Kota yang Berubah Menjadi Anjing

Share on facebook
Share on twitter
Share on linkedin
Share on whatsapp
Share on telegram

Oleh Mustafa Ismail

KOTA itu hanya dihuni oleh lima orang. Nama-nama mereka aneh.

Yang paling muda namanya Oir dan Akid. Yang lebih tua bernama Yde, Idan, dan Uyaj. Semua adalah laki-laki. Tidak ada satu pun perempuan di kota itu. Perempuan tidak bisa hidup di kota itu. Sebab, kelima orang itu sangat buas. Setiap perempuan yang datang ke kota itu akan tinggal nama.

Mereka melihat perempuan seperti anjing menemukan sepotong daging. Sebagaimana anjing, mereka akan mengoyak-koyak mereka, dan memakan hingga habis tak tersisa. Akibatnya kota itu menjadi menakutkan sekaligus orang bergidik mendengar namanya. Maka itu, tidak satu orang pun mau menyebut nama kota itu.

Seolah-olah siapa pun yang menyebut nama kota itu ia akan langsung diterkam oleh mereka. Orang-orang dari luar kota menyebut mereka anjing, apalagi kalau bukan perilaku mereka seperti anjing. Akibatnya, kota itu menjadi terpencil. Pada suatu massa, semua orang berbondong-bondong meninggalkan kota itu.

Sesungguhnya kota itu—sebut saja namanya Naparah—memang terpencil. Tak banyak yang mengenal kota itu. Letaknya di sebuah pulau yang membutuhkan waktu satu hari satu malam perjalanan dari kota besar memakai perahu mesin. Penduduknya umumnya bekerja sebagai nelayan, karena pulau itu berada di tengah laut.

Sebelum sebuah gempa besar datang pada 2015, kota itu dihuni oleh sekitar 100 kepala keluarga. Tapi gempa itu membuat penduduk kota itu habis. Hanya tersisa belasan orang saja. Belakangan, sebagian belasan orang itu pun menemui ajalnya. Bukan karena gempa, tapi karena tidak ada makanan dan kondisi kesehatan yang makin buruk pascagempa.

Tak hanya rumah-rumah, gempa itu merontokkan pasar dan menghabiskan para pedagang. Seperti dalam kisah-kisah dunia barbar: hanya yang kuat dan berani untuk melakukan apa pun untuk mempertahankan hidup itulah yang bertahan. Akhirnya, hanya kelima orang itu yang selamat. Mereka punya cara untuk terus hidup, termasuk dengan memakan bangkai.

*

SEKITAR sepuluh tahun sebelum gempa besar, kota itu pernah menjadi buah bibir. Orang-orang dari dalam dan luar negeri pernah berbondong-bondong datang ke kota di pulau itu. Meskipun orang-orang di pulau itu menganggap para tamu itu sebagai orang aneh. Betapa tidak, ketika mereka di sana, kota yang senyap mendadak ramai. Ramai sekali.

Di mana-mana terlihat orang-orang membaca sesuatu seperti mantra. Kadang seperti orang gila. Mereka membaca mantra itu di pasar, pantai, tengah kampung, hingga di tepi jalan. Orang-orang kota itu menonton dengan takjub, termasuk kelima orang itu. Bahkan, kelima orang itu ikut-ikutan membaca mantra, meski telah dilarang seorang perempuan muda yang mengundang orang-orang dari dalam dan luar negeri itu ke sana.

Perempuan itu takut kelima orang itu menjadi gila. “Jika kita tidak terbiasa, mantra bisa bikin gila. Sebaiknya Saudara-Saudara jadi penonton dan membantu saja,” kata perempuan kota yang leluhurnya berasal dari pulau itu.

Tapi kelima orang itu mengiba-iba minta untuk diberi kesempatan membaca mantra. “Jika ayuk tidak mengikutkan kami, kekacauan besar akan terjadi di kota ini,” ujarnya. “Ayuk dan kawan-kawan tidak akan selamat pulang ke kota.”

Perempuan itu tidak mengerti apa yang dimaksud dengan kekacauan besar. Hingga pada suatu malam perempuan itu bermimpi orang-orang di pulau itu telah menjadi anjing. Ia tidak tahu apa maksud mimpinya.

Setelah berdiskusi dengan sejumlah temannya, perempuan kota itu lalu membolehkan mereka untuk terlibat dalam pertunjukan mantra itu. Tapi dengan syarat, mereka ikut membantu perempuan itu untuk melancarkan kegiatan itu dengan mendatangi satu per satu tokoh masyarakat di sana untuk bisa membantu. Mereka setuju. Lalu, mulailah mereka bergerak.

Rupanya di situlah awal kekacauan. Semua bantuan yang mereka dapatkan mereka habiskan untuk minum-minum rib—sejenis minuman memabukkan khas pulau itu. Tak satu sen pun disetorkan kepada perempuan yang membuat acara pesta mantra. Justru perempuan itu diancam akan dilempar ke laut. Sempat terjadi ketegangan, namun perempuan itu mengalah. Ia tidak ingin terjadi keributan yang bisa membuat nama kota itu jadi buruk.

“Uang lebih penting dari nama baik,” kata perempuan itu kepada lima lelaki tersebut. “Saya memilih membela nama baik ketimbang uang. Makanlah uang itu seperti anjing memakan daging busuk. Saya doakan kalian akan menjadi anjing.” Seketika perempuan itu ingat mimpinya apakah ini adalah isyarat dari mimpinya bahwa orang-orang di kota itu telah menjadi anjing.

Para lelaki itu, pada sebuah tengah malam, pergi dengan amarah sekaligus ketakutan menjadi anjing. Adapun perempuan itu terduduk sendiri di sebuah sudut di tepi pantai menghadap ke laut dan ketika bangun besok pagi ia sudah berada di sebuah rumah panggung yang menjadi tempat menginapnya. “Ibu tadi malam kami temukan pingsan di pantai,” kata lelaki pemilik rumah itu.

Pesta mantra itu selesai dengan baik. Tak terdengar keributan apa pun. Orang-orang yang datang dari pelosok negeri pulang dengan riang. Para tetua dan pejabat kota itu pun senang kotanya menjadi masyhur ke seantero negeri. Kota itu berhari-hari dibicarakan. Para pejabat di pulau itu dipuji sebagai orang-orang yang tahu adab dengan merawat budaya.

Tapi tidak dengan kelima lelaki itu. Orang-orang tersebut tetap menebar fitnah ke mana-mana. Tapi fitnah mereka seperti angin lalu. Tak ada yang mendengarnya. Tak ada yang mempedulikannya. Termasuk para tetua dan pejabat di kota itu yang justru berterima kasih kepada perempuan muda itu. Perempuan itu dianggap berjasa menghidupkan kampung itu.

“Saya aslinya orang kampung. Kampung saya di sini. Saya lahir di sini, di tepi pantai ini. Maka saya ingin berbuat sesuatu untuk kampung saya,” kata dia. Tapi pelan-pelan, kota itu mulai senyap. Orang-orang pun pelan-pelan melupakannya. Perempuan itu pun kembali ke kota. Adapun ke lima lelaki itu mulai diasingkan oleh tetua-tetua kampung. Mereka dianggap pengkhianat.

*

BEBERAPA hari sebelum gempa besar, sejumlah tetua pulau itu bermimpi puluhan anjing keluar dari sebuah benteng yang ada di kota itu pada sebuah malam. Anjing-anjing itu berlari ke arah pantai, berjarak sekitar tiga ratus meter dari benteng peninggalan Inggris itu. Tubuh anjing-anjing itu mengeluarkan api, menyala, menyilaukan mata. Sekilas mereka seperti terbakar. Mereka mengaing-ngaing kesakitan.

Para tetua kampung saling bercerita ketika bertemu di warung kopi. “Saya juga bermimpi hal yang sama,” kata tetua kampung satu kepada para tetua lain.

“Seperti akan ada bahaya besar yang menimpa pulau ini,” ujar tetua lainnya.

“Pulau ini harus diruwat.”

“Saya setuju. Harus segera dijampi-jampi.”

“Mungkin karena makin banyak pengkhianat di sini.”

“Anak-anak muda pun meniru orang yang lebih tua untuk menjadi pengkhianat.”

“Hidup tidak lagi tulus dan saling membantu.”

“Ini mungkin akhir zaman.”

“Para pengkhianat harus diusir dari pulau ini.”

“Bukan hanya diusir, juga harus membayar denda dengan memotong sepuluh kerbau untuk dibagi-bagikan kepada fakir miskin dan anak yatim.”

“Ya, pulau ini harus dikembalikan pada kesederhanaan dan ketulusan.”

Kabar para tetua bermimpi tentang anjing-anjing yang terbakar itu begitu cepat menyebar dan menghebohkan kampung. Para tetua kemudian membuat rapat besar dengan mengundang seluruh warga untuk membutuhkan diadakan ruwatan terhadap kota itu. Para pejabat kota setuju. Semua warga kota itu mengangguk, kecuali lima orang tersebut yakni Oir, Akid, Yde, Idan, dan Uyaj.

Justru mereka menuduh para tetua sedang mencari nama dan keuntungan untuk diri sendiri. Tapi suara lima orang itu tidak pernah didengar oleh warga. Kesepakatan telah bulat bahwa ruwatan harus segera dilakukan agar kampung kembali damai. “Tidak ada jalan lain selain ruwat,” ujar pimpinan kota itu. “Kami sebagai pimpinan kota dan seluruh jajaran kota akan mendukung penuh.”

Rapat akbar itu juga bersepakat bahwa para pengkhianat, dengan kadarnya masing-masing, harus menjalani hukuman, mulai dari denda, hingga diusir dari kampung untuk waktu tertentu plus membayar denda memotong sepuluh ekor kerbau. Jika tidak bisa membayar denda dengan memotong kerbau mereka harus menjalahi hukuman tambahan yang akan diputuskan kemudian.

Tapi belum sempat ruwatan itu dilakukan, gempa besar menghantam pulau itu dan kota itu pun hancur. Hancur sehancur-hancurnya. Dan karena pulau terpencil dan tidak ada jaringan telekomunikasi, tidak ada yang tahu gempa besar di sana. Kabar kota itu telah habis baru diketahui berbulan-bulan kemudian, ketika nelayan tersasar dibawa angin ke sana.

Tapi tidak ada yang bisa diselamatkan. Kota itu tidak berpenghuni lagi dan hanya lima orang yang tersisa dengan penampilan mirip Tarzan. Tampang mereka buas. Seolah semua yang ada akan dimakan. Tapi, mereka tidak suka laki-laki. Mereka hanya memakan perempuan, terutama perempuan muda. Mereka melihat perempuan muda seperti anjing menemukan sepotong daging segar yang begitu sayang jika tak dihabiskan.

Begitulah, tak ada yang berani datang ke kota itu. Kota mati, dengan sisa-sisa reruntuhan masih teronggok di banyak tempat, tulang-belulang berserak di mana-mana. Orang-orang menganggap kota itu adalah daerah paling menakutkan di wilayah Republik Similikiti itu. Pernah ada sebuah gagasan dari pejabat Ibu Kota untuk mengirim anjing ke kota itu.

Pulau itu dianggap tepat sebagai tempat peternakan anjing karena tidak berpenghuni. Anjing-anjing itu bisa diekspor ke luar negeri. Jika itu dilakukan, Republik itu akan menjadi negara pengekspor anjing terbesar di kawasan tersebut. Tentu saja, dalam pemikiran para penguasa, ekspor itu akan mendatangkan jumlah devisa tak terkira.

Selain itu, rencana itu dimaksudkan untuk mengubah citra pulau itu sebagai tempat menyeramkan karena ada orang suka makan orang di sana. Celakanya, lima orang itu sulit ditangkap karena mereka sangat lihai untuk berkelit dan bersembunyi. Mereka ada, namun tidak tampak. Mereka baru menunjukkan kebuasannya ketika ada perempuan yang datang ke sana.

Tapi sejak tersebar banyak perempuan hilang di pulau itu, tak satu pun lagi yang berani ke sana. Hanya satu orang yang sudah lama ingin ke sana namun belum kesampaian karena berbagai kesibukannya, yakni perempuan muda yang dulu mengundang banyak orang dari berbagai negeri untuk berpesta mantra. Ia ingin berziarah ke makam leluhurnya.

Ia tidak perduli dengan kabar menyeramkan yang selama ini serupa teror di tengah malam. Ia akan datang untuk memakan kelima lelaki itu. (*)

Mustafa Ismail
Lahir di Aceh pada 1971. Alumnus Pascasarjana Institut Kesenian Jakarta (IKJ) ini menulis puisi, cerpen, dan esai. Telah menerbitkan beberapa buku puisi dan cerpen. Ia menyiarkan sebagian puisinya di Instagram dan Tiktok @moesismail serta cerita mini di Tiktok @storimini. Kini tinggal di Depok, Jawa Barat.

(Sumber: Majalah Digital elipsis edisi 030/Tahun III/ November—Desember 2023)

Untuk keterbacaan teks dan tampilan website majalahelipsis.com yang lebih baik, sila unduh aplikasi majalah elipsis di Google Play atau APP Store, tanpa memerlukan login. Kirim naskah ke majalah digital elipsis (ISSN 2797-2135) via email: majalahelipsis@gmail.com. Dapatkan bundel digital majalah elipsis (format PDF 100 halaman) dengan menghubungi redaksi di nomor WhatsApp 0856-3029-582. Ikuti laman media sosial Majalah Elipsis (Facebook) atau @majalahelipsis.

Subscribe To Our Newsletter

Get updates and learn from the best

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Download versi aplikasi untuk kenyamanan membaca