Kepala dan Prosesi Kepemimpinan

Share on facebook
Share on twitter
Share on linkedin
Share on whatsapp
Share on telegram

Oleh Muhammad Subhan

KEPALA adalah organ tubuh paling vital. Makhluk tanpa kepala, hantu namanya.

Manusia sudah tentu punya kepala. Letaknya terhormat, berada paling tinggi dari organ tubuh lainnya.

Di kepala itu, terdapat dua mata. Fungsinya untuk melihat. Ada setumpuk rambut. Dua telinga untuk mendengar. Mulut untuk makan, minum dan bicara. Juga satu hidung untuk bernapas.

Yang terpenting, kepala membungkus otak, alat untuk berpikir. Kalau otak tak berfungsi, orang bisa hilang akal.

Terhormatnya posisi kepala, jangan coba-coba menjitak kepala orang. Berang orang nanti. Bisa dihantamnya pula kepala awak.

Main pegang kepala tanpa alasan yang dibenarkan, dianggap penghinaan. Atau mengajak bertinju.

Hanya satu orang saja yang berhak memegang kepala orang, meski kadang tak minta izin. Namanya tukang pangkas rambut! Sudahlah dipegangnya kepala awak, selesai itu dia minta upah. Tentu, sebagai jasa atas pekerjaannya; merapikan rambut awak.

Memang harus begitu. Hidup ini simbiosis mutualisme. Saling menguntungkan. Saling ketergantungan. Tak bisa awak mencukur rambut sendiri.

Saking populernya kepala, maka kata “kepala” pun diadopsi untuk sejumlah nama dan jabatan, seperti kepala negara, kepala daerah, kepala sekolah, kepala kantor, kepala keluarga, dan kepala-kepala lainnya.

Kepala-kepala itu adalah orang-orang yang ditinggikan posisinya seranting, dimajukan selangkah.

Kepala negara memimpin negara, kepala daerah memimpin propinsi/kabupaten/kota, kepala sekolah memimpin sekolah, kepala kantor memimpin kantor, kepala dinas memimpin dinas, kepala keluarga memimpin rumah tangga, dan kepala-kepala lainnya memimpin dirinya sendiri serta kelompoknya.

Artinya, semua kepala itu adalah pemimpin. Sekecil apa pun ruang lingkup kepemimpinannya.

Namun yang pasti, setiap pemimpin, kelak, akan dimintai pertanggungjawaban atas apa yang dipimpinnya. Itu doktrin agama!

Bahasan tentang kepala ini kita kerucutkan, cukup tentang kepala daerah saja.

Dulu, kepala daerah yang memimpin kabupaten/kota ditunjuk gubernur, atau disidangkan di dewan, melalui usulan partai—gubernur ditunjuk presiden atau melalui DPRD. Sejak bergulirnya reformasi 1998, helat kepala daerah memasuki alaf baru. Mereka dipilih melalui suara rakyat dalam pemilihan umum kepala daerah (pilkada). Pemilihan langsung tentu saja lebih fair lantaran terpilih-tidaknya seorang calon kepala daerah tergantung suara rakyat. Siapa saja berhak mencalonkan diri, tapi yang menentukan terpilih-tidaknya adalah rakyat.

Maka, yang mendapat suara terbanyak pada pilkada tentulah calon kepala daerah yang sangat dekat dengan rakyatnya, yang memahami kesulitan rakyat. Bukan calon karbitan, bukan pula calon yang muncul spontan karena banyak uang.

Mereka benar-benar mapan dan berkarakter pemimpin, istikamah, tawadu, rendah hati, berwibawa, jujur, dan bertanggung jawab. Dan, yang terpenting, mereka selalu ada ketika rakyat membutuhkan. Pakaian mereka adalah kesederhanaan. Sebab, sebelum menjabat mereka bukan siapa-siapa, posisinya sama dengan rakyat biasa. Setelah terpilih dan menjabat dia akan menjadi pelayan rakyat, bukan malah sebaliknya “minta dilayani”.

Calon kepala daerah tidak harus putra daerah. Siapa pun berhak berkompetisi menjadi kepala daerah, di mana pun itu. Isu putra daerah tidak lagi populer. Yang populer adalah kompetisi dan kompetensi masing-masing calon kepala daerah. Bersaing secara sehat mendapatkan suara rakyat, tidak melakukan black campaign; kampanye hitam. Tidak menjatuhkan lawan dengan cara tidak jantan. Inilah alam demokrasi, segala sesuatu diukur dengan nilai intelektual. Bukan dengan otot, tapi otak.

Kepala daerah yang benar-benar pilihan rakyat, jabatannya akan sehat dan selamat. Langgeng. Sebab kepemimpinannya sepenuhnya memberi manfaat pada rakyat yang dipimpinnya. Jika tugas-tugasnya belum tuntas dalam satu periode, rakyat akan memilihnya untuk kedua kali. Kalau dia menolak, rakyat mendesak, sebab kepimpinannya selalu dirindukan. Jika ia pensiun atau meninggal dunia, nama dan jasanya dikenang sepanjang masa. Orang melekatkan namanya sebagai nama jalan, monumen, museum, dan lainnya. Abadi. Tak lekang kena panas, tak lapuk kena hujan.

Sebaliknya, kepala daerah yang tak berpihak pada rakyat yang dulu memilihnya, alamat namanya cepat dilupakan orang. Lekas hilang dari peredaran. Sudah banyak kejadian. Kata orang tua, ada hukum sebab akibat. Baik berbalas baik, buruk berbalas buruk. Waktunya saja yang tidak tahu kapan. Tapi yang pasti semua mendapat giliran. Kata penyair Chairil Anwar, “semua dicatet, semua mendapat tempat.”

Daerah-daerah yang berhelat memilih pemimpinnya, baik yang sudah, atau yang telah menjabat, atau yang akan mempersiapkan helat di masa berikutnya, harapan kita, tentu benar-benar calon pemimpin yang amanah, ikhlas menjadi pelayan rakyat. Bukan sebaliknya, minta dilayani. Dirinya selalu ada ketika dibutuhkan. Pesan di gawainya lekas dibaca dan dibalas, walau yang membalas tangan ajudan. Tak apa. Komunikasi itu penting. Apalagi kepada rakyat yang memilih.

“Saya yakin tak salah pilih. Ini pesan WhatsApp saya dibalas. Senang hati saya,” ujar seorang warga, rakyat di sebuah kota, menunjukkan pesan balasan dari calon seorang kepala daerah. Senang benar hati warga itu.

Ternyata bahagia itu memang sederhana. Meskin masih calon, pesan warganya lekas dibalas. Entah setelah duduk nanti. (*)

Untuk keterbacaan teks dan tampilan website majalahelipsis.com yang lebih baik, sila unduh aplikasi majalah elipsis di Google Play atau APP Store, tanpa memerlukan login. Kirim naskah ke majalah digital elipsis (ISSN 2797-2135) via email: majalahelipsis@gmail.com. Dapatkan bundel digital majalah elipsis (format PDF 100 halaman) dengan menghubungi redaksi di nomor WhatsApp 0856-3029-582. Ikuti laman media sosial Majalah Elipsis (Facebook) atau @majalahelipsis.

Subscribe To Our Newsletter

Get updates and learn from the best

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Download versi aplikasi untuk kenyamanan membaca