Menilik Penyebab Terjadi Bencana di Sumatra Barat

Share on facebook
Share on twitter
Share on linkedin
Share on whatsapp
Share on telegram

Oleh S. Hasanah Nasution

SUMATRA Barat merupakan surga wisata yang memiliki berbagai destinasi untuk dikunjungi, seperti wisata alam, situs bersejarah, kuliner, dan geopark. Wisatawan berbondong-bondong mengunjungi Sumatra Barat untuk menikmati suguhan yang terbentang dari Darmasraya hingga Pasaman Timur.

Namun, tidak sedikit pula wisatawan yang lupa menjaga kebersihan dan lingkungan. Kondisi Sumatra Barat kini berubah drastis, yang dulunya daerah ini sangat indah dan diminati, kini menjadi tempat yang dihindari, mengerikan, dan mencekam. Beberapa daerah di Sumatra Barat rusak dan akses jalan terputus akibat banjir bandang, longsor, dan galodo. Wisatawan enggan mengunjungi Sumatra Barat gara-gara bencana itu.

Memang benar, bencana alam itu kehendak Tuhan dan tidak dapat menyalahkan berbagai pihak. Namun, bencana alam sesungguhnya mampu diantisipasi jika kesadaran akan kebersihan dan menjaga alam dilakukan oleh berbagai pihak. Setelah musibah seperti ini terjadi, yang ditekan dan didesak masyarakat adalah pemerintah. Pemerintah juga manusia yang membutuhkan waktu untuk menyelesaikan masalah ini. Sungguh disayangkan kesadaran masyarakat dalam menjaga kebersihan dan melestarikan alam sangat kurang.

Bencana yang terjadi di Sumatra Barat menghambat berbagai aktivitas, mulai dari ekonomi, kesehatan, pekerjaan, pendidikan, bisnis, wisata, dan lainnya. Dikutip dari Kompas.com, daerah yang terdampak banjir lahar dingin yaitu Kabupaten Agam, Kabupaten Tanah Datar, Kabupaten Padang Pariaman, dan Kota Padang Panjang. Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) pada 13 Mei 2024 mencatat 41 korban meninggal dan 17 orang masih belum ditemukan. Faktanya banjir ini diakibatkan karena endapan material erupsi Gunung Marapi.

Mari menilik penyebab erupsi gunung Marapi.

Pertama kali gunung Marapi erupsi besar pada 3 Desember 2023 pukul 14.54. Melihat catatan Wikipedia, letusan menyemburkan abu setinggi 3.000 meter (9.800 kaki) ke udara, 24 orang tewas dan 11 orang luka-luka. Warga tewas umumnya pendaki.

Ada berbagai dugaan yang mengatakan bahwa erupsi akibat keisengan pendaki. Penulis sebagai salah satu penikmat gunung sering melihat oknum pendaki melemparkan batu besar ke dalam kawah untuk menyaksikan kepulan asap dari dalam kawah.

Batu yang masuk ke dalam kawah memicu gunung yang aktif untuk erupsi. Terakhir kali penulis mendaki puncak Marapi pada 2019 dan melihat batu besar di bibir kawah Marapi. Namun, setelah erupsi pada Desember 2023 batu besar itu sudah tidak ada lagi di bibir kawah.

Pertanyaannya, ke mana batu besar itu bergeser, apakah dijatuhkan pengunjung ke dalam kawah atau terbawa erupsi yang terjadi pada Desember 2023.

Dilihat pada postingan @Iskandar.Tanjung di akun TikTok pribadinya melihatkan bahwa saksi mata sekaligus korban erupsi, Sri Wahyuni mengatakan ia melihat pengunjung menjatuhkan batu ke dalam kawah Gunung Marapi. Hal ini membuat dugaan penulis bahwa keusilan pendaki mengakibatkan dampak yang luar biasa parah. Jika dugaan ini benar, maka berapa kerugian yang harus ia tanggung untuk memulihkan kondisi Sumatra Barat kembali seperti semula.

Mari kita lihat pula kejadian banjir lahar dingin dan galodo yang terjadi pada 13 Mei 2024. Apa penyebab terjadinya banjir lahar dingin dan galodo di daerah aliran sungai Gunung Marapi. Sebelum tahun 2024 telah terjadi juga galodo pada tahun 2009 dan 2003, tetapi tidak separah tahun 2024. Kenapa tahun 2024 terjadi begitu parah? Banjir terjadi karena curah hujan tinggi dan menyebabkan luapan air. Air yang berlimpah tidak dapat diserap oleh pepohonan di kaki gunung dan pinggiran sungai, sehingga jumlah air melebihi lebar sungai. Hal ini yang menyebabkan air keluar dari jalur yang seharusnya dan menyebabkan bencana.

Bencana lagi-lagi terjadi karena kelalaian manusia dalam menjaga dan melestarikan alam. Buku katalok Badan Statistik Provinsi Sumatra Barat tahun 2024 mencatat luas hutan dan perairan yang ada di Sumatra Barat pada tahun 2021 seluas 2.272.260,30 Ha, tahun 2022 seluas 2.284.807,32 Ha, dan tahun 2023 seluas 2.278,53 Ha. Sedangkan reboisasi dan penghijauan hanya 2021 seluas 2.200,00 Ha, tahun 2022 seluas 2.2065,00 Ha, dan tahun 2023 seluas 820,00 Ha. Terlihat ada usaha pemerintah untuk memperbaiki alam Sumatra Barat namun masyarakat dan beberapa oknum yang tidak bertanggung jawab menggagalkan rencana pemerintah dan secara tidak langsung memperparah bencana yang terjadi di Sumatra Barat.

Menilik catatan sumbarsatu.com, Provinsi Sumatra Barat kehilangan 27.447 Ha atau 1,5% hutan sepanjang tahun 2022. Hal ini disebabkan oleh pertambangan emas ilegal, penebangan hutan ilegal, pembukaan lahan skala kecil di berbagai tempat.

Memang, tidak ada salahnya memanfaatkan hasil hutan untuk kebutuhan, tetapi dilarang jika dalam jumlah besar. Hutan bukan hanya sekadar tempat tumbuhnya pohon-pohon dan rumah bagi hewan liar. Hutan juga memiliki manfaat untuk melindungi manusia dari bencana alam, menyehatkan manusia dari berbagai racun dan karbon dioksida di udara. Maka, manusia harus mampu sadar akan keselamatan bersama dan keamanan sesama. Bukan hanya mementingkan keuntungan pribadi dan tidak mengantisipasi dampak ke depannya.

Penulis tidak ingin menyalahkan salah satu pihak, namun sikap dewasa dan bijaksana setiap manusia menentukan masa depan suatu daerah. Jika sudah terjadi bencana berkepanjangan seperti ini semua pihak dirugikan. Maka, kesadaran setiap warga dan pengunjung di pertaruhkan dalam kondisi ini. Terutama Sumatra Barat menjadi salah satu lintas sesar Sumatra, cuaca ekstrem, dan kondisi tanah yang beragam mengharuskan setiap wisatawan dan penduduk selalu waspada dan menjaga sikapnya dengan baik.

Semua pihak tidak ada yang dapat memastikan kapan bencana seperti ini akan berhenti dan kapan akan terjadi. Lambat atau cepat bencana dapat terjadi, semua tergantung dengan sikap dan perilaku masyarakat dan pengunjung. Semua pihak dituntut untuk selalu sadar dan waspada menjaga kelestarian alam, menjaga kebersihan demi keselamatan dan keamanan bersama. (*)

S. Hasanah Nasution
Mahasiswi Program Pascasarjana Institut Seni Indonesia (ISI) Padang Panjang, berdomisili di Padang Panjang, Sumatra Barat.

Foto utama: Penulis di tepian kawah Gunung Marapi sebelum erupsi (2019). (Foto: Dok. Solehah Hasanah)

Untuk keterbacaan teks dan tampilan website majalahelipsis.com yang lebih baik, sila unduh aplikasi majalah elipsis di Google Play atau APP Store, tanpa memerlukan login. Kirim naskah ke majalah digital elipsis (ISSN 2797-2135) via email: majalahelipsis@gmail.com. Dapatkan bundel digital majalah elipsis (format PDF 100 halaman) dengan menghubungi redaksi di nomor WhatsApp 0856-3029-582. Ikuti laman media sosial Majalah Elipsis (Facebook) atau @majalahelipsis

Subscribe To Our Newsletter

Get updates and learn from the best

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Download versi aplikasi untuk kenyamanan membaca