Bincang Sastra di Bali, Pakar Teknologi Digital Riri Satria Pesankan Penyair Tidak Perlu Khawatir Hadapi AI

Share on facebook
Share on twitter
Share on linkedin
Share on whatsapp
Share on telegram

DENPASAR, majalahelipsis.com—Pakar Teknologi Digital Riri Satria mengatakan bahwa penyair tidak perlu khawatir menghadapi teknologi kecerdasan buatan (AI). Penyair harus berani membuka ruang-ruang kreativitas baru dan berakrab-akrab dengan AI untuk mendukung kerja-kerja kreatif kepenyairan di masa depan.

“Ruang-ruang kreativitas baru inilah nanti yang menjadi keunggulan penyair yang tak pernah bisa tergantikan oleh mesin (AI),” ujar Riri Satria ketika berbicara pada sharing session tentang kecerdasan buatan (AI) dan puisi yang ditaja Komunitas Jatijagat Kehidupan Puisi Denpasar, Jumat (5/7/2024), di Reno, Denpasar, Bali.

Penyair dan penulis Oka Rusmini bersama Riri Satria di Markas Komunitas Jatijagat Kehidupan Puisi di Denpasar, Bali.

Diskusi yang dipandu Ngurah Arya Dimas Hendratno, Lurahnya Jatijagat Kehidupan Puisi Denpasar, itu juga dihadiri beberapa sastrawan senior asal Bali, seperti Dewa Putu Sahadewa, GM Sukawidana, Warih Wisatsana, Oka Rusmini, Tan Lioe Ie, Nunung Noor El Niel, Landras, dan lainnya.

Riri Satria juga memancing pertanyaan tentang apa yang harus dilakukan penyair dan bagaimana masa depan puisi di tengah makin pesatnya perkembang teknologi AI yang dampaknya terus meluas. Masihkah puisi menjadi sesuatu yang menarik ketika kerja-kerja kreatif seorang penyair dalam sekejap dapat diambil alih oleh mesin?

Riri Satria menjelaskan, mesinlah nanti yang akan belajar kepada para penyair seperti halnya GPT-2 yang belajar kepada puisi karya Robert Frost, Emily Dickinson, serta Whitman.

“Di sinilah pentingnya memaksimalkan HOTS (Hight Order Thingking Skills). Namun, untuk para penyair yang tidak mampu memaksimalkan HOTS dan merasa sudah nyaman dengan HOTS, maka lama kelamaan posisinya akan digantikan oleh mesin yang bernama AI (artificial intelligence),” ujar Riri Satria.

Menurut Riri, AI itu adalah buatan, bukan kecerdasan hakiki yang dimiliki manusia. Dengan demikian, tetap manusia yang memegang kendali, manusia yang mengatur dengan memaksimalkan HOTS.

“Manusia itu adalah subyek, bukan obyek. Namun, masalah akan mendatangi manusia yang hanya memiliki kapasitas setingkat LOTS (Low Order Thingking Skills). Sesuai dengan prinsip generative AI, maka dia butuh referensi untuk membuat struktur atau pola. Maka, AI itu mereferensi kepada manusia, bukan sebaliknya. Manusia seperti apa? Yaitu yang mampu memaksimalkan HOTS, bukan hanya sekadar LOTS,” papar Riri Satria.

Agar kecerdasan buatan tidak memberikan dampak negatif, menurut Riri Satria, pemerintah wajib hadir untuk mengatur AI ini.

Riri Satria Bersama penulis, seniman, penyair, sastrawan di Markas Komunitas Jatijagat Kehidupan Puisi di Denpasar, Bali.

“Ya, pemerintah harus hadir, karena tidak semua masyarakat memiliki kemampuan untuk memahami teknologi ini,” kata Riri.

Riri Satria juga mengajak kepada siapa saja yang ingin bersentuhan dengan kecerdasan buatan, termasuk penyair, harus terus belajar mengikuti perkembangan AI dan tidak larut dengan kejayaan masa lalu.

“Manusia bisa saja dikalahkan mesin, kalau tidak mau belajar. Sementara AI terus belajar dari kecerdasan manusia sehingga AI mampu mengumpulkan berbagai informasi yang diperintahkan manusia,” katanya.

Ditambahkan Riri Satria, dengan teknologi kecerdasan buatan (AI), komputer bisa melakukan pembelajaran terhadap fakta berupa data yang diberikan yang dikenal dengan istilah machine learning. Dengan demikian, mesin terus-menerus memperbaharui pengetahuannya tentang perpuisian di dunia ini.

Big data membuat komputer memiliki kemampuan menyimpan jutaan puisi sebagai referensinya.

“Dengan teknologi AI, komputer mampu ‘belajar’ seperti halnya manusia. Tingkat yang dasar disebut machine learning, namun yang lebih rumit disebut deep learning. Jika pada manusia, machine learning itu adalah gaya belajar orang kebanyakan, sedangkan deep learning adalah gaya belajar manusia genius.

Riri Satria juga menjelaskan proses penciptaan puisi. Secara generik, proses penciptaan puisi oleh manusia itu melewati empat tahapan, yaitu (1) observasi, (2) kontemplasi, (3) penyaringan emosi, serta (4) komposisi atau konstruksi. Semuanya dilakukan dengan melibatkan rasa, hati, dan pendalaman batiniah oleh manusia. Itulah yang membuat puisi memiliki daya gugah yang tinggi.

“Sementara itu komputer melakukan keempat proses itu secara mekanistik atau algoritmik, tentu saja tanpa melibatkan rasa atau proses batiniah apa pun. Sudah pasti puisi yang dibuat komputer sangat terpaku kepada bahasa, kosa kata, serta sintaks. Komputer menyusun sebuah puisi berdasarkan pengetahuan yang dia miliki dalam wujud bahasa, kosa kata, dan sintaks tersebut, atau aspek linguistik semata. Komputer tidak memiliki pengetahuan tentang dunia nyata dan imajinasi atau the knowledge of reality and imagination yang dimiliki manusia ketika membuat puisi,” jelas Riri.

Riri Satria bersama penyair asal Bali, Dr. Dewa Putu Sahadewa, SpOG(K). Selain penyair, Dewa Putu Sahadewa adalah seorang Dokter Spesialis Obstetri dan Ginekologi serta Direktur Utama sebuah Rumah Sakit Ibu dan Anak (RSIA) di Bali.

Riri Satria meyakinkan para penyair untuk tidak perlu khawatir terhadap perkembangan kecerdasan buatan, namun jangan menutup mata terhadap tantangan masa depan puisi.

“Kita harus membuka ruang-ruang kreativitas yang baru yang merupakan keunggulan manusia yang tak pernah bisa tergantikan oleh mesin. Inilah peluang kita untuk mempertegas mana porsi mesin dan mana porsi manusia. Semua ini menantang kita untuk menjaga marwah perpuisian lebih baik lagi. Dengan demikian, para penyair harus mampu menjawab tantangan tersebut, bukan hanya sebatas membuat puisi, melainkan jauh lebih fundamental. Misalnya isu etika, apakah menggunakan komputer untuk membantu membuat puisi itu melanggar etika atau tidak? Apakah puisi yang dihasilkan mesin itu juga dapat disebut puisi? Inilah tantangan ke depannya,” ungkap Riri.

Jadi, tambah Riri, perkembangan teknologi kecerdasan buatan yang mampu membuat puisi memberikan tantangan kepada dunia perpuisian serta kepenyairan, mulai dari tantangan teknis, sampai kepada hal yang fundamental, yaitu tantangan filosofis dan etika.

“Inilah yang harus dijawab bersama. Kita tidak lagi pada porsi menahan lajunya perkembangan teknologi, melainkan menyikapi perkembangan teknologi dengan arif dan bijaksana, dan tentu saja dengan pemikiran dan catatan kritis, termasuk dalam dunia perpuisian dan kepenyairan,” tambahnya. (aan/elipsis)

Untuk keterbacaan teks dan tampilan website majalahelipsis.com yang lebih baik, sila unduh aplikasi majalah elipsis di Google Play atau APP Store, tanpa memerlukan login. Kirim naskah ke majalah digital elipsis (ISSN 2797-2135) via email: majalahelipsis@gmail.com. Dapatkan bundel digital majalah elipsis (format PDF 100 halaman) dengan menghubungi redaksi di nomor WhatsApp 0856-3029-582. Ikuti laman media sosial Majalah Elipsis (Facebook) atau @majalahelipsis.

Subscribe To Our Newsletter

Get updates and learn from the best

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Download versi aplikasi untuk kenyamanan membaca