hakim)

Edward B. Tylor mendefinisikan kebudayaan sebagai suatu perangkat yang kompleks meliputi agama, hukum, adat, kesenian, moral, teknologi, serta kemampuan dan kebiasaan yang diperoleh manusia sebagai bagian suatu kelompok masyarakat. Secara defenisi kebudayaan yang dikemukakan Tylor, agama sendiri merupakan bagian dari unsur kebudayaan, tak lepas dari manusia sebagai aktor budaya, dan menimbulkan inovasi dan kreasi pada sebuah kebudayaan di masyarakat.

Berdasarkan defenisi agama dan kebudayaan memiliki perbedaan yang mendasar, seperti agama memiliki otoritas atas ketentuan Tuhan yang Mahaesa, terikat akan nilai dan dogma. Serta tidak bisa diganggu gugat esensinya oleh ketentuan-ketentuan yang berasal dari luar konteks keagamaan. Jika dikaitkan dengan budaya, agama sendiri merupakan salah satu dari unsur kebudayaan, lebih tepatnya masuk ke dalam sistem religi. Secara kebudayaannya bahwa budaya dapat dijadikan sebagai wadah berkembangnya suatu sistem keagamaan, salah satu contohnya seperti Islam. Dengan adanya budaya, maka sistem nilai dan dogma yang berlaku pada agama, akan eksis, sehingga manusia sebagai pelaku, juga bagian dari anggota kelompok masyarakat menyadari keberadaan agama yang mereka anut.

Berkembangnya agama dalam suatu kebudayaan bukan dengan maksud menghilangkan esensi sebenarnya dari agama sebagai kepercayaan masyarakat. Namun, memberikan variasi baru terhadap agama yang bersifat sakral. Manusia sebagai pelaku harus sadar bahwa dogma-dogma yang terdapat pada agama tidak boleh dihilangkan, namun bisa digabungkan dengan konsep budaya religi masyarakat, tanpa menghilangkan agama yang bersifat sakral, dengan kata lain budaya bersifat profan, sifat budaya yang seperti itu bertujuan agar agama sebagai kepercayaan yang dianut masyarakat tetap mendapatkan tempat, tanpa menjadikan agama yang profan.

Dapat dicontohkan seperti budaya mendoa yang dilakukan oleh masyarakat Minangkabau. Mendoa merupakan budaya yang diserap dari kebiasaan umat beragama Hindu, lalu berakulturasi dengan kebiasaan beragama di Minangkabau dengan mayorias Islam. Masyarakat Minangkabau berhasil mengakulturasikan kebudayaan Hindu dengan kebiasaan beragama mereka, tanpa menghilangkan hakikat inti dari Islam, bahwa tidak boleh menduakan Tuhan Yang Esa. Mereka menjadikan kebiasaan umat Hindu (mendoa) sebagai penguat keberadaan nilai agama Islam agar tetap mekar, lalu menambah kekhidmatan dalam beribadah kepada Tuhan.

Konsep agama dan budaya memiliki esensinya sendiri, namun di antara keduanya memiliki keterkaitan yang kuat. Manusia sebagai pelaku keduanya, memiliki peran penting, apakah esensi agama akan hilang jika dicampuradukkan dengan budaya. Namun, seharusnya jika memandang agama sebagai produk budaya sekalipun bahwa esensi agama sebagai kepercayaan suatu masyarakat tidak dapat dihilangkan. Begitu juga agama, dengan hadirnya budaya, diharapkan mampu memperkuat sifat sakralnya agama, dengan hadirnya variasi tata cara dalam beragama yang ditimbulkan oleh budaya. (*)

Atthoriq Chairul Hakim
Mahasiswa Antropologi Budaya ISI Padang Panjang, Sumatra Barat.

Foto utama: Salah satu musala di Nagari Sikucur Padang Pariaman
sebagai tempat peribadatan umat Islam. (Foto: Dok. Atthoriq Chairul Hakim)

Untuk keterbacaan teks dan tampilan website majalahelipsis.com yang lebih baik, sila unduh aplikasi majalah elipsis di Google Play atau APP Store, tanpa memerlukan login. Kirim naskah ke majalah digital elipsis (ISSN 2797-2135) via email: majalahelipsis@gmail.com. Dapatkan bundel digital majalah elipsis (format PDF 100 halaman) dengan menghubungi redaksi di nomor WhatsApp 0856-3029-582. Ikuti laman media sosial Majalah Elipsis.

Subscribe To Our Newsletter

Get updates and learn from the best

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Download versi aplikasi untuk kenyamanan membaca