Edi Wiyono, Inkubator Literasi, dan Gerakan Pemberdayaan Masyarakat dengan Menulis

Share on facebook
Share on twitter
Share on linkedin
Share on whatsapp
Share on telegram

Oleh Muhammad Subhan

ZAMAN paling buram itu tiba di tahun 2020 ketika pandemi Covid-19 masuk ke Indonesia, menyebar ke berbagai kota, tak terkecuali Padang Panjang, Sumatra Barat.

Mengantisipasi segala kemungkinan buruk terjadi, pemerintah memilih melakukan pembatasan aktivitas masyarakat hingga banyak orang harus bekerja di rumah, tak terkecuali saya. Meski bukan pegawai pemerintah atau pekerja kantoran di instansi swasta, sebelum pandemi, aktivitas saya didominasi di luar rumah, terutama untuk kegiatan-kegiatan literasi, sastra, dan beberapa pekerjaan sampingan lainnya. Itu saya lakukan sejak tahun 2000, hingga kini pandemi takada lagi.

Saat pandemi masuk, saya terpaksa turut membatasi diri dari segala bentuk aktivitas di luar rumah, lebih banyak berdiam di dalam rumah (2020—2022). Syukurlah, ketika pandemi tiba, zaman sudah berinternet. Ada gawai, ada laptop, ada WIFI. Kalau pandemi datang sebelum teknologi digital hadir, entah bagaimana nasib banyak orang. Barangkali seperti kembali ke zaman batu.

Adanya akses internet memudahkan saya tetap berinteraksi dengan orang-orang di mana saja, meski sebatas menggunakan media sosial, seperti WhatsApp, Facebook, Instagram, Twitter (X), Email, LINE, maupun YouTube. Apa yang saya lakukan sudah pasti dilakukan pula oleh banyak orang lainnya.

Di tengah sesak sempit suasana hati itu, tiba pula teknologi ZOOM, sehingga memudahkan untuk melakukan diskusi-diskusi secara daring, bertatap muka secara maya. Teknologi kecerdasan buatan (AI) di ambang mata pula. Lengkaplah segala kemudahan di zaman pandemi. Meski badan terkurung, pikiran dan kreativitas dapat berkembang ke mana-mana, ke luar jauh meninggalkan rumah.

Pandemi masuk ke Padang Panjang pada Maret 2020. Di bulan itu pula saya menggagas dan mendirikan Kelas Menulis Daring (KMD)—kini bertransformasi menjadi Sekolah Menulis elipsis (SMe)—sebuah kelas menulis online melibatkan banyak pakar di berbagai bidang kepenulisan yang dihadirkan di kelas ini.

Peserta membludak. Lebih seribu calon peserta mendaftar. Tak hanya dari Indonesia, juga datang dari Malaysia, dan Jerman. Kuota terbatas dan saat itu di grup WhatsApp hanya mampu menampung 262 peserta saja. Tentu banyak yang duduk di kursi antrean.

Saya bersyukur kelas ini mendapat sambutan positif. Kelas daring salah satu alternatif dan pilihan bagi saya untuk dapat terus beraktivitas dan berkreativitas di ranah literasi, khususnya baca tulis yang telah saya geluti sepanjang kurun waktu lebih 20 tahun.

Setiap Senin malam, kelas ini diisi dengan berbagai materi, mulai dari menulis cerpen, puisi, esai, baca puisi, peluncuran dan diskusi buku, dan lainnya. Kelas ini sangat semarak, sebab pematerinya adalah para ahli di bidangnya, mulai dari sastrawan, wartawan, akademisi, editor penerbit, redaktur suratkabar, pegiat literasi, dan lainnya. Pesertanya dari kalangan pelajar, mahasiswa, guru, dosen, dan umum.

Yang Istimewa di zaman itu, tentu, kelas ini benar-benar gratis, tidak dipungut biaya seper pun. Sebab gratis, peserta membanjir, selain karena mereka juga “terkurung” di rumah, dan membutuhkan kesibukan lain, salah satunya menulis.

Yang serius belajar, mereka menjadi penulis. Yang tidak serius, atau sekadar mengisi waktu luang, mereka kembali pada kesibukan-kesibukan sebelumnya. Dan, tentu, saya memaklumi semua itu.

Di tahun 2022, saya dihubungi Pemimpin Redaksi Perpusnas Press, Perpustakaan Nasional RI, Mas Edi Wiyono. Beliau menyampaikan gagasannya tentang program Inkubator Literasi Pustaka Nasional atau disingkat ILPN. ILPN merupakan kegiatan yang diinisiasi oleh Sub Kelompok Penerbitan Perpusnas RI melalui Perpusnas Press yang berlangsung sejak 2020. Setiap tahun ILPN menyebar di berbagai lokus dan menghasilkan buku-buku bermutu tentang konten lokal di daerah setempat.

Di tahun 2022 itu, Mas Edi Wiyono mengundang saya dan mengajak kolaborasi Kelas Menulis Daring (KMD) elipsis untuk menyelenggarakan ILPN Wilayah Sumatra Barat. Tentu, gayung bersambut. Saya menerima undangan itu, dan gerak cepat program tersebut kami selenggarakan di KMD elipsis. Pengumuman pun dibuat dan disebar, terutama melalui media sosial dan media massa.

ILPN Wilayah Sumatra Barat dimulai pada 10 April 2022 berupa kegiatan Sayembara Menulis Esai dengan tema “Literasi Digital di Era Industri 4.0 dalam Rangka Mendukung Pemberdayaan Kearifan Lokal di Sumatra Barat”. Tema itu dapat dikembangkan dalam Sub Tema: 1) Inovasi Literasi Digital dalam Pemberdayaan Kearifan Lokal di Sumatra Barat; 2) Peran Literasi Digital dalam Penumbuhan Ekonomi dan Kreativitas Masyarakat di Kantong-kantong Literasi; atau 3) Penguatan Literasi Digital dalam Upaya Terciptanya Budaya Membaca dan Menulis di Masyarakat.

Puluhan peserta dari berbagai kota di Sumatra Barat mengirim naskah esainya untuk sayembara ILPN ini. Proses penjurian dilakukan pada tanggal 11—20 Mei 2022, sementara 22 Mei 2022 pengumuman 15 naskah terbaik.

Tidak selesai sampai pengumuman 15 naskah terbaik, tetapi setelah itu ada workshop menulis esai, membedah hasil esai yang ditulis peserta dengan karya terpilih, menilik dan mengulik kelebihan dan kekurangan naskah. Narasumber workshop itu Yurnaldi, mantan wartawan Kompas, Mas Edi Wiyono dari Perpusnas Press, dan saya sendiri. Kami bertiga membahas karya peserta, disambut diskusi alot dan menghidupkan suasana pendampingan di kelas online via ZOOM Meetings.

Usai workshop, peserta menyunting kembali naskah mereka, sehingga menghasilkan naskah yang benar-benar sesuai harapan, baik penguatan konten, maupun swasunting kesalahan-kesalahan fatal pada teknik penulisan. 15 peserta yang mengikuti workshop itu bahagia mendapat bekal pelatihan hingga diumumkan pemenang 1, 2, dan 3 dengan naskah terbaik pada tanggal 25 Juni 2022.

Ini istimewanya ILPN. Bukan sekadar lomba biasa, tetapi peserta benar-benar diinkubasi, dibimbing, diarahkan, dikuatkan, lalu diyakinkan bahwa mereka bisa menghasilkan karya terbaik setelah menjalani sekian panjang proses inkubator itu.

Merujuk ke Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBB), inkubator bermakna: perkakas yang dipanasi dengan aliran listrik dan sebagainya dipakai untuk mengerami dan menetaskan telur; atau perkakas untuk memanaskan bayi yang lahir sebelum waktunya; atau kamar atau kotak yang bersuhu tetap (biasanya 37°C), tempat kultur bakteri ditumbuhkan.

Secara simbolik, inkubator literasi sebuah upaya untuk mendorong tradisi dan iklim penulisan, sekaligus menyalurkan pemikiran positif dan inovatif yang dapat meningkatkan budaya literasi masyarakat, melalui pembinaan berkelanjutan hingga menghasilkan karya yang benar-benar dapat diperhitungkan kualitas dan kebermanfaatannya. Peserta ILPN benar-benar “dipanasi” untuk menulis.

Kelas Menulis Daring (KMD) elipsis sebagai penyelenggara ILPN Wilayah Sumatra Barat melihat program ini sangat penting. Hal itu tampak setelah pemenang 1, 2, 3 diumumkan, kegiatan tidak selesai sampai di situ. Naskah 15 terbaik termasuk pemenang utama disunting kembali oleh tim editor, kemudian diterbitkan Perpusnas Press. Buku itu berjudul Yang tak Lekang Digerus Zaman. Setiap pemenang dan nominator mendapatkan buku yang berisi karya mereka.

Selesaikah ILPN Wilayah Sumatra Barat setelah bukunya terbit?

Belum selesai! Pada tanggal 8 September 2022, di Grand Hotel Rocky Bukittinggi, buku produk ILPN Wilayah Sumatra Barat Yang tak Lekang Digerus Zaman diluncurkan dan didiskusikan. Pemenang 1 Mardhiyan Novita MZ asal Kota Pariaman dihadirkan sebagai pembicara, di samping Mas Edi Wiyono mewakili Perpusnas Press, juga saya mewakili penyelenggara ILPN Wilayah Sumatra Barat, serta Kepala Dinas Perpustakaan dan Kearsipan Kota Bukittinggi, Drs. Johni. Selain buku ILPN, pada kesempatan yang sama diluncurkan buku Hatta: Role Model dan Role Player yang diterbitkan Perpusnas Press hasil kegiatan workshop UPT Perpustakaan Proklamator Bung Hatta, Bukittinggi.

Saya mengira, usai peluncuran buku di Bukittinggi itu, program ILPN sudah berakhir. Ternyata persangkaan saya salah. Mas Edi Wiyono kembali menghubungi saya sekaligus mengundang saya untuk datang ke Jakarta, ke Gedung Perpusnas RI, mengikuti perhelatan Perpusnas Writers Festival (PWF) pada Kamis, 17 November 2022, sekaligus Bincang Inkubator Literasi dengan tajuk “Dari Daerah untuk Indonesia”. Lokasi kegiatan di Ruang Auditorium Lantai 2 Perpustakaan Nasional RI.

Narasumber kegiatan itu: Edi Wiyono (Pemred Perpusnas Press), Yukon Afrinaldo (Kepala Perwakilan Bank Indonesia Jember), Muhammad Subhan (Penulis, Founder Kelas Menulis Daring elipsis, Pegiat Literasi Padang Panjang), Hudan Nur (Penulis, Duta Baca Banjarbaru), Aris Munandar (Pegiat Literasi, Pengurus Pusat Forum TBM), dan dipandu moderator Elsa Tuasamu (Sub Koordinator Penerbitan Perpusnas Press). Acara dihadiri peserta dari berbagai kota di Indonesia, baik secara luring maupun daring.

Tahun itu menjadi tahun Istimewa bagi saya, sebab di saat badan terkurung di rumah karena pandemi, saya mendapat kesempatan ke Ibu Kota Jakarta, ke Perpusnas RI, menjadi tamu kehormatan untuk berbicara di panggung PWF tentang penyelenggaraan ILPN di Sumatra Barat. Diskusi itu bukan saja diikuti peserta di dalam gedung, tetapi juga disiarkan melalui kanal YouTube Perpusnas RI sehingga dapat diikuti seluruh peserta dari berbagai kota di Tanah Air dan mancangera.

Tidak saja berbicara tentang penyelenggaran ILPN di daerah, saya juga diminta menjadi narasumber peluncuran dan diskusi Buku Perpusnas Press bertajuk Leksikon Gerakan Indonesia Menulis dan Saatnya Duta Baca Bicara, pada Jumat, 18 November 2022, di Ruang Auditorium Lantai 2 Perpustakaan Nasional RI. Topik kegiatan itu “Menulis, Memberdayakan dan Mengabadikan”. Buku diluncurkan oleh Kepala Pusat Jasa Informasi dan Pengelolaan Naskah Nusantara Perpusnas RI, Agus Sutoyo dan Duta Baca Indonesia, Gol A Gong. Usai peluncuran dilanjutkan diskusi buku dengan narasumber: Gol A Gong (Penulis, Duta Baca Indonesia), Kurnia Effendi (Sastrawan), Rahmat Heldy (Penulis, Duta Baca Banten), Jauza Imani (Penulis, Pegiat Literasi Lampung), dan Muhammad Subhan (Penulis, Founder Kelas Menulis Daring elipsis, Pegiat Literasi Padang Panjang), dan acara dipandu moderator Edi Wiyono (Pemimpin Redaksi Perpusnas Press).

Di panggung PWF itu pula, di akhir diskusi, sebagai closing statement saya menyampaikan bahwa tidak ada karpet merah untuk penulis dan pegiat literasi. Yang menjadi karpet merah adalah karya dan gerakan-gerakan yang dilakukannya sepanjang hayat di kandung badan. Dan, hari itu, Perpusnas RI seolah memberi “karpet merah” kepada saya untuk menjadi salah seorang tamu kehormatan dan pembicara di PWF 2022. Saya bersyukur dan berterima atas apresiasi yang diberikan Perpusnas Press dan Perpusnas RI.

Sebelum ILPN dan PWF, tentu saya sudah akrab dengan Mas Edi Wiyono, meski belum terlalu lama. Beberapa kali kami diundang menjadi narasumber workshop yang diselenggarakan UPT Perpustakaan Proklamator Bung Hatta di Bukittinggi. Beberapa kali pula saya diajak mampir ke hotel di mana Mas Edi Wiyono menginap, semata untuk ngopi pagi dan diskusi, mengobrolkan banyak hal tentang program-program literasi. Usai kegiatan di UPT Perpustakaan Proklamator Bung Hatta, kami mencari kafe di Bukittinggi, ngopi lagi dan ngobrol lagi.

Mas Edi Wiyono sosok low profile, ramah, rendah hati, murah senyum, dan dekat dengan pegiat-pegiat literasi. Pikirannya terbuka untuk berbagai ruang diskusi. Meski sebagai salah seorang pejabat penting di Perpusnas RI, khususnya sebagai Pemimpin Redaksi di Perpusnas Press, ia tak sungkan datang menghubungi, menyapa, mengajak ngopi, bahkan mau datang ke dangau saya di kaki Singgalang Padang Panjang. Ia juga mampir di Ruang Baca Rimba Bulan Padang Panjang, salah satu taman bacaan yang saya bina di Padang Panjang. Ia menikmati kopi Rimba Bulan sekaligus memberi penguatan agar taman baca itu terus bertumbuh dengan program-programnya.

Sebagai pustakawan Perpusnas RI, program ILPN yang dibawa Mas Edi Wiyono sebagai upaya memberdayakan masyarakat Indonesia dengan menulis ini strategis dan perlu. Gaung Gerakan Indonesia Membaca yang sering digelorakan banyak orang karena rendahnya tingkat literasi negeri kita di mata dunia, harus seimbang dengan Gerakan Indonesia Menulis. Tidak hanya membaca saja. Banyak membaca, keluarannya harus menulis.

Maka, program ILPN patut diapresiasi dan terus dimasifkan gerakannya, ke berbagai pelosok di daerah, karena sebagai bentuk hadirnya pemerintah ke masyarakat dengan melahirkan penulis-penulis baru sehingga buku-buku dengan gagasan-gagasan baru terus lahir, terbit, dan beredar luas. Dengan begitu, ilmu pengetahuan akan semakin berkembang, yang tentu saja gerakan ini suatu hari nanti akan mengangkat muruah tingkat literasi Indonesia di mata negara-negara lain.

Saya mendukung ILPN tidak berhenti dan terus dikembangkan dengan berbagai inovasinya. Pun Perpusnas Writer Festival (PWF) dari tahun ke tahun dapat dibawa ke daerah, tidak semata di Jakarta sebagai pusat ibu kota negara saja, agar temu penulis dan pembaca di masing-masing daerah terwujud dan berlanjut. PWF bisa menjadi pelopor festival literasi nasional paling keren dan ditunggu-tunggu programnya, serta dari festival itu dapat membangun semangat baru untuk mewujudkan Indonesia cerdas bermartabat.

Mas Edi Wiyono, salam sehat, dan sukses selalu. Jangan berhenti bergerak, dan kami, pegiat literasi di daerah, mendukungmu. Salam kreatif. (*)

(Foto: Saat Mas Edi Wiyono mengunjungi dangau saya di kaki Singgalang Padang Panjang pada Jumat, 9 September 2022)

Untuk keterbacaan teks dan tampilan website majalahelipsis.com yang lebih baik, sila unduh aplikasi majalah elipsis di Google Play atau APP Store, tanpa memerlukan login. Kirim naskah ke majalah digital elipsis (ISSN 2797-2135) via email: majalahelipsis@gmail.com. Dapatkan bundel digital majalah elipsis (format PDF 100 halaman) dengan menghubungi redaksi di nomor WhatsApp 0856-3029-582. Ikuti laman media sosial Majalah Elipsis (Facebook) atau @majalahelipsis.

Subscribe To Our Newsletter

Get updates and learn from the best

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Download versi aplikasi untuk kenyamanan membaca