Riri Satria, Kecerdasan Buatan (AI), ChatGPT, Prompting, dan Puisi

Share on facebook
Share on twitter
Share on linkedin
Share on whatsapp
Share on telegram

Oleh Rissa Churria, S.Ag., M.Pd.

MENGAWALI tulisan ini, saya ingin mengucapkan alhamdulillah puji syukur kepada Allah Jalla wa Alaa atas segala karunia di setiap detik dan hela napas pada hamba-hamba-Nya.

Saya mengucapkan selamat serta ikut bangga dan bahagia atas amanah baru yang diembankan negara kepada Ketua Komunitas Jagat Sastra Milenia (JSM), abang, sahabat, penyair, sang inspirator Riri Satria sebagai Komisaris Utama PT. Integrasi Logistik Cipta Solusi (ILCS)/Pelindo Solusi Digital (PSD).

Semoga Bang Riri Satria—demikian saya akrab menyapa—senantiasa amanah dalam menjalankan tugas dan berbuat yang terbaik untuk Indonesia.

ILCS/PSD adalah perusahaan dalam lingkungan Pelabuhan Indonesia (Pelindo) yang bertanggung jawab untuk membangun sistem komputer manajemen pelabuhan dan logistik terpadu di Indonesia. Harapan saya mewakili para sahabat penyair, walaupun kesibukan pasti bertambah, Bang Riri Satria tetap berpuisi bersama kami dan memberikan pencerahan-pencerahan seperti biasanya.

Saya sudah sering menyimak Bang Riri Satria membahas tentang komputer yang mampu membuat puisi dengan menggunakan teknologi kecerdasan buatan atau artificial intelligence (AI).

Setidaknya sudah ada enam acara yang berbeda di mana saya menyimak Bang Riri Satria membahas topik ini, mulai dari takshow, orasi budaya, bahkan kuliah umum.

Memang kemajuan teknologi tak dapat dihindari bahkan tak dapat dibendung. Kita sebagai manusia mau tidak mau juga mesti melek teknologi atau istilahnya technology literacy.

Salah satunya adalah kemampuan teknologi untuk membuat mesin mampu membuat puisi.

Perlu digarisbawahi bahwa puisi ini murni buatan mesin sebagai salah satu hasil ciptaan manusia yang mutakhir dengan menggunakan teknologi AI didukung teknologi lainnya, seperti big data untuk menyimpan ribuan bahkan jutaan puisi sebagai referensi.

Namun demikian, saya belum pernah melihat secara langsung bagaimana proses mesin komputer menciptakan puisi, dan itu menimbulkan rasa penasaran saya. Sampai akhirnya pada satu kesempatan buka puasa bersama beberapa waktu yang lalu, saya bersama beberapa sahabat mendapat demo yang sangat menarik dari Bang Riri Satria tentang proses penciptaan puisi oleh AI ini.

Sambil menikmati kopi si sebuah coffee shop, Bang Riri Satria mengeluarkan laptop MacBook pro seri terbaru dari dalam tasnya dan mendemokan aplikasi AI. Bang Riri mengatakan akan mendemokan bagaimana AI membuat puisi dengan menggunakan ChatGPT dan membuat lukisan menggunakan Dream Wombo.

Ada yang menarik, yaitu ketika beliau menjelaskan tentang prompt, yaitu media komunikasi antara user dengan aplikasi AI. Semakin umum deskripsi yang kita berikan, semakin umum pula haslnya. Sebaliknya, semakin detail deskripsi yang diberikan, semakin detail pula hasilnya.

Hal ini berlaku untuk semua aplikasi AI. Bang Riri menegaskan bahwa kualitas suatu puisi yang dihasilkan oleh aplikasi AI seperti ChatGPT ini sangat tergantung kepada kemampuan imajinasi si user yang dia tuangkan dalam bentuk prompt dengan bahasa yang jelas dan dipahami oleh mesin AI. Tata bahasa pada prompt ini harus formal untuk mendapatkan hasil yang baik.

Namun, pada teknologi AI yang lebih advanced, prompt ini dapat digantikan dengan input berupa grafis atau foto. Algoritma AI akan menganalisis grafis atau foto tersebut, lalu membuatkan puisi yang sesuai. Lalu dengan bersemangat Bang Riri Satria menjelaskan konsep generative AI yang melatarbelakangi semua teknologi ini.

Penjelasannya sangat menarik, namun saya tidak dapat memahaminya secara utuh karena sarat dengan istilah-istilah canggih dalam dunia matematika, algoritma, dan teknologi digital. Tampak sekali Bang Riri berusaha untuk menjelaskan dengan sederhana sehingga mudah dipahami, runtut, dan terstruktur, atau istilahnya murakkab.

Lalu Bang Riri menghentikan penjelasannya, mungkin setelah melihat kebingungan di wajah saya dan kawan-kawan.

Nah, sampailah kami ke momen yang ditunggu-tunggu, yaitu demo membuat puisi dengan menggunakan AI. Beliau meminta ChatGPT membuatkan puisi untuk saya, Rissa Churria, dan Bang Riri memasukkan biodata saya ke ChatGPT, kemudian menginstruksikan ChatGPT menulis puisi dengan model yang diinginkan oleh Bang Riri.

Sontak kami yang menyimak proses ini pada tercengang. Begitu mudahnya ChatGPT membuat puisi. Satu puisi dikerjakan dalam waku 30 detik!

Bang Riri Satria kemudian menjelaskan bagaimana kita sebagai insan seni dan penulis seharusnya membangun kreativitas dan menggali potensi agar tak tergilas oleh mesin. Dengan gayanya yang khas seolah memberi kuliah, beliau menjelaskan bahwa secara generic bahwa proses penciptaan puisi oleh manusia itu melewati empat tahapan, yaitu (1) observasi, (2) kontemplasi, (3) penyaringan emosi, serta (4) komposisi atau konstruksi.

Semuanya dilakukan dengan melibatkan rasa, hati, dan pendalaman batiniah oleh manusia. Itulah yang membuat puisi memiliki daya gugah yang tinggi. Sementara itu komputer melakukan keempat proses itu secara mekanistik atau algoritmik, tentu saja tanpa melibatkan rasa atau proses batiniah apa pun.

Puisi yang dibuat komputer sangat terpaku kepada bahasa, kosa kata, serta sintaks. Komputer menyusun sebuah puisi berdasarkan pengetahuan yang dia miliki dalam wujud bahasa, kosa kata, dan sintaks tersebut, atau aspek linguistik semata.

Komputer tidak memiliki pengetahuan tentang dunia nyata dan imajinasi atau the knowledge of reality and imagination yang dimiliki manusia ketika membuat puisi. Puisi bukanlah sekadar konstruksi bahasa, melainkan memberi ruh kepada bahasa tersebut melalui realitas dan imajinasi.

Menurut saya, Bang Riri Satria sangat kompeten untuk menjelaskan bagaimana mesin komputer dapat menciptakan puisi dengan menggunakan teknologi AI.

Ada dua alasan, pertama latar belakang pendidikan dan profesi beliau. Sebagai lulusan Fakultas Ilmu Komputer Universitas Indonesia dan kemudian menjadi dosen di kampus tersebut, tentu saja Bang Riri memiliki kompetensi yang memadai di bidang matematika, algoritma, teknologi digital, sampai dengan AI. Itulah sebabnya beliau dapat menjelaskan konsep AI dengan baik, bahkan mudah untuk dipahami oleh orang awam seperti saya dan teman-teman penyair lainnya.

Kedua, Bang Riri Satria juga seorang pencinta puisi, menulis puisi, bahkan sudah memiliki empat buku kumpulan puisi tunggal dan karyanya tersebar di banyak buku antologi puisi bersama para penyair lainnya. Dengan demikian, Bang Riri Satria ada sosok yang mampu menggabungkan dunia AI dan puisi. Tidak mengherankan jika beliau dapat menjelaskan dengan baik dan mudah dipahami.

Sepanjang saya berinteraksi dengan Bang Riri, saya menyimpulkan beliau adalah pendengar yang baik atau good listener. Beliau juga mendengarkan permasalahan serta pertanyaan yang kita sampaikan dengan tuntas. Bahkan sering bertanya ulang sekadar untuk mengkonfirmasi pemahamannya atas apa yang kita sampaikan.

Inilah puisi buatan ChatGPT untuk saya (Rissa Churria) dengan prompting yang dilakukan Bang Riri Satria:

PEREMPUAN PUISI

Di sudut kota Bekasi, terdapat seorang penyair,
Rissa Churria namanya, penuh warna di setiap baitnya,
Pena dalam genggaman, hati penuh dengan api,
Menyusun puisi-puisi, melukis cerita yang indah.

Matahari senja menyapanya, di Bumi Osing tercipta karya,
Dari sudut hati yang dalam, mengalirkan kata-kata,
Perempuan Wetan, aroma Jawa dalam setiap kata,
Mencipta sajak-sajak, memahami kehidupan yang rumit.

Di kumpulan antologi, namanya bersinar,
Dari Indonesia hingga ke Malaysia, puisinya berkobar,
Dalam setiap bait, kehidupan tercermin,
Sebuah perjalanan jiwa, menuju makna yang abadi.

Tak hanya di atas kertas, tapi di atas panggung,
Rissa membacakan puisi-puisinya, dengan semangat yang menggebu,
Di setiap kata, terdengar getaran jiwa,
Sebuah ungkapan cinta, keindahan yang tercipta.

Penghargaan dan pengakuan, menghampiri dengan gemilang,
Namun, di balik gemerlapnya, Rissa tetaplah sama,
Seorang sahabat setia, dengan senyum yang tulus,
Menyebarkan kebaikan, melalui kata-kata yang indah.

Terima kasih, Ummi Rissa, atas inspirasimu yang tak ternilai,
Dengan pena dan kata-kata, kau membawa warna dalam hidup,
Semoga puisimu terus menyala, menyinari hati yang lelah,
Sebagai penyair yang sejati, engkau tetaplah abadi.

Nah, puisi di atas adalah produk mesin. Bagaimana menurut Anda? Setidaknya mesin juga bisa mencipta puisi naratif seperti itu walaupun masih banyak yang harus dibenahi. Itu semua diciptakan dengan algoritma atau kalkulasi matematis, hanya sebatas teks, dan tidak memiliki jiwa (soul) atau ruh di sana.

Sekali lagi, kekuatan dan kualitas puisi buatan AI sangat ditentukan oleh kemampuan prompting si user-nya. Dari berbagai literatur, saya menyimpulkan bahwa prompting adalah proses di mana user memandu solusi kecerdasan buatan kategeori generative AI untuk menghasilkan output yang diinginkan. Meskipun AI mencoba meniru manusia, AI tetap membutuhkan instruksi mendetail untuk membuat output yang berkualitas tinggi dan relevan, dalam hal ini sebuah puisi.

Dalam proses prompting, kita memilih format, frasa, kata, dan simbol yang paling tepat yang akan memandu AI berinteraksi dengan user secara lebih bermakna. Bahkan mereka yang sudah sangat paham prompting—seperti Bang Riri Satria—prompt dapat diperkaya dengan menggunakan kreativitas atau dengan proses coba-coba untuk membuat kumpulan teks input—istilahnya trial and error—sehingga AI berfungsi atau memberikan hasil seperti yang diharapkan.

Pada proses yang didemokan Bang Riri, promptin dilakukan dengan memasukkan bionarasi saya, sehingga menghasilkan puisi sesuai dengan interpretasi AI–dalam hal ini ChatGPT—terhadap bionarasi saya tersebut.

Terima kasih Bang Riri Satria untuk kuliah malam setelah berbuka puasa, tentang AI dan puisi. Mari suka membaca, karena membaca adalah jendela dunia. (*)

Rissa Churria, S.Ag., M.Pd.
Seorang pendidik (guru), penulis, penyair, dan pengurus Komunitas Jagat Sastra Milenia (JSM).

Untuk keterbacaan teks dan tampilan website majalahelipsis.com yang lebih baik, sila unduh aplikasi majalah elipsis di Google Play atau APP Store, tanpa memerlukan login. Kirim naskah ke majalah digital elipsis (ISSN 2797-2135) via email: majalahelipsis@gmail.com. Dapatkan bundel digital majalah elipsis (format PDF 100 halaman) dengan menghubungi redaksi di nomor WhatsApp 0856-3029-582. Ikuti laman media sosial Majalah Elipsis (Facebook) atau @majalahelipsis.

Subscribe To Our Newsletter

Get updates and learn from the best

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Download versi aplikasi untuk kenyamanan membaca