Cerpen Maria M. Bhoernomo
SEJAK jalan tol diresmikan Presiden, warung milik Susi tetap dibuka meskipun selalu sepi, takada lagi mobil berhenti di depan warung, kemudian sopir dan penumpangnya masuk warung, sambil melepas lelah minum kopi atau teh.
Susi memang tetap membuka warungnya, tapi tidak menjual minuman dan makanan ringan. Susi tetap membuka warungnya untuk menjual diri, sebagaimana pekerja seks komersial, agar bisa tetap hidup. Setiap ada laki-laki yang baru pertama kali masuk warungnya akan langsung terheran-heran melihat meja warung yang kosong tanpa piring berisi goreng-gorengan atau sekadar tumpukan kacang dan kerupuk dalam kemasan plastik. Meja yang panjangnya 2 meter dan lebarnya 1 meter itu kosong seperti sebuah dipan. Bisa untuk tidur. Bisa untuk kencan. Dan, sejak jalan tol diresmikan Presiden, Susi selalu menjadikan meja itu sebagai tempat kencan untuk melayani tamu yang ingin melampiaskan nafsunya.
Biasanya, sebelum melayani tamu yang ingin kencan dengannya di atas meja itu, Susi akan menutup warungnya dulu. Biasanya hanya sekitar 15 menitan warungnya itu ditutup, setelah tamunya puas dan kencan berakhir Susi akan segera membuka warungnya lagi. Susi melayani laki-laki sampai puas di atas meja itu biasanya memang hanya berlangsung 15 menitan.
Bahkan, jika yang dilayani Susi masih kuliah atau malah masih sekolah pasti bisa selesai dalam 5 sampai 10 menitan saja. Kencan kilat, begitu istilahnya, karena memang berlangsung beberapa menit saja. Atau sedikit lebih lama dibanding buang air kecil.
Sejak jalan tol diresmikan Presiden, jalan di depan warung itu memang sepi.
Takada lagi mobil pribadi yang melintasi jalan depan warung. Yang masih sering melintas di depan warung hanya motor dan truk-truk butut yang tidak berani masuk tol.
Padahal, sebelum ada tol yang diresmikan Presiden, jalan depan warung itu sangat ramai. Banyak mobil dari jauh yang tiba-tiba berhenti di depan warung karena sopirnya mau istirahat sejenak sambil minum kopi atau teh. Setiap hari Susi bisa meraup laba ratusan ribu dari jualan kopi dan teh serta makanan ringan di warung.
Sejak jalan tol diresmikan Presiden, sejak siang hingga tengah malam Susi pun bisa memperoleh uang ratusan ribu dari laki-laki yang masuk di warungnya. Dalam usia 40 tahun, wajah Susi memang masih segar, tubuhnya juga masih sintal, masih menarik di mata laki-laki yang suka kencan kilat.
Status Susi adalah janda tanpa anak. Bahkan di kota itu Susi hidup sebatang kara, sejak suaminya tewas ditabrak truk ketika sedang menarik becak. Kampung halaman Susi jauh di luar kota. Susi tak mungkin bisa pulang dan kembali tinggal di kampung halaman, karena rumah warisan orangtua sudah dijual dan semua saudara sudah merantau di kota lain. Setiap bulan sekali Susi mengirim uang lewat wesel pos kepada adik-adiknya yang jauh lebih miskin di kota lain.
Sejak menjanda, Susi tinggal di warung itu, siang dan malam. Warungnya bertetangga dengan warung-warung lain yang juga dijadikan tempat tinggal pemiliknya. Dan, sejak jalan tol diresmikan Presiden, warung-warung lain juga sama dengan warung milik Susi, mejanya kosong dan pemiliknya tak lagi menjual kopi dan teh serta makanan ringan. Seperti Susi, pemilik warung-warung lain terpaksa menjual diri kepada laki-laki yang ingin melampiaskan nafsunya di atas meja warung.
Warung milik Susi dan warung-warung lain itu berdiri di atas lahan bekas jalur rel kereta api. Ada uang keamanan yang harus dibayarkan kepada preman dan pamong setempat setiap bulan, menyerupai pajak. Sesekali datang oknum Satpol PP minta uang rokok atau minta layanan pijat plus gratisan di atas meja.
Memang, Susi tak selalu memuaskan laki-laki di atas meja dengan kencan. Tak jarang laki-laki yang masuk ke warungnya hanya minta dipijat dan diurut. Biasanya, Susi hanya butuh waktu 5—15 menit jika memberikan layanan pijat dan urut sampai puas.
Warung milik Susi dan warung-warung lain hanya berdinding anyaman bambu, atapnya seng. Lantainya plesteran semen, luasnya 4 x 4 meter. Terbagi dua ruangan saja. Satu ruangan depan berisi empat bangku yang mengitari meja panjang.
Di kolong meja panjang itu ada kasur untuk tidur. Satu ruangan lain di bagian belakang disekat lembaran seng setinggi 140 cm untuk dapur dan untuk kamar mandi plus WC dengan sumur pompa.
Jika malam tiba, warung itu diterangi dua bola lampu masing-masing 10 watt dengan sambungan kabel listrik dari rumah warga terdekat, yang satu tergantung di atas meja panjang dan yang satunya tergantung di tengah ruang belakang.
Jika pada malam hari Susi melayani laki-laki di atas meja panjang itu, dua bola lampu itu dipadamkan sementara, agar takbisa dilihat dari luar jika tiba-tiba ada orang mengintip dari celah anyaman bambu.
Suatu malam, Susi memadamkan dua bola lampu ketika hendak melayani Pak Kades.
Sejak jalan tol diresmikan Presiden, Pak Kades memang sering datang ke warung minta dipijat dan diurut oleh Susi. Petinggi desa setempat itu sudah tak muda lagi, umurnya 55 tahun, nafsunya sering ngadat, sehingga sering datang hanya minta dipijat dan diurut saja oleh Susi. Tahun depan ada Pilkades lagi dan Pak Kades mau maju sebagai calon tunggal karena tidak ada yang berani melawannya.
Ketika sedang memijat dan mengurut punggung Pak Kades yang telungkup di atas meja panjang itu, Susi tiba-tiba mencium bau bensin. Di luar warung, memang ada sejumlah orang bertopeng sedang menyiramkan bensin dari dalam botol yang membasahi anyaman bambu. Lalu tiba-tiba ada yang menyalakan korek api untuk menyulut anyaman bambu itu.
Seketika itu juga warung terbakar. Api cepat berkobar-kobar. Susi dan Pak Kades terkurung di dalam warung yang terbakar. Susi dan Pak Kades sempat berteriak minta tolong dan menjerit-jerit kesakitan. Pemilik warung-warung lain sempat pula ke luar warung hendak memberikan pertolongan tapi hanya bingung saja melihat warung Susi terbakar dan kemudian atapnya roboh.
Ketika api sudah padam, barulah mobil pemadam kebakaran tiba melakukan pendinginan. Di warung yang sudah rata dengan tanah itu, ditemukan dua jasad yang sudah gosong. Pemilik warung-warung lain bisa memastikan dua jasad gosong itu adalah Susi dan tamunya entah siapa.
“Kayaknya ini jasad Pak Kades, karena memakai kalung rantai dengan liontin emas berbentuk mirip koin bergambar kepala singa sedang mengaum.” Seorang pemilik warung sebelah berkata tanpa ragu ketika menyaksikan proses evakuasi jasad yang gosong itu, karena memang hanya Pak Kades yang suka memakai kalung rantai dengan liontin seperti itu. Konon, kalung itu adalah jimat pangkat milik Pak Kades, warisan dari ayahnya yang semasa hidup juga memimpin desa.
Sementara itu, dari pinggir jalan tak jauh dari lokasi kebakaran, beberapa laki-laki tampak berdiri bergerombol sedang bergunjing dengan bisik-bisik.
“Sekarang satu warung mesum sudah terbakar bersama pemiliknya dan Pak Kades. Kapan-kapan kita bakar warung-warung lain bersama pemiliknya dan tamu langganannya, dengan cara yang sama.”
“Ternyata hanya butuh 30 menit saja, api sudah habis membakar warung itu.”
“Ya, api bensin memang bisa berkobar hebat, bisa juga membakar dua jasad jadi gosong.”
“Jika semua warung itu sudah terbakar bersama pemiliknya, tempat karaoke bisa segera dibangun dengan banyak bilik berderet-deret seperti gerbang kereta api di atas lahan bekas jalur rel itu.”
“Betul, sudah saatnya warung-warung diganti tempat karaoke dengan lampu diskotik.”
“Betul, sejak jalan tol diresmikan Presiden, tak pantas lagi masih ada gubuk-gubuk yang dijadikan warung mesum.”
“Yang paling penting, setelah Pak Kades ikut terbakar, Pilkades tahun depan pasti dimenangkan oleh Bos kita. Pasti kita akan bisa puas berpesta miras setiap hari.” (*)
Griya Pena Kudus, 2023
Maria M Bhoernomo. Lahir di Kudus, 23 Oktober 1962. Banyak menulis prosa, puisi, dan esai berbahasa Jawa dan Indonesia yang dipublikasikan di sejumlah media.
Sumber: Majalah digital elipsis edisi 032, Tahun III, Januari-Februari 2024
Untuk keterbacaan teks dan tampilan website majalahelipsis.com yang lebih baik, sila unduh aplikasi majalah elipsis di Google Play atau APP Store, tanpa memerlukan login. Kirim naskah ke majalah digital elipsis (ISSN 2797-2135) via email: majalahelipsis@gmail.com. Dapatkan bundel digital majalah elipsis (format PDF 100 halaman) dengan menghubungi redaksi di nomor WhatsApp 0856-3029-582. Ikuti laman media sosial Majalah Elipsis (Facebook) atau @majalahelipsis.