Jadi Penulis Harus “Tahan Banting” (10)

Share on facebook
Share on twitter
Share on linkedin
Share on whatsapp
Share on telegram

Oleh Muhammad Subhan

TIDAK cukup niat, menjadi penulis juga diperlukan kemauan dan tekad yang kuat.

Bakat akan ikut dengan sendirinya. Kalau niat sudah mantap, tekadkan saja setiap hari menulis. Tulis apa saja. Sesuai minat.

Jangan menulis yang tidak mampu ditulis. Mulai saja dengan tiga hal: apa yang dilihat, apa yang dirasakan, dan apa yang sedang dipikirkan.

Itu saja dulu. Setiap bertemu sesuatu yang dilihat, tulis. Sedang merasakan apa pun, tulis. Lagi memikirkan perkara berat, tulis.

Modal sudah ada. Tinggal ambil pena, kertas, lalu tulis, tulis, dan tulis.

Nanti, pada saatnya, dari sekian banyak yang ditulis, satu dua karya terbaik akan lahir. Di saat itulah nama penulis yang melahirkannya akan mendapat perhatian di mata publik (pembaca).

Sekarang zaman sudah canggih. Pena dan kertas tidak terlalu dibutuhkan lagi. Medianya sudah beralih ke gawai atau laptop.

Penulis-penulis zaman dulu banyak repotnya. Mau menulis harus mencari kertas dulu, mesin tik juga. Saat mengetik, suasana rumah berisik. Yang riuh terdengar adalah suara tak, tik, tuk papan huruf mesin tik.

Kalau memiliki orangtua dan tetangga yang tidak paham pekerjaanmu sebagai penulis, sudahlah, bisa kena omel. Kena damprat plus cucian, eh, cacian.

Di bagian sebelumnya saya sudah cerita tentang ibu saya yang semula tidak menyenangi aktivitas saya menulis. “Apa yang kauketik-ketik itu? Berisik sekali! Pekak telingaku. Ada kau dapat uang?” Ibu merepet, hampir setiap hari, karena saya mengetik juga hampir setiap hari.

Itulah ujian pertama bagi seorang penulis (pemula) seperti saya di zaman lampau, di era 1990-an. Sebagian penulis lain yang sezaman dengan saya, atau lebih tua dari saya, juga merasakan hal sama, bahkan lebih berat.

Kalau sabar, endingnya indah. Kalau tak sabar, mesin tik bisa-bisa dibanting lalu balik kanan dari tekad semula ingin jadi penulis.

Sama dengan pekerjaan lain, menulis membutuhkan kesabaran tingkat dewa. Prosesnya perlu bertungkus lumus. Berdarah-darah.

Ujian paling dekat adalah ujian keluarga yang tidak semuanya paham bahwa menulis sebagai sebuah profesi. Ada hasil yang didapatkan layaknya pekerjaan-pekerjaan lain.

Ujian berikutnya saat tetangga kiri kanan melihat si penulis jarang keluar rumah tetapi kok ada uangnya terus. Sekali keluar rumah raun antarkota, antarprovinsi, bahkan antarnegara.

“Jangan-jangan dia pelihara tuyul,” gunjing tetangga yang resek.

Nasib serupa dialami anak-anak konten kreator di zaman sekarang yang lebih senang bekerja di rumah daripada di luar rumah. Sekali ke luar rumah, gayanya bikin geleng-geleng kepala tetangga.

“Padahal dia enggak seperti orang kerja kantoran, tetapi kok necis terus, ya? Dompetnya tebal. Jangan-jangan kawannya suster ngesot,” celetuk tetangga lainnya.

Begitulah. Orang cenderung melihat secara kasatmata pekerjaan orang lain. Dalam pikiran sebagian orang, idealnya sebuah pekerjaan, seseorang harus pergi pagi pulang sore, meninggalkan rumah ke kantor, atau ke pekerjaan-pekerjaan lain di luar rumah.

Orang kantoran identik harus berpakaian rapi, kalau perlu berjas dan berdasi, bersepatu hitam berkilap atau hak tinggi, membawa tas atau map entah kosong atau berisi.

Di era internet hari ini, terjadi disrupsi pekerjaan yang tidak lagi dominan si pekerjanya harus keluar rumah. Banyak pekerjaan yang semula berada di kantor, mal, toko, pasar, dan lainnya berpindah ke dalam rumah.

Orang-orang kemudian memanfaatkan kecanggihan teknologi digital untuk meringankan pekerjaan mereka, bahkan berjualan mengumpulkan banyak cuan.

Kehadiran media sosial seperti WhatsApp, Email, YouTube, TikTok, Instagram, X (Twitter), dan lainnya memberi kemudahan banyak orang untuk melejitkan usaha-usaha mereka.

Hal serupa juga dialami penulis. Dulu, mereka menulis lalu karyanya terbit di suratkabar atau berbentuk buku. Sekarang, karya mereka bisa terbit atau tayang di platform-platform digital.

Tidak sedikit penulis-penulis di platform digital sukses meraih banyak cuan dari karya-karya mereka yang dibayar pembacanya dengan nilai fantastis. Bahkan, dari penghasilan menulis di platform digital itu, mereka bisa membangun rumah, membeli kendaraan, juga umrah.

Penerbit-penerbit juga banyak melirik karya-karya mereka yang telah tayang dan viral di platform digital itu kemudian menawarkan kepada si penulis agar karya itu mereka terbitkan, baik berbentuk buku maupun e_book.

Buku-buku yang terbit itu—karena viral di platform digital—dilirik pula oleh rumah produksi untuk dilayarlebarkan.

Artinya, peluang terbuka ketika seorang penulis memilih ranah digital untuk mempulikasikan karya mereka, meski tak sedikit juga penulis yang gagal ketika mereka masuk ke platform digital.

Namun, sukses gagalnya seorang penulis di ranah kepenulisan, baik cetak maupun digital, tergantung seberapa keras usaha yang dilakukannya.

Sama juga dengan pekerjaan-pekerjaan lain, kalau tak bertungkus lumus, tak akan mendapatkan apa-apa.

Tidak cukup setelah karya ditulis lalu terbit kemudian didiamkan begitu saja. Perlu usaha-usaha kreatif mempromosikannya, seluas mungkin, baik dilakukan penerbit maupun si penulis, pun campur tangan pihak-pihak lain termasuk pembaca.

Kegigihan seorang penulis (pemula) menjadi ukuran suksesnya di kemudian hari. (*)

Untuk keterbacaan teks dan tampilan website majalahelipsis.com yang lebih baik, sila unduh aplikasi majalah elipsis di Google Play atau APP Store, tanpa memerlukan login. Kirim naskah ke majalah digital elipsis (ISSN 2797-2135) via email: majalahelipsis@gmail.com. Dapatkan bundel digital majalah elipsis (format PDF 100 halaman) dengan menghubungi redaksi di nomor WhatsApp 0856-3029-582. Ikuti laman media sosial Majalah Elipsis (Facebook) atau @majalahelipsis.

Subscribe To Our Newsletter

Get updates and learn from the best

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Download versi aplikasi untuk kenyamanan membaca