Sastra Masuk Kurikulum

Share on facebook
Share on twitter
Share on linkedin
Share on whatsapp
Share on telegram

Oleh Muhammad Subhan

ASYIK, akhir “Sastra Masuk Kurikulum”. Ini kabar menggembirakan di pertengahan tahun 2024. Meski disambut pro dan kontra.

Saya sendiri pro buku-buku sastra terbaik masuk ke kurikulum, mulai dari jenjang SD, SMP, hingga SMA. Dengan begitu, guru dan siswa memiliki panduan sebagai pembaca awal buku-buku sastra di lembaga pendidikan.

Tidak hanya direkomendasikan judul-judulnya, tetapi juga ada buku panduan penggunaan Rekomendasi Buku Sastra, diterbitkan Kementerian Pendidikan, Riset, dan Teknologi RI.

Buku panduan itu tebal, 784 halaman, memuat sampul dan data buku, gambaran singkat isi buku, penafian/disclaimer secara umum, catatan penafian/disclaimer secara detail, panduan penggunaan secara umum, panduan penggunaan secara khusus, dan keterkaitan dengan mata pelajaran.

Sebagai sebuah panduan, buku ini lengkap dan detail. Guru dan siswa dapat merujuk, serta sekaligus memilih bacaan yang mereka minati. Bagi guru, panduan itu dapat menjadi pertimbangan sebelum memilih buku bersangkutan untuk dijadikan bahan ajar.

Artinya, sebelum siswa membaca buku-buku sastra yang direkomendasikan itu, guru harus membaca dulu, sampai khatam.

Jangan sampai guru tidak membaca, atau siswa lebih dulu membaca.

Sebagai pendidik, guru harus lebih dulu tahu, baru memberi tahu. Meski dalam Kurikulum Merdeka, guru dan siswa sama-sama menjadi subjek pembelajaran.

Buku-buku sastra yang masuk kurikulum itu dipilih dan dikurasi oleh tim kurator yang terdiri dari para sastrawan lalu menyusun buku-buku direkomendasikan itu. Ada tim reviewer-nya juga yang merupakan kontributor dari kalangan guru.

Memilih buku-buku sastra yang direkomendasikan apalagi masuk ke kurikulum memang diperlukan tim kurator. Kurator adalah pakar yang benar-benar ahli di bidangnya serta sebagai kreator yang juga melahirkan karya sastra.

Namun, yang agak “janggal” dalam amatan saya, beberapa buku sastra karya kurator turut masuk ke dalam buku sastra yang direkomendasikan dalam kurikulum itu—meski beberapa nama kurator lain terbebas karena tidak ada bukunya di daftar rekomendasi.

Idealnya, kurator adalah orang yang berdiri di tengah-tengah, netral, tidak punya kepentingan apa pun pada proses kurasi yang dia lakukan. Jangan menyelam sambil minum kopi, apa pun alasannya.

Walau buku kurator anggaplah terbaik pula dengan indikator tertentu dan layak masuk kurikulum, sejatinya karya kurator harus berada di luar gelanggang proses pengkurasian yang ia lakukan.

Itu baru fair, karena buku-buku terbaik lainnya banyak betebaran, tidak selalu ada di toko buku, juga tidak selalu diterbitkan penerbit mayor, atau penerbit pemerintah, dan bisa saja luput dari pembacaan tim kurator.

Di situlah usaha dan perjuangan kurator memburu, membaca, memilih, merekomendasikan buku-buku sastra lainnya di luar karya si kurator.

Semoga saja hal ini menjadi pertimbangan Kementerian Pendidikan, Riset, dan Teknologi RI di masa mendatang di saat proses pengkurasian tahap berikutnya, kalau seandainya proyek dimaksud masih dilakukan, sebab buku-buku sastra baru akan terus lahir dan terbit.

Mudah-mudahan setiap tahun ada rekomendasi buku-buku sastra lainnya sehingga menumbuhsuburkan industri perbukuan Tanah Air yang akhir-akhir ini “lesu darah” karena disrupsi digital yang kian membadai. Banyak penerbit tutup, banyak toko buku tutup.

Memberi rekomendasi buku sastra yang masuk kurikulum otomatis akan berimbas pada penjualan buku dimaksud, cetak ulang kembali, juga usaha-usaha lainnya yang dilakukan penerbit buku terkait karena telah mendapat “promosi gratis” dari pemerintah lewat daftar rekomendasi itu.

Selamat masuk kurikulum buku-buku sastra. Mudah-mudahan apresiasi sastra di ruang-ruang kelas kian tumbuh subur, dengan perbincangan-perbincangan hangat yang asyik, karena karya sastra salah satu media ampuh untuk menumbuhkan budi pekerti luhur pembacanya, khususnya siswa.

Selamat merdeka belajar. Merdeka terus sastra Indonesia. Tabik! (*)

Untuk keterbacaan teks dan tampilan website majalahelipsis.com yang lebih baik, sila unduh aplikasi majalah elipsis di Google Play atau APP Store, tanpa memerlukan login. Kirim naskah ke majalah digital elipsis (ISSN 2797-2135) via email: majalahelipsis@gmail.com. Dapatkan bundel digital majalah elipsis (format PDF 100 halaman) dengan menghubungi redaksi di nomor WhatsApp 0856-3029-582. Ikuti laman media sosial Majalah Elipsis (Facebook) atau @majalahelipsis.

Subscribe To Our Newsletter

Get updates and learn from the best

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Download versi aplikasi untuk kenyamanan membaca