Puncak Anai

Share on facebook
Share on twitter
Share on linkedin
Share on whatsapp
Share on telegram

Oleh Muhammad Subhan

SELAIN lepau teh telur Engku Raoh di Simpang Lapan, tempat paling asyik minum teh telur hangat-hangat adalah di Cafe Puncak Anai, Dempo Anai Land, di pinggang Gunung Tandikek.

Gunung itu kembarannya Gunung Singgalang.

Udara dingin ditingkahi rinai dan kabut serta sejuknya air di kolam-kolam mandi maupun kolam pancing, menambah nikmatnya meneguk teh telur.

Datanglah kalau Engku tak percaya. Engku akan terlope-lope dibuatnya.

Pemandangan di sekitar destinasi itu indah. Ramai orang ke sana.

Kalau Engku dari arah Padang, jarak tempuh ke Puncak Anai sekitar 1,5 jam perjalanan. Kalau dari Bukittinggi, seandainya tak macet di jalan, paling setengah jam putus.

Tempat itu cocok untuk keluarga. Banyak villa-villa. Seperti di Puncak, di Jawa. Engku Kari sering datang, menikmati teh telur, mencoba rasa saingan teh telur Engku Raoh.

Sekali dua diajaknya Engku Sut, menumpang bendi dari Simpang Lapan. Kuda bendinya diberi teh telur juga agar kuat berjalan. Sebab turun naik di tanjakan Singgalang Kariang butuh tenaga ekstra. Kalau tak berjalan itu kuda, dilecut engku Kusir. Iba kita lihat. Namun, mau bagaimana lagi, sudah demikian nasib menjadi kuda bendi.

Nanti, setelah Engku turun dari Puncak Anai, berbelok ke kanan, terus Engku ke Padang. Belok ke kiri, sampailah Engku di Air Terjun Lembah Anai yang tersohor itu. Di air terjun itu Engku akan terlope-lope lagi, hendak berkodak-kodak. Air terjun itu memang rancak.

Serancak-rancak yang dilihat, tentu sifatnya sementara. Air terjun begitu pula, kalau hari hujan, tak jarang air terjun itu tampak tak bersahabat. Sederas-derasnya dia tumpahkan air keruh dari puncak bukit, menggenangi jalan raya. Cemas orang lewat. Kalau lewat juga, tak hati-hati, bisa tergelincir ke badan jalan. Sering terjadi kecelakaan lalu lintas di sana.

Kembali ke Cafe Puncak Anai, tentu, selain teh telur, banyak penganan lain yang menghangatkan badan. Dingin hari membuat perut terus lapar. Segala menu makanan pun sudah tersedia. Tinggal Engku pesan saja. Tentu, setelah lepas dahaga dan perut terisi, bergegaslah Engku ke kasir, menyelesaikan hitung-hitungannya.

Selamat menikmati hari libur, Engku. Konon, sebab macet di mana-mana, tersiar berita di koran, libur ditambah tiga hari lagi. Elok benar kepala negeri.

“Nikmat teh telur mana lagi yang Engku hendak dustakan?” seloroh Engku Kari kepada Engku Sut.

“Itu kan libur anak sekolah, Engku. Awak mana ada hari libur. Ke sawah juga. Ke pasar juga. Libur hari raya ini saja sudah besar pasak dari pada tiang,” jawab Engku Sut.

“Kan tidak THR anak Engku jadikan korban menombok pasak itu?” balas Engku Kari.

“Ha-ha-ha. Anak yang baik biasanya paham susah gaeknya, Engku,” sahut Engku Sut tak mau kalah.

Kedua sahabat karib itu kemudian tergelak. Terpingkal. Di tengah susah, keduanya tampak bahagia. Bahagia, seperti kata Engku Raoh, memang harus diciptakan, agar tak menjadi miang di pikiran.

Untuk keterbacaan teks dan tampilan yang lebih baik, sila unduh aplikasi Majalah Elipsis di Play Store, tanpa memerlukan login. Kirim naskah ke majalah digital elipsis (ISSN 2797-2135) via email: majalahelipsis@gmail.com. Dapatkan bundel digital majalah elipsis (format PDF 100 halaman) dengan menghubungi redaksi di nomor WhatsApp 0856-3029-582. Ikuti laman media sosial Majalah Elipsis (Facebook) atau @majalahelipsis (Instagram).

Subscribe To Our Newsletter

Get updates and learn from the best

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Download versi aplikasi untuk kenyamanan membaca