Lecut

Share on facebook
Share on twitter
Share on linkedin
Share on whatsapp
Share on telegram

Oleh Muhammad Subhan

SEHABIS berdiang di tepi tungku api, teruslah Engku Kari ke tepian, membersihkan badan. Setelah itu, pergi ia ke bilik, berganti pakaian, lalu sembahyang, makan malam, dan menyusun alat-alat kerja yang biasa dia bawa ke sawah dan ladang. Esok, ia hendak menjerat balam di rimba Singgalang.

Setelah semua pekerjaan itu dia lakukan, duduklah ia tenang-tenang, rehat di bilik kerjanya, membaca buku.

Di meja kerjanya itu, tampak beberapa buku terbitan saisuak yang sangat akrab di mata dan telinganya, rancak pula isinya.

Buku itu buku PMP (Pendidikan Moral Pancasila) dan buku Penataran P4 (Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila).

Dulu, semasa dia sekolah, jam belajar tidak terlalu ketat dan padat serupa zaman anak-anak sekarang, zaman si Bujang anaknya. Masih sempat dia mencari belut ke sawah sepulang sekolah, bercengkerama dengan teman-teman sepermainan, bersopan santun, tahu adab pergaulan, hormat kepada guru dan orang tua.

Di masa itu pula, sekali dua dia dilecut rotan oleh gurunya, di sekolah dan di balai pengajian, tapi tak pernah dia melapor ke abak atau mandehnya, atau melaporkan nama gurunya ke engku aparat hingga gurunya itu dimasukkan ke dalam tangsi. Kalau dia lapor ke abaknya, sudahlah, bukan dia dibela, malah ditambah kena lecut lagi badannya. Tak ada ampun. Menangis dia sejadi-jadinya.

Tentu, bukan sembarang kena lecut, ada sebab-musababnya. Kadang, dia sengaja datang terlambat ke sekolah, atau dia tak membuat pekerjaan rumah, atau diganggunya kawan perempuan. Atau keusilannya yang lain, menyembunyikan tas dan sepatu kawannya, dan perangai lain yang tak patut dikerjakan. Sekali dua dia diberi peringatan. Eh, madar dan tangkar dia. Ujungnya, kena lecutlah dia. Ondeh! Memekik-mekik dia. Meraung-raung, apalagi jika yang dilecut pantat dan paha. Pedihnya minta ampun.

Meski kena tambahan lecut dari gaeknya itu, ada timbul kemauannya belajar, menjadi anak yang lebih baik. Menjadi anak yang tidak manja apalagi cengeng di balik ketiak orang tua. Maka, bukan di masa itu dampak dia rasakan, tapi belasan tahun kemudian ketika dia dibawa nasib pergi merantau ke kampung orang, meninggalkan kampung halaman. Karatau madang diulu, babuah babungu balun. Marantau bujang daulu, di kampung paguno balun.

Di negeri orang itu, dia rasakan makan asam garam kehidupan; susah senang, pahit-manis, luka-sakit, dan segala macam penderitaan yang berat-berat lainnya. Sebab sudah dilecut-lecut badannya semasa kecil, di rantau itu pula dia menjadi tahan banting. Kebal badannya.

Tak sekali-kali dia mengeluh atau mengaduh sebab sehari dua hari tak ada uang di saku atau tak ada lauk yang hendak dimakan. Tak pula dia mengangkat bendera putih, atau membungkus balik pakaian, memasukkan ke koper, lalu pulang ke kampung halaman. Kalau itu yang terjadi, bertambah malulah dia di kampung, sebab kena sindir orang kampung, “Belum menjadi orang sudah meraung-raung minta pulang”. Cemen!

Itulah kenangan yang dia ingat-ingat malam itu, di saat hening menjadi-jadi, merenungi diri yang sudah tak muda lagi. Ingatan tentang segala perasaian hidup masa kecil dan masa remaja, di kampung dan di rantau. Begitu terang, seterang ingatannya pada teh telur. Ingatan yang tak lekang di panas, tak lapuk di hujan, dan selalu membawa harapan.

Untuk keterbacaan teks dan tampilan yang lebih baik, sila unduh aplikasi Majalah Elipsis di Play Store, tanpa memerlukan login. Kirim naskah ke majalah digital elipsis (ISSN 2797-2135) via email: majalahelipsis@gmail.com. Dapatkan bundel digital majalah elipsis (format PDF 100 halaman) dengan menghubungi redaksi di nomor WhatsApp 0856-3029-582. Ikuti laman media sosial Majalah Elipsis (Facebook) atau @majalahelipsis (Instagram).

Subscribe To Our Newsletter

Get updates and learn from the best

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Download versi aplikasi untuk kenyamanan membaca