RISSA CHURRIA, biasa dipanggil Ummi Rissa adalah penyair yang saat ini tinggal dan menetap di Bekasi, Jawa Barat. Karyanya diterbitkan dalam buku kumpulan puisi tunggal, yaitu Harum Haramain (2016), Perempuan Wetan (2017), Blakasuta Liku Luka Perang Saudara (2018), Matahari Senja di Bumi Osing (2019), Babad Tanah Blambangan (2020), Bisikan Tanah Penari (2021), Risalah Nagari Natasangin (2021), Kembul Bujana Cinta Kamajaya Kamaratih (Kontmpelasi Puisi, 2021), dan lebih dari 90 kumpulan puisi bersama. Puisi Rissa juga dimuat di berbagai media cetak, antara lain Jawa Pos, Radar Banyuwangi, Radar Bekasi, BMR Fox Kotamobagu, tabloid bulanan Pemuisi Malaysia, tabloid bulanan di Jakarta Semesta Seni, dan lain lain. Rissa juga aktif sebagai pengurus Komunitas Jagat Sastra Milenia dan Istana Puisi. Email: churriarissa@gmail.com.
WAKTU
Hari ini adalah kemarin dan akan datang
Kita dipertemukan bukan karena kebetulan
Ada catatan yang tak asing dalam benak
Menyisakan kenangan di tiap kelok yang tertinggal
Dan sebuah penerimaan pada dada ikhlas yang ditandaskan usia
Kita adalah jiwa lelana
Tak ada jendela dan pintu di sana
Serupa belantara luas tak bertepi
Ada area gelap dan terang
Suara-suara cinta berjubah malaikat
Dan suara-suara iblis berwajah kebenaran
Keduanya merupa kutub yang tarik menarik
Lalu mewujud dalam langkah dan pandang cerita hidup
Yang kita jalani saat ini dan seterusnya
Sayang mari kita berbenah
Telisik kembali sederet imaji
Rangkaian harapan
Segala kecemasan
Berbagai tulisan yang tertoreh di dada waktu
Keinginan yang kadang kontradiktif
Antara mulut jiwa pikiran dan rasa
Semua akan mewujud satu-satu dalam perjalanan ini
Tuntun aku ke jalan cahayamu
Gugah dan kecup kening kesadaranku
Di tiap kegelapan dalam jelatang pikiran tak tentu
Gandeng dan raih jemari ini
Pada jalan sakral penghambaan
Yang terkadang masih berubah ubah warna
Putih biru jingga abu-abu merah bara atau hitam daun mawar
Pada jalan cahaya itu aku menunggu rangkul cintamu
Bekasi, 10.01.2024
CERITA TENTANG GERIMIS
Aku dengar gerimis telah tiba
Di balik bukit perbatasan antara mendung dan angin
Mendung duduk memintal suatu cerita
Tentang pohon rindu: tumbuh begitu saja
Aku dengar gerimis menikam senja
Pada debaran yang purna oleh cinta
Langit bertabur naora asa dan suka cita
Sementara bumi menunggu jatuhnya suara
Aku dengar Kau bawakan gerimis di sana
Hanya ada badai makrifat yang melanda
Seketika semua menjadi hening bening
Serupa tetes embun yang enggan
Berpaling dari pori pori subuh
Pengantar mekarnya pagi
Katanya gerimis masih tersisa
Untuk sekadar membasuh
Kedua telapak tangan
Wajah dan kuku kaki
Hingga malamku tiba
Katanya gerimis masih ada
Setu, 15.02.2024
ZIARAH DI BUKIT KENANGA
Ibu ….
Aku menziarahimu dalam bungkam rindu
Di bukit kenanga yang ditumbuhi bunga Kantil dan Kamboja
Wangi menyeruak di antara nisan dan doa
Kupeluk kenangan dalam kubang nasihat tulus cinta
“𝘕𝘢𝘬, 𝘥𝘢𝘥𝘪𝘰 𝘚𝘪𝘳𝘢 𝘸𝘰𝘯𝘨 𝘴𝘪𝘯𝘨 𝘪𝘴𝘢 𝘳𝘶𝘮𝘢𝘯𝘨𝘴𝘢, 𝘢𝘫𝘢 𝘥𝘢𝘥𝘪 𝘸𝘰𝘯𝘨 𝘴𝘦𝘯𝘨 𝘳𝘶𝘮𝘢𝘯𝘨𝘴𝘢 𝘪𝘴𝘢. 𝘑𝘢𝘥𝘪𝘭𝘢𝘩 𝘬𝘢𝘮𝘶 𝘰𝘳𝘢𝘯𝘨 𝘺𝘢𝘯𝘨 𝘣𝘪𝘴𝘢 𝘮𝘦𝘳𝘢𝘴𝘢, 𝘥𝘢𝘯 𝘫𝘢𝘯𝘨𝘢𝘯 𝘮𝘦𝘯𝘫𝘢𝘥𝘪 𝘰𝘳𝘢𝘯𝘨 𝘺𝘢𝘯𝘨 𝘮𝘦𝘳𝘢𝘴𝘢 𝘣𝘪𝘴𝘢.”
Selalu itu kau ulang-ulang
Setiap kali aku membasuh kakimu
Dan kau meniupi ubun-ubun dengan doa
Syahdu ….
Ibu…
Saat bulan telah lewat di penanggal
Satu-satu Kamboja putih gugur
Pada hijau rumput yang senantiasa bertasbih lirih
Di atas kuburmu yang masih basah
Oleh genangan ritual doa
Bu…. Aku rindu saat kau sentuh dawuh kepalaku
Tiupi dengan rapal puji puja doa
Pada tulus yang bersemayam di dada
Kau padamkan kobar api amarah
Kau landaikan gemuruh darah
Kau redam segala prasangka jumawa rasa
Kau ganti dengan mantra cinta
Tertegun mengusap pusara
Rasanya baru kemarin ibu memeluk
Melangitkan nama anak-anaknya
Dalam ritual doa dan penghambaan
Ibu… meski Yasin dan tahlilku belum purna
Yakin bahwa Rahmat dan cinta-Nya lebih sempurna
Dari sekadar indahnya Surga
Bekasi, 12.12.23
JEMBATAN INGATAN
Rindu serupa bayangan
Lalu diam dalam ingatan
Matanya berkedip-kedip
Mulutnya terkunci rapat
Hanya ada bisik tanpa suara
Aku menatap
Kau melumat
Menjelma jembatan
Mengunci koordinat
Pada pertemuan
Antara dua kutub berbeda
Menyatu dalam tangkai mawar
Menitik embun dari kelopaknya
Dingin tiba-tiba menyergap
Ada lambai di ceruk waktu
Gema suaranya masih tersisa
Antara ngarai dan kebisuan
Menyusun bait puisi pling syahdu
“Kau aku menuju temu dalam rindu”
Jakarta,02.02.2024
SURAT KEPADA UNGU
Aku hanyalah umat akhir zaman
Tak pernah berjumpa dan bertemu
Tapi ditiupkan ruh cinta
Dalam dada dan qalbu
Serupa gelombang dahsyat
Seolah menakutkan dan menghanyutkan
Angin-angin kecil berdatangan
Menentramkan riak ombak
Menjadi sakral bersama sakal
Lalu terbit sinar rindu
Bermunculan dari bias jingga
Di kaki cakrawala pagi dan senja
Tak ada yang menyambutku
Sehangat tatapan mata rindu
Tak ada isak yang lebih indah
Selembut dekap cinta
Dalam rinai doa-doamu
Mari gelar upacara rindu
Dalam bilik hari dan jiwaku
Agar kau selalu hadir
Dalam hela-hela napas
Mengalir dalam darah
Menghidupi degup jantungku
Syahdu
Bekasi, 12.02.2024
Untuk keterbacaan teks dan tampilan website majalahelipsis.com yang lebih baik, sila unduh aplikasi majalah elipsis di Google Play atau APP Store, tanpa memerlukan login. Kirim naskah ke majalah digital elipsis (ISSN 2797-2135) via email: majalahelipsis@gmail.com. Dapatkan bundel digital majalah elipsis (format PDF 100 halaman) dengan menghubungi redaksi di nomor WhatsApp 0856-3029-582. Ikuti laman media sosial Majalah Elipsis (Facebook) atau @majalahelipsis.