Jadi Penulis Harus “Tahan Banting” (4)

Share on facebook
Share on twitter
Share on linkedin
Share on whatsapp
Share on telegram

Oleh Muhammad Subhan

SEBUTLAH namanya Mawar, seorang pelajar kelas dua SMA, saat itu. Suatu hari ia menghubungi saya karena tertarik ingin menjadi penulis setelah profil saya diceritakan gurunya. Gurunya itu pernah menjadi peserta pelatihan menulis yang saya ampu. Sang guru tertarik merekomendasikan nama saya dan menginginkan Mawar turut belajar di kelas saya.

Suatu hari Mawar menghubungi saya melalui pesan media sosial Facebook. Ia menyapa ramah, mengenalkan diri, lalu menyampaikan niat untuk menjadi penulis. Ia terinspirasi dengan kesuksesan beberapa tokoh penulis dunia, satu di antaranya J.K. Rowling yang menulis novel fenomenal Harry Potter.

“Saya juga tertarik dengan Kakak. Saya sudah membaca buku Kakak,” katanya sembari menyebutkan beberapa judul buku saya. “Bolehkah saya belajar di kelas Kakak?” tanyanya kemudian.

Saya membalas pesannya, “Boleh saja.”

“Apa syaratnya?” desaknya lagi.

“Serius. Banyak baca buku. Sesudah itu, tentu, sebanyak mungkin menulis.”

“Oh, kalau cuma itu, siap!” jawabnya semangat.

Setelah percakapan itu, Mawar menunjukkan keseriusannya. Sungguh-sungguh menulis. Setiap pekan ia memperlihatkan karyanya, terutama puisi dan cerita pendek. Saya baca dengan tekun tulisan-tulisannya. Ia juga rajin datang ke kelas-kelas saya—sebelum zaman pandemi Covid-19—dan turut belajar bersama teman-temannya yang lain.

Ketekunan Mawar berbuah manis. Beberapa puisinya terbit di koran lokal meski belum mendapatkan honor. Ia mengaku senang tulisannya muncul di koran dan itu berdampak pada semangat menulisnya. Ia pun makin giat menulis. Setiap hari ia sempatkan menulis di laptop maupun di buku hariannya. Hampir setiap hari pula ia menyapa saya melalui pesan Facebook dan kadang pesan-pesannya itu tidak sempat saya baca karena kesibukan. Namun, ia tak bosan menyapa, meminta kritik dan saran atas tulisan-tulisannya.

Bulan berganti, tahun berlalu. Mawar akhirnya menyelesaikan pendidikan SMA-nya. Ia tamat dan akan meneruskan ke perguruan tinggi; kuliah, menjadi mahasiswi. Setelah pengumuman lulus ia mengabarkan kepada saya bahwa ia dan keluarga akan pindah ke Jakarta. Ia mengaku keberatan, tetapi mau tidak mau harus ikut ortu.

Setelah pindah, intensitas sapaannya di medsos mulai berkurang. Ia juga sudah jarang mengabarkan progress tulisan-tulisannya. Beberapa kali ia bercerita tentang kehidupan barunya sebagai mahasiswi di sebuah kampus ternama di ibu kota dan setelah itu ia nyaris hilang ditelan Bumi. Bahkan, status-status medsosnya yang semula aktif dengan berbagai penggalan tulisannya tak lagi terlihat. Satu dua ia membagikan foto kegiatan di kampus, di mal, di kafe, dan di rumahnya. Tak ada lagi puisi atau cerita pendek yang ia bagikan. Tak ada lagi remaja bernama Mawar yang saya kenal ketika kurang lebih dua tahun dia belajar menulis.

Jarak memang sering kali mengubah kehidupan seseorang. Hanya waktu yang sesekali mengingatkan kenangan masa lalu meski tak jarang dilupakan atau terlupakan.

Begitulah, Mawar mulai melupakan cita-citanya menjadi penulis. Niatnya berubah. Barangkali ia tak punya waktu lagi menulis, atau sudah menemukan keasyikan lain yang lebih menjanjikan selain menjadi penulis. Kehidupan kampus sebagai dunia baru memiliki keasyikan yang berbeda dibanding SMA. Atau ia sudah menemukan passion sesungguhnya setelah lepas dari masa remaja. Barangkali, selepas kuliah, dia memilih menjadi model karena cantik, tinggi semampai. Atau menjadi pramugari. Atau menjadi pebisnis. Entahlah. Sejak itu saya tak kepo lagi.

Sepanjang hampir 20 tahun mendampingi kelas-kelas menulis, potret seperti Mawar sering saya amati. Hasrat menjadi penulis tumbuh subur di saat SMP atau SMA, tetapi setelah masa pekuliahan mereka tidak lagi menunjukkan minat kepenulisannya, apalagi kalau sudah menikah. Bertolak belakang dengan niat dan tekad yang pernah mereka sampaikan di saat mulai meminati tulis-menulis. Satu dua di antara mereka ada juga yang “menjadi penulis” hingga kini, bahkan ada yang meneruskan kuliah hingga jenjang S-3, tetapi tidak berhenti menulis. Buku-bukunya setiap tahun terbit. Ada yang menjadi guru dan dosen, tetap menulis. Ada yang memimpin lembaga pendidikan pers, mengelola media massa, menjadi owner sekaligus pemimpin redaksinya. Ada yang murni jadi penulis. Ada yang menjadi motivator. Ada yang menjadi pebisnis namun tetap melahirkan buku.

Sebagai orang yang pernah mendampingi mereka saya turut bahagia. Niat menjadi penulis tetap kukuh mereka lekatkan di pikiran dan hati. Ternyata bisa hidup dari menulis. Mereka membuktikan itu. Menulis bisa menghasilkan sesuatu, baik finansial, prestise, maupun prestasi.

Bercermin dari cerita Mawar, siapa pun yang ingin menjadi penulis langkah pertama adalah meluruskan niat. Untuk apa jadi penulis? Sudah yakin ingin hidup di jalan kepenulisan? Kalau sudah, mantapkan niat dengan minat dan tekad yang kuat. Minat akan membuat seorang penulis jatuh cinta pada pekerjaannya (menulis). Kalau sudah cinta, apa pun akan dia lakukan. Cinta menulis, tentu, mau meluangkan waktu untuk menulis, meski sedang sibuk sekali. Setidaknya ada alokasi waktu minimal 30 menit atau satu jam sehari untuk menyempatkan membaca buku dan menulis. Poinnya pada kesabarannya.

Buku-buku yang ditulis para penulis dan dibaca banyak orang, kalau tidak ditulis dengan kesabaran tidak akan pernah lahir dan terbit. Menulis adalah pekerjaan melatih kesabaran. Pada niat ada komitmen. Pada komitmen ada istikamah. Kuatkan hati untuk tetap berjalan di jalur yang benar di ranah kepenulisan.

Seorang pelajar SMP atau SMA, di usianya itu, dia beruntung punya niat yang kuat jika ingin menjadi penulis. Di usia itulah saat paling tepat belajar menulis. Nanti, ketika masuk ke perguruan tinggi, ia sudah memiliki cukup bekal untuk mengerjakan tugas-tugas yang diberikan dosen.

Tugas apa itu?

Setiap dosen akan menyuruh mahasiswanya menulis makalah. Mahasiswa membuat makalah dengan sejumlah bahan rujukan. Karena si penulis (pemula) tadi sudah punya bekal menulis, semua menjadi gampang dan mudah. Makalahnya akan tuntas dan lekas diserahkan ke dosen lalu ia mendapat nilai baik. Sementara temannya yang sejak SMP atau SMA tidak pernah berminat belajar menulis, dipastikan akan terbentur dengan kemampuan menulisnya yang amburadul. Makalahnya akan banyak coretan dari dosen, atau bahkan berpeluang ditolak. Hingga nanti di semester akhir, ia menulis skripsi, makin dibuat sport jantung. Sesak napas. Menangis sejadi-jadinya. Tak sedikit yang memilih DO karena tak mampu menuntaskan skripsinya.

Kenapa? Karena tidak bisa menulis! Kasusnya banyak ditemukan.

Fatalnya, karena tidak bisa menulis yang baik dan benar itu, banyak oknum mahasiswa yang melakukan “kejahatan intelektual”. Mereka melakukan plagiasi di internet. Copy paste, mengambil karya orang lain, diubah sedikit, lalu diklaim menjadi karya mereka. Baru-baru ini di sebuah kampus ternama, kasus plagiasi itu mencuat. Tranding topik di medsos X (Twitter). Dilakukan seorang oknum mahasiswi. Cantik tapi plagiat!

Nah, jika “kejahatan intelektual” ini sudah terjadi di kampus-kampus yang menomorsatukan pendidikan karakter, bisa dibayangkan entah akan menjadi apa masa depan negeri ini kelak. Kalau oknum-oknum itu menjadi pejabat, mereka berpotensi melakukan kejahatan pula, sebagai koroptur, misalnya, karena benih kejahatan sudah disemai dan dipupuk sejak masih duduk di bangku perkuliahan.

Maka, ini tak boleh terjadi. Mata rantainya harus diputus. Caranya, dimulai dari rumah, dilanjutkan di lembaga pendidikan terendah, mulai dari TK, SD, SMP, dan SMA. Di TK anak-anak sudah harus diajarkan kesenangan mengenal huruf, kata, dan gambar. Di SD sudah membaca buku cerita, mendongeng, dan menulis puisi. Di SMP berlatih menulis cerpen, dan SMA belajar menulis esai atau artikel, bahkan novel.

Sejatinya, sekolah-sekolah tidak semata menyuruh anak-anak ke perpustakaan meminjam dan membaca buku, tetapi juga memberikan tugas menulis karangan, sehingga anak-anak di zaman gawai ini akan terlatih mengasah imajinasi, berpikir kritis, menggerakkan jari-jari tangannya untuk mengetik tulisan lalu melahirkan sebuah karangan. Syukur-syukur kalau sekolah bersangkutan mau menerbitkannya menjadi buku.

Jadi, sejak dini, kuatkan niat mau apa dengan menulis. Sekadar merangkai kata mencurahkan unek-unek, mengisi waktu kosong, untuk mendapatkan penghasilan, prestise, prestasi, atau ingin memberikan kebermanfaatan lewat karya.

Semua berpotensi dimiliki. Kalau bersungguh-sungguh, kelak akan sukses menjadi penulis meski barangkali bekerja di berbagai lapangan pekerjaan yang tak bersentuhan langsung dengan tulis-menulis. Karena modal dan bekalnya sudah ada, pekerjaan apa pun kelak akan mudah dikerjakan, karena sudah pasti hampir semua pekerjaan berhubungan dengan tulis-menulis.

Apa kabar Mawar yang kita ceritakan di atas?

Saya tidak tahu lagi. Setelah bertahun-tahun berlalu, barangkali ia sudah selesai kuliah, diwisuda sarjana, atau melanjutkan ke jenjang pendidikan berikutnya, atau telah bekerja, menikah, dan punya anak, membangun sebuah keluarga bahagia.

Namun, tak ada kabar apakah ia meneruskan bakat menulisnya seperti di masa remaja atau tidak. Semua bisa berkemungkinan terjadi. Atau bisa saja, barangkali, ia telah menerbitkan beberapa buku dan beredar di toko-toko buku, tetapi tidak menggunakan nama aslinya. Memakai nama samaran, misalnya. Seperti kita samarkan namanya pada tulisan ini. Ya, bisa saja. Kalau itu terjadi, kita patut bersyukur, dan mudah-mudahan dapat membaca karya-karyanya di kemudian hari. (*)

Untuk keterbacaan teks dan tampilan website majalahelipsis.com yang lebih baik, sila unduh aplikasi majalah elipsis di Google Play atau APP Store, tanpa memerlukan login. Kirim naskah ke majalah digital elipsis (ISSN 2797-2135) via email: majalahelipsis@gmail.com. Dapatkan bundel digital majalah elipsis (format PDF 100 halaman) dengan menghubungi redaksi di nomor WhatsApp 0856-3029-582. Ikuti laman media sosial Majalah Elipsis (Facebook) atau @majalahelipsis.

Subscribe To Our Newsletter

Get updates and learn from the best

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Download versi aplikasi untuk kenyamanan membaca