Tugas Sastrawan, Ali Hasjmy, dan Pertalian Persaudaraan Aceh-Minangkabau

Share on facebook
Share on twitter
Share on linkedin
Share on whatsapp
Share on telegram

Oleh Muhammad Subhan

KETIKA saya masih bekerja mengurus Rumah Puisi milik penyair Taufiq Ismail di Nagari Aie Angek, Kabupaten Tanah Datar—sekitar 6 km dari Kota Padang Panjang—pada tahun 2009—2012, saya menemukan sebuah buku yang ditulis sastrawan Aceh, Ali Hasjmy.

Buku koleksi Rumah Puisi itu berjudul Apa Tugas Sastrawan sebagai Khalifah Allah. Sudah tentu buku itu mengundang minat saya untuk membacanya.

Di salah satu halaman saya menemukan terjemahan QS. Asy Syu’ara ayat 224—227, tetapi secara puitis diterjemahkan Ali Hasjmy sebagai sebuah puisi sebagai berikut.

Apa Tugas Sastrawan Sebagai Khalifah Allah?

Para Sastrawan,
Pengikut mereka bandit dan petualang,
Berdiwana dari lembah ke lembah,
Bicara tanpa kerja,
Kecuali sastrawan beriman,
Yang beramal bakti,
Senantiasa Ingat ‘kan Ilahi
Mereka bebas setelah tertindas

(QS. Asy Syu’ara 224-227)

Tentu saja, ayat yang dijadikan puisi oleh Ali Hasjmy tersebut merupakan autokritik untuk para sastrawan (penulis secara umum) untuk berhati-hati di dalam tulisannya.

Tidak tanggung-tanggung, dalam ayat itu, mereka disebut sebagai “bandit”, “petualang”, “berdiwana dari lembah ke lembah”, dan “bicara tanpa kerja”.

Namun, luar biasanya, Allah Swt. tidak sekadar memberi vonis (menuduh), tetapi juga memberi “pengecualian”. Pengecualian itu sebagai bentuk kebijaksanaan dan keadilan Tuhan.

Siapa yang dikecualikan dalam ayat itu?

Mereka adalah “sastrawan beriman”, yang beramal bakti, ingat akan Tuhan (Ilahi), dan mereka bebas setelah tertindas.

Sastrawan-sastrawan “beriman” menjadikan tulisan-tulisan mereka sebagai media untuk berdakwah, menyampaikan nilai-nilai kebaikan.

Buku Ali Hasjmy itu dicetak dengan kertas koran, sudah agak tua, tetapi kondisinya masih baik. Tentu, tidak lagi dijual di toko-toko buku. Sudah menjadi buku langka. Saya bersyukur dapat membacanya.

Sepatutnya apa yang ditulis Ali Hasjmy menjadi renungan, i’tibar, khususnya bagi siapa saja yang memilih jalan hidup menjadi penulis (sastrawan).

Ali Hasjmy adalah tokoh ulama Aceh tersohor di zamannya yang juga seorang sastrawan produktif. Di ranah politik, ia menjabat gubernur ke-7 Aceh.

Menariknya, Ali Hasjmy pernah mondok di Thawalib School di Padang Panjang pada tahun 1931—1935. Ia tidak hanya belajar agama, tetapi juga belajar pendidikan politik dengan memasuki berbagai organisasi kepemudaan di Padang Panjang, di masa itu.

Sejak abad ke-19, Padang Panjang telah menjadi kiblat pergumulan pemikiran, hingga pertentangan politik-agama antara kaum muda dan kaum tua, di masanya—tentu tak lepas dari campur tangan politik adu domba dan politik belah bambu Belanda seperti dilakukan pemerintah kolonial di daerah-daerah jajahannya.

Aceh dan Minangkabau punya ikatan pertalian persaudaraan yang erat selama berabad-abad. Yang mengikat hubungan itu adalah ruh religiusitas Islam yang kuat, saling melengkapi, dan interaksi sosial masyarakat Aceh-Minang menciptakan perbauran budaya yang seiring pergantian masa dan pertukaran waktu tak lekang di panas tak lapuk di hujan.

Di Aceh, tepatnya di Kabupaten Aceh Selatan dan Aceh Barat Daya lazim ada orang Aceh tetapi mahir berbahasa layaknya bahasa Minang. Mereka disebut Suku Aneuk Jamee. Suku Aneuk Jamee sebuah suku yang tersebar di sepanjang pesisir barat Aceh. Dari segi bahasa, Aneuk Jamee diperkirakan masih merupakan dialek dari bahasa Minangkabau dan bernenek moyang ke Ranah Minang.

Di Pulau Simeulue Aceh juga banyak warga setempat yang mahir berbahasa Minang. Luar biasa rantau orang Minang, hingga menyebar ke sebagian besar wilayah Aceh. Jangankan Aceh, di seluruh pelosok dunia pun ditemukan banyak diaspora Minang.

Sementara di Sumatera Barat, rumah-rumah gadang di sepanjang pantai Kabupaten Pesisir Selatan, ditemukan arsitektur rumah adatnya mirip “Rumoh Adat Aceh”. Atapnya tidak bergonjong seperti mayoritas rumah adat Minang.

Di Padang Pariaman, Tari Indang gerakan tarinya mirip dengan Tari Saman Aceh.

Pono, remaja yang di kemudian hari dikenal sebagai Syeikh Burhanuddin asal Ulakan Pariaman berguru kepada Syekh Abdur Rauf as-Singkili, seorang Mufti Kerajaan Aceh, kemudian Syekh Burhanuddin mendapat ijazah untuk menyebarkan agama Islam di wilayah Kerajaan Pagaruyuang dan sebagian besar wilayah Minangkabau.

Sebaliknya, pelajar-pelajar Aceh banyak bermukim dan berguru kepada ulama-ulama reformis Minangkabau yang menyebarkan Islam melalui lembaga pendidikan pesantren modern yang semula berbasis di surau-surau, seperti Inyiak Rasul—ayahanda Buya HAMKA—mendirikan Thawalib Padang Panjang, Inyiak Parabek mendirikan Sumatera Thawalib di Parabek, Inyiak Canduang mendirikan MTI Canduang di Canduang, Inyiak Jaho mendirikan MTI Jaho di Jaho, Syekh Abdullah Ahmad mendirikan PGAI dan Adabiah di Padang, Inyiak Djambek yang ahli Falak mendirikan Surau Inyiak Djambek di Bukittinggi, kakak-adik Zainuddin Labay dan Rahmah El-Yunusiyyah mendirikan Diniyyah School dan Diniyyah Puteri di Padang Panjang, serta banyak ulama Minang lainnya, yang di sana, pelajar-pelajar Aceh (juga) menuntut ilmu.

Ulama berpengaruh dari Aceh Selatan, Abuya Muda Waly Al-Khalidy, bernama lengkap Syekh H. Teungku Muhammad Waly Al-Khalidy (1917—1961), berdarah Minangkabau. Ayahnya bernama Syekh Haji Muhammad Salim bin Malim Palito, seorang ulama asal Batusangkar, Tanah Datar.

Demikianlah, pertalian persaudaraan antara Aceh dan Minang sudah erat berurat-berakar sejak zaman belum merdeka. Kedua daerah itu saling melengkapi, terutama diikat dalam satu buhul keagamaan yang kuat, yaitu Islam.

Meski masyarakatnya didominasi Islam, namun kebhinekaan tumbuh kuat di dua daerah ini. Suku-suku dan agama lainnya hidup damai berdampingan, saling hormat-menghormati, harga-menghargai, sehingga kedua daerah ini menjadi tempat domisili paling dirindukan. (*)

Untuk keterbacaan teks dan tampilan website majalahelipsis.com yang lebih baik, sila unduh aplikasi majalah elipsis di Google Play atau APP Store, tanpa memerlukan login. Kirim naskah ke majalah digital elipsis (ISSN 2797-2135) via email: majalahelipsis@gmail.com. Dapatkan bundel digital majalah elipsis (format PDF 100 halaman) dengan menghubungi redaksi di nomor WhatsApp 0856-3029-582. Ikuti laman media sosial Majalah Elipsis (Facebook) atau @majalahelipsis.

Subscribe To Our Newsletter

Get updates and learn from the best

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Download versi aplikasi untuk kenyamanan membaca