In Memoriam, Sang “Presiden Rex” Hasbi Burman Mewariskan “Sekeping Hati yang Tertinggal”

Share on facebook
Share on twitter
Share on linkedin
Share on whatsapp
Share on telegram

Oleh Sulaiman Juned

SANG penyair Aceh itu yang ditabalkan gelar “Presiden Rex”, Hasbi Burman, usai salat Tarawih pertama di Bulan Suci Ramadan 2024 (11 Maret 2024), lelaki kelahiran Lhok Buya, Calang, 9 Agustus 1944, menutup mata menghadap Sang Khalik, di Gampong Cot Karieng, Kecamatan Blang Bintang, Aceh Besar.

Saya berkenalan dengan almarhum sekitar tahun 1986. Ketika saya studi di FKIP/PBSI Universitas Syiah Kuala. Kami sering bersua di Taman Budaya Aceh. Setiap sore, kami sering duduk di lapangan rumput Taman Budaya dan saling berdiskusi tentang puisi dan seni. Malamnya, acap pula kami terkadang tidur bersama di Meunasah Tuha Taman Budaya Aceh itu. Ketika saya bersama rekan-rekan mendirikan Sanggar Cempala Karya Banda Aceh, Bang Hasbi—demikian saya akrab menyapanya—sering juga saya ajak berbagi pengalaman empiriknya dalam menulis puisi. Hal itulah yang membuat saya sangat akrab dengan beliau.

Sekeping Hati yang Tertinggal, buku kumpulan puisi tunggal karya Hasbi Burman. (Foto: Dok. Sulaiman Juned)

Penyair otodidak itu, puisinya rata-rata membahasakan tentang negeri pedalaman yang terpencil sekaligus dalam setiap puisinya terselip sejarah hidup di dalamnya. Puisi-puisinya memang begitu liar dan pilihan diksinya selalu mempesona, bahkan terkadang ide dan gagasannya sulit untuk ditebak.

Setiap bersama di Meunasah Tuha Taman Budaya yang tak berdinding itu, kebetulan di sana tempat tinggal penyair Din Saja (semasa lajangnya) juga. Kami sering berdiskusi bertiga, dan tak jarang ikut berkumpul teman-teman lainnya.

Bang Hasbi puisi-puisinya berangkat dari keterbacaannya terhadap hidup dan kehidupan. Penyair yang masa itu kesehariannya bekerja sebagai tukang parkir di seputaran kawasan kuliner Aceh di Peunayong. Pahit dan getir realitas dirinya dijadikan realitas sosial dalam melahirkan puisi-puisinya.

Bang Hasbi acap menceritakan pikirannya yang sedang berkelahi, lalu secara sadar hal itu menjadi proses kreatif. Kegelisahan itu dijadikan kegelisahan spiritual. Ia melakukan pemberontakan yang diteriakkan melalui bahasa bernama puisi.

Sambil mengisap rokok merek Comodore ia mulai mengoret-oret puisi di kertas, seperti puisi bertajuk “Keudah”: //Remang lampu kota menyibak selendang senja/ ketika semilir mengayuh kenangan lama/ ada yang tak terucap ketika mencium wangi malam// Begitulah ia memetakan dan memilih diksi yang menawan dan ia seolah-olah bercakap-cakap dengan alam.

Sementara ia menutup bait terakhir dari empat bait puisi itu dengan permainan diksi yang kuat sehingga puisi ini memiliki makna yang membias. Beginilah tuturan khas sang “Presiden Rex” dalam mengelola pikirannya dalam puisi. //Memandang ke udij sungai ungu jauh sekali/ Menggelepar dalam sejuk malam/ Yang ingin melepaskan diri dari jerat sarang laba-laba//. Puisi ini dikutip dari antologi puisi tunggalnya bertajuk Sekeping Hati yang Tertinggal (2019:13-14).

Kenangan Sulaiman Juned bersama Presiden Rex Hasbi Burman dan alm. penyair Aceh Mahdi Idris saat duduk di warung kopi Che Yuke di tepi kali Banda Aceh. Turut hadir penyair Zulfikar Kirbi. (Foto: Dok. Sulaiman Juned)

Alhamdulillah, pada tahun 2016, saya, Zulfikar Kirbi, dan Bang Hasbi, dan almarhum Tgk. Mahdi Idris menyempatkan duduk di warung kopi Che Yuke di tepi kali Banda Aceh. Lalu membicarakan tentang Bang Hasbi harus ada antologi puisi tunggal. Sangat menyedihkan penyair sekaliber Hasbi Burman pada tahun itu belum memiliki buku puisi tunggal. Lalu, puisi-puisi Bang Hasbi dikumpulkan Zulfikar Kirbi. Secara spontan pula waktu itu Bang Hasbi mengatakan, “Buku puisi saya nanti kata pengantarnya harus ditulis Sulaiman Juned,” ucapnya. Saya pun menyanggupinya.

Alhamdulillah, penyair yang diidolakan penyair-penyair muda itu, pada tahun 2019 bukunya berjudul Sekeping Hati yang Tertinggal rilis dengan 107 puisinya diterbitkan Penerbit Nuansa Cendikia Bandung. Buku puisi tunggalnya ini tentu menjadi warisan bagi generasi penyair Aceh di masa akan datang. Lalu, dalam buku itu, saya antar dengan catatan cinta yang saya beri judul “Sekeping Hati yang Tinggal Hasbi Burman Sang ‘Presiden Rex’ Berakrab-akrab dengan Alam, Perempuan, dan Kabut”.

Selamat, Abangda. Selamat jalan, “Presiden Rex”. Selamat beristirahat di rumah keabadian. Semoga berada di surga Allah. Amin.

Tentu kami sangat bersyukur Abangda masih sempat mewariskan Sekeping Hati yang Tertinggal, satu-satunya buku tunggalnya. Al-Faatihah. (*)

Dr. Sulaiman Juned, S.Sn., M.Sn.
Penulis adalah sastrawan, kolumnis, esais, sutradara teater, Ketua Panitia Pendirian ISBI Aceh, Pendiri Sanggar Cempala Karya Banda Aceh, Pendiri UKM-Teater Nol USK, Pendiri/Penasihat Komunitas Seni Kuflet Padang Panjang, Dosen Jurusan Seni Teater dan Pascasarjana (S-2) ISI Padang Panjang, Ketua umum Majelis Adat Aceh (MAA) Perwakilan Sumatra Barat, berdomisili di Padang Panjang.

Editor: Muhammad Subhan

Untuk keterbacaan teks dan tampilan website majalahelipsis.com yang lebih baik, sila unduh aplikasi majalah elipsis di Google Play atau APP Store, tanpa memerlukan login. Kirim naskah ke majalah digital elipsis (ISSN 2797-2135) via email: majalahelipsis@gmail.com. Dapatkan bundel digital majalah elipsis (format PDF 100 halaman) dengan menghubungi redaksi di nomor WhatsApp 0856-3029-582. Ikuti laman media sosial Majalah Elipsis (Facebook) atau @majalahelipsis.

Subscribe To Our Newsletter

Get updates and learn from the best

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Download versi aplikasi untuk kenyamanan membaca