Termakan Sumpah

Share on facebook
Share on twitter
Share on linkedin
Share on whatsapp
Share on telegram
Tiara Nursyita Sariza. (Foto: Facebook)

Oleh Tiara Nursyita Sariza

Mereka memukuli tubuh sendiri menggunakan cambuk layaknya ritual kuda kepang. Kemudian, seorang petuha daboh mengusap-usap sebilah rencong. Meski mulutnya terkatup rapat, lelaki itu sedang membaca mantra. Tatapan matanya sesekali melembut, sesekali nyalang saat mengusap rencong yang berkilat. Tangannya kemudian bergerak cepat, ia menusuk-nusuk badannya sendiri dengan benda tajam itu.

“DASAR anak jahanam kau, Agam!”

Suatu malam terdengar kegaduhan dari sebuah rumah. Seorang wanita tua memekik, tersulut emosi. Parang diacungkan tangan kanannya. Dinding tripleks rumah itu menjadi sasaran empuk, habis koyak, nyaris tak berbentuk lagi. Bagai kesetanan, berkali-kali ia tendang anak lelakinya hingga babak belur. Jika bukan karena naluri seorang ibu yang masih tersisa itu, mungkin anak di hadapannya sudah tewas mengenaskan.

Namun, ia masih menahan amarahnya. Sekian lama dibiarkan, perangai anak itu semakin merajalela. Mulai dari kebiasaan terkutuknya bermain togel, hingga menggadaikan satu per satu pusaka almarhum suaminya. Sekarang, anak itu juga dilaporkan sudah menodai anak gadis orang!

Pagi tadi seorang gadis datang, mengaku telah dinodai oleh anaknya, si Agam. Satu kampung dibuat heboh akan isu kehamilan sang gadis.

Berkalung malu wanita itu dibuatnya.

“Pergi kau, Anak Iblis! Jangan panggil aku ibumu lagi.”

Agam tertatih-tatih maju, lalu merangkak menuju kaki ibunya. Ia memeluk kaki wanita itu, dan membenamkan wajahnya. Ibunya berdiri tegak memandang Agam dengan perasaan yang teramat pilu.

“Pergi kau, Gam!”

“Tidak, Mak. Maafkan Agam. Sumpah Agam tak menodai, apalagi menghamilinya. Demi Allah.”

Agam menangis. Tubuh wanita itu menggelongsor, terkulai duduk.

“Ya, Allah. Ya, Tuhanku. Kenapalah hidupku ini? Sudah menjanda, sekarang gagal pula menjadi ibu,” rintih wanita itu, melelehkan air mata. Agam yang ditatap menunduk malu sekaligus sedih.

“Maafkan Agam, Mak. Agam janji akan berubah,” lirih anak itu.

“Pergilah kau, Gam.”

Agam menggeleng kuat, mempererat pelukannya.

“Tidak. Agam janganlah diusir, Mak.”

“Aku tidak mengusirmu. Kau pergilah ke rumah pakcikmu di Aceh. Belajarlah ilmu agama. Berubahlah, Nak.” Sang ibu memohon dalam isak tangis.


ESOK pun tiba. Agam menemukan dirinya tengah mematung di halte. Ia sedang menunggu bus jurusan Medan—Aceh.

Suasana begitu berisik, tetapi Agam merasa seorang diri. Pemuda itu menatap nanar tas di hadapannya. Masih teringat peristiwa kemarin, juga pesan terakhir ibunya sebelum berangkat.

“Kau, Gam, pergilah ke Aceh untuk menimba ilmu agama. Kalau bukan untuk itu, aku tak rida. Maut bagimu. Kau ingat, Gam?”

Pesan itulah yang terakhir disampaikan ibunya. Entah mengapa, Agam merasakan kegundahan, seakan wasiat yang mengikat.

“Medan—Nagan Raya!” teriak kernet bus memberi kode kepada calon penumpang. Lamunan Agam terpecah. Bergegas ia angkat tas miliknya menuju bagasi bus. Selang beberapa menit, kendaraan itu pun melaju membelah jalan, perlahan meninggalkan Kota Medan.


AGAM bertemu pakciknya. Ia mulai belajar mengaji di meunasah. Di sana ia dekat dengan seseorang bernama Muzakir, tetapi nahas, sepertinya Muzakir membawa pengaruh buruk bagi Agam. Setiap pulang mengaji, Muzakir selalu menyodorkan sebatang bakong (ganja) untuk diisapnya.

Awalnya Agam menolak. Namun, perangai buruknya perlahan kumat. Ia ikut mengonsumsi bakong yang disodorkan kawannya itu.

“Oi, Gam. Ikut aku besok? Kita lihat top daboh,” ajak Muzakir ketika mereka tengah dimabuk kenikmatan ganja dalam keremangan cahaya, sepulang dari meunasah.

“Seru, Gam. Kau bisa dapat uang,” tambahnya.

Mendengar kata uang, Agam tergiur. Ia tertarik dengan tawaran Muzakir.

“Tapi, ada syaratnya. Kau harus bersedia jadi pemain cadangan dalam pertunjukan pamanku.”

Dalam keadaan mabuk, tanpa pikir panjang Agam mengangguk saja. Ia menerima tawaran Muzakir.


MALAM itu, langit bersinar terang dihiasi taburan bintang. Mereka mengendarai sepeda motor menuju alun-alun Nagan Raya. Di sana sebuah pertunjukan tengah berlangsung, memperlihatkan sekelompok pemuda yang terdiri atas dua belas anggota. Mereka duduk setengah melingkar, mengenakan pakaian serba hitam dipadu ikat kepala. Kepala mereka oleng ke kanan dan ke kiri, hanyut dalam alunan musik tabuhan rapa’i. Syair daboh dimulai dari basmalah, salam, kemudian permohonan maaf kepada penonton. Setelahnya, sebagian dari mereka berdiri memasuki sebuah lingkaran. Terlihatlah aksi top daboh, yaitu seni memukul diri. Mereka memukuli tubuh sendiri menggunakan cambuk layaknya ritual kuda kepang. Kemudian, seorang petuha daboh mengusap-usap sebilah rencong. Meski mulutnya terkatup rapat, lelaki itu sedang membaca mantra. Tatapan matanya sesekali melembut, sesekali nyalang saat mengusap rencong yang berkilat.

Tangannya kemudian bergerak cepat, ia menusuk-nusuk badannya sendiri dengan benda tajam itu. Para penonton lelaki bertepuk tangan heboh, sedang para wanita berteriak histeris menyaksikan adegan ekstrem di hadapan mereka.

Tak puas sampai di situ, salah seorang pemain menghidupkan mesin bor. Lalu memekik serak, “Bukan anak Aceh Selatan kalau tak kebal!”

Mesin bor dinyalakan. Mata bor berputar kencang, menari di pusar pemain daboh. Ajaibnya, tidak ada luka maupun erangan. Kulit perut itu masih kelihatan mulus.

Setelahnya, syair daboh mulai mereka lantunkan lagi.

Tron ka tron busoe katron (turunlah turun besi turunlah)

Si ti tiek embun katron u donya (setitik embun turun ke dunia)

Awailah janji busoe dengon lon (awalnya besi berjanji denganku)

Busoe dengon lon bek durhaka. (wahai besi jangalah durhaka padaku)

Syair itu mengisyaratkan bahwa besi dulunya diturunkan ke bumi. Itu terbukti benar adanya dalam Al-Qur’an.

Saat alunan syair berhenti, pemain daboh mengeluarkan sebatang tombak bermata tiga bak trisula. Tangan satunya memegang sepotong kayu yang terbakar, sebesar kelingking. Lalu, ia kunyah kayu yang sedang menyala itu. Layaknya sedang merokok, mulutnya mengeluarkan kepulan asap.

Setelah itu, ia mengangkat lagi tombaknya, yang ternyata telah terbakar juga ujungnya.

Pemain itu berseru kepada penonton, “Aku perlu lelaki yang jantan dan berani untuk datang ke sini!”

Mendengar itu, Muzakir tanpa berdiskusi terlebih dahulu langsung mendorong tubuh Agam hingga terjerembab ke arah panggung. Agam kaget, ia belum bisa mencerna keadaan ketika dua orang pemain daboh yang kekar itu mengangkat tubuhnya menaiki panggung.

“Sudah siap, Nak?” Agam linglung.

“Kau cadangannya, ‘kan?” tanya salah seorang pemain yang menatapnya tajam. Wajah kaku dan sikap dingin, ditambah pakaian serba hitam mereka, membuat Agam tidak bisa berkata-kata saat ditanyai.

Mungkin itu ciri khas pemain daboh, sehingga kesenian ini begitu etnik dan misterius.

“Hei! Jawab! Kau cadangan?”

Kali ini, teringatlah Agam pada kesepakatannya dengan Muzakir kemarin malam. Demi uang, ia harus bersedia menjadi pemain cadangan. Mungkin inilah maksudnya. Tanpa pikir panjang, Agam langsung menganggukkan kepala. Ia lalu dihadapkan pada para penonton.

Bajunya dibuka. Salah seorang lelaki, sang petuha, membaca mantra. Kemudian besi panas tadi diambil dan diarahkan ke perut Agam. Seluruh penonton memekik ngilu. Agam menelan ludah. Keringat dingin membasahi kening juga badannya.

Jantungnya berdegup kencang. Ada perasaan tak enak, saat melihat besi neraka itu diacung-acungkan.

Sesaat kemudian, petuha itu berseru, “Bismillah. Allahu Akbar!”

Sebagian penonton menutup mata, begitu pula Agam. Selang beberapa detik, terdengar lengkingan kesakitan yang amat memilukan. Penonton pun ikut menjerit-jerit.

Tubuh Agam terjatuh dan menggelepar di tanah. Darah mengucur deras dari perutnya.

Sesaat sebelum ajal menjemput, pemuda itu kembali mengingat nasihat terakhir ibunya.

Kau, Gam, pergilah ke Aceh untuk menimba ilmu agama. Kalau bukan untuk itu, aku tak rida. Maut bagimu. Kau ingat, Gam?

Penulis: Tiara Nursyita Sariza
Editor: Dian Sarmita

Sumber: Majalah digital elipsis edisi 002, Juli—Agustus 2021

Untuk keterbacaan teks dan tampilan yang lebih baik, sila unduh aplikasi majalah elipsis di Play Store, tanpa memerlukan login. Kirim naskah ke majalah digital elipsis via email: majalahelipsis@gmail.com. Dapatkan bundel digital majalah elipsis (format PDF 100 halaman) dengan menghubungi redaksi di nomor WhatsApp 0856-3029-582.

Subscribe To Our Newsletter

Get updates and learn from the best

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Download versi aplikasi untuk kenyamanan membaca