Manusia dan Agama

Share on facebook
Share on twitter
Share on linkedin
Share on whatsapp
Share on telegram

Oleh Muhammad Subhan

SUATU malam di tahun 1953, di penjara Pancurbatu, Sumatera Timur (sekarang Sumatera Utara), seorang pemuda tahanan bernama Bangun menangis sedu-sedan di bilik penjaranya. Bangun berasal dari Karo. Ia ditahan karena dituduh melakukan perampokan dan pembongkaran gudang seorang pedagang. Umurnya masih muda, kira-kira 25 tahun, dan dia tidak beragama (ateis).

Seorang tahanan politik bernama Ali Hasjmy, kawan satu selnya, bertanya apa gerangan yang menyebabkan Bangun menangis. Dengan suara berat dan serak, Bangun menjawab, “Selama dua hari dalam tahanan, teristimewa di waktu malam, saya selalu dikejar oleh sesuatu yang saya tidak mengetahuinya, tetapi telah menguasai jiwa ragaku. Saya merasa ketakutan yang amat, tetapi kepada siapa, saya sendiri pun tidak tahu.”

“Apakah kepada kesadaran yang telah tumbuh dalam dada Saudara?” tanya Ali Hasjmy.

“Memang saya telah banyak sekali berbuat kejahatan,” sambungnya lagi. “Tetapi selalu dapat saya tutupi di mata manusia, hatta di mata polisi sekalipun, berkat keahlian saya berbohong. Dalam dua hari ini, Tuan, saya merasa bahwa semua kesalahan saya itu telah diketahui oleh sesuatu yang gaib, sehingga saya dikejar-kejarnya sebagai hendak meminta pertanggungan jawab atas kesalahan-kesalahan yang telah saya perbuat itu. Inilah yang menyebabkan saya menangis, Tuan. Saya ingin lepas dari ketakutan yang hebat itu, dapatkah Tuan menunjuki saya jalan?”

“Saudara beragama?” tanya Ali Hasjmy.

“Tidak,” jawab Bangun.

“Saudara bertuhan?” tanya Ali Hasjmy lagi.

“Tidak,” jawabnya pasti.

“Nah,” ujar Ali Hasjmy memberi penjelasan. “Adapun sesuatu yang Saudara rasa mengejar-mengejar Saudara dan menimbulkan ketakutan dalam hati Saudara, adalah kekuasaan dan kebesaran Tuhan, yang ilmunya meliputi semesta alam, dan kepercayaan adanya Tuhan dengan segala sifat-sifatnya, itulah sebenarnya agama.”

“Oh ….!” Bangun mengeluh.

Dialog dua orang tahanan itu dicatat Ali Hasjmy dalam bukunya Surat-Surat dari Penjara (1976). Buku itu merupakan kumpulan surat Ali Hasjmy kepada putrinya bernama Dahlia yang waktu itu masih berusia 4 bulan. Dalam sejarah, Ali Hasjmy dikenal sebagai seorang ulama, sastrawan, dan mantan gubernur Aceh. Di masa mudanya ia ditahan dalam beberapa penjara di Sumatera Timur karena diduga ada sangkut-paut dengan DI/TII di Aceh yang dipimpin Teungku Daud Beureueh. Pemberontakan DI/TII pecah pada tanggal 20 September 1953 dan pada tanggal 23 September 1953 Ali Hasjmy ditangkap, sementara di saat itu ia bertugas di Medan sebagai Wakil Kepala Jawatan Sosial. Setelah beberapa bulan di penjara dengan status tahanan politik, di saat itulah Ali Hasjmy bertemu dengan pemuda Bangun, yang memiliki kasus berbeda.

Seorang ateis yang tidak mempercayai adanya Tuhan dan agama, di penjara itulah titik balik kehidupan Bangun ditemui. Atas bimbingan Ali Hasjmy, Bangun insyaf bahwa dalam hidup ini dia membutuhkan agama dan Tuhan.

“Sekarang, kembalilah Saudara mempelajari dan merenungkan suara hati kecil, yang menurut keterangan Saudara sangat mengganggu Saudara dalam kesunyian ini, niscaya Saudara akan mendapat jalan lepas dari ketakutan yang menyiksa jiwa Saudara.”

Sejak pertemuan dengan Ali Hasjmy itu, Bangun mulai mengembara dalam dunia perenungannya. Mulailah ia menjalankan ibadah-ibadah, terutama salat dan benar-benar bertobat. Hingga suatu malam, pemuda itu datang kembali dan membangunkan Ali Hasjmy dari tidurnya.

“Jalan lepas telah saya peroleh, Tuan,” ujar Bangun. Dia diam sebentar, sedangkan wajahnya menggambarkan cahaya kebenaran yang sedang mengambang dalam hatinya. Kemudian dengan suara yang pasti, ia melanjutkan, “Mulai senja tadi, Tuan, saya coba memperdalam studi tentang diri sendiri dan dunia raya ini yang penuh dengan kebaikan dan keburukan. Saya telah mendapat suatu kesimpulan, bahwa di luar dunia raya ini pasti ada sesuatu kekuatan gaib yang mengatur dan menguasai tata-hidup alam semesta ini. Mungkin kekuatan itu, ialah Tuhan yang Tuan terangkan malam kemarin, tetapi studi saya belum sampai ke situ lagi. Saya akan mengembara terus untuk mencari Tuhan, dan sekarang saya telah yakin benar-benar bahwa Tuhan pasti ada.”

Begitulah kisah tobatnya seorang pemuda bernama Bangun yang berlumuran dosa. Di penjara kesadarannya tumbuh. Mungkin itu pula perlunya penjara dibuat manusia, untuk memenjarakan segala kejahatan, kesombongan, kepongahan, hati yang keras, dilepaskan dari dunia luar yang bebas, sehingga menjadi dunia kecil yang sempit.

Saat berada di penjara itu pula, terjadi perenungan-perenungan, yang merupakan bagian dari proses pencarian jati diri. Sejahat apa pun manusia, sekeras apa pun hati manusia, sesungguhnya mereka punya hati nurani yang lunak, yang jika hati itu tersentuh dan terketuk oleh pancaran cahaya Ilahi, keinsyafan akan datang menghampiri. Sebab begitulah sifat asli manusia yang pada hakikatnya mereka beragama dan bertuhan. Mereka membutuhkan bimbingan agama untuk mengenal Tuhan yang telah menciptakan segala makhluk. Lewat ajaran agama manusia dituntun untuk mengenal mana jalan yang lurus (benar) dan mana jalan yang bengkok (salah). Dalam menempuh jalan itu, yang kuat imannya tidak peduli dengan banyaknya onak dan duri, dalamnya jurang dan lembah, sebab tujuan yang mereka tempuh adalah kasih sayang Allah (keridhaan Allah).

Sehebat-hebat manusia, hidupnya dibatasi usia. Tak ada yang lebih hebat, besar, dan kuasa selain Kehabatan, Kebesaran, dan Kekuasaan Allah Swt.

Buya Hamka dalam buku “Dari Lembah Cita-Cita” menulis, “Besar manusia dengan akal dan budinya memang. Tetapi Allah lebih besar. Berapa kali dinyatakan kisah raja-raja yang terdahulu di dalam Al-Qur’an, tentang besar kekuasaannya dan gagah perkasanya, sejak daripada Namrud lalu kepada Fir’aun, dinyatakan kegagahannya Haman yang disuruh Fir’aun membina mercu yang amat tinggi untuk memanah Tuhan. Kisah Qarun yang kaya raya, diterangkan pula Irama Zatil ‘Imad, Tsamud, ‘Ad dan beberapa kekuasaan yang lain-lain, diterangkan kerajaan yang naik dan runtuh. Semuanya datang dan semuanya hancur dan musnah, sehingga yang tinggal hanya sebutannya saja lagi. Dan selalu ternyata Allah juga yang Maha Besar, Allahu Akbar.” (*)

Untuk keterbacaan teks dan tampilan website majalahelipsis.com yang lebih baik, sila unduh aplikasi majalah elipsis di Google Play atau APP Store, tanpa memerlukan login. Kirim naskah ke majalah digital elipsis (ISSN 2797-2135) via email: majalahelipsis@gmail.com. Dapatkan bundel digital majalah elipsis (format PDF 100 halaman) dengan menghubungi redaksi di nomor WhatsApp 0856-3029-582. Ikuti laman media sosial Majalah Elipsis (Facebook) atau @majalahelipsis.

Subscribe To Our Newsletter

Get updates and learn from the best

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Download versi aplikasi untuk kenyamanan membaca