Kalau Tuan Datang ke Padang Panjang

Share on facebook
Share on twitter
Share on linkedin
Share on whatsapp
Share on telegram

Oleh Muhammad Subhan

KALAU Tuan datang ke Padang Panjang, singgahlah sejenak di sudut-sudut kota ini yang akan membuat Tuan takjub dan membawa pulang setumpuk kenangan.

Ketika oto Tuan sudah sampai di batas kota, kalau Tuan datang dari arah Padang, tak jauh dari sana, berbeloklah Tuan ke kanan. Tuan akan bersua tempat pemandian dengan lanskap alam memesona. Minangkabau Fantasi namanya.

Menjelang masuk ke pemandian, ada sebuah rumah gadang yang ramai dikunjungi wisatawan domestik maupun mancanegara. Rumah gadang itu juga difungsikan sebagai Pusat Dokumentasi Informasi dan Kebudayaan Minangkabau yang menyimpan sejumlah koleksi manuskrip maupun arsip lainnya mengenai potret orang Minang dan kebudayaannya di masa lampau.

Kalau puas hati Tuan, jangan langsung pulang. Berjalanlah Tuan lagi, ke luar ke jalan raya, lalu agak lurus sedikit, Tuan akan bertemu lepau kuliner paling legendaris dan lezat cita rasanya. Apalagi kalau bukan Sate Mak Syukur yang tersohor itu.

Para pembesar negeri, mulai dari presiden dan pejabat-pejabat tinggi lainnya, pernah singgah melepas lelah di lepau itu—orang rantau apa lagi—sembari menikmati sate dan teh telur ditingkahi sepoi sejuk angin yang datang dari Gunung Tandikek dan Singgalang. Kabut dan rinai membuat mata Tuan terbuai.

Selain lepau Sate Mak Syukur, lepau-lepau kuliner lainnya banyak tersebar di kota berjulukan Serambi Makkah ini. Ada lokasi pasar kulinernya juga di pusat kota. Segala minuman dan makanan khas Padang Panjang lengkap dijual di sana.

Dari lepau Sate Mak Syukur, kalau sudah kenyang perut Tuan, teruslah lagi berjalan, lurus sedikit, lalu berbelok Tuan ke kiri. Mampirlah Tuan di pesantren putri termegah, Perguruan Diniyyah Puteri namanya.

Di pesantren itu perempuan pilih tanding dilahirkan, banyak yang menjadi tokoh penting di negeri orang—sekurang-kurangnya menjadi pendamping tokoh-tokoh yang memimpin negeri-negeri jiran. Pesantren itu didirikan Hajjah Rangkayo Rahmah El Yunusiyah, satu-satunya perempuan di zamannya yang diberi gelar Syekhah oleh Universitas Al Azhar, Kairo, Mesir.

Dekat dari situ juga ada pesantren lain. Namanya Perguruan Thawalib. Santri-santri putra bersekolah di sana. Mereka datang dari berbagai kota. Dua pesantren itu berdampingan, punya ciri khas masing-masing.

Dekat situ lagi, ada Surau Jembatan Besi yang kini telah menjadi masjid. Masjid Zu’ama namanya. Di sana, di masa lampau, pergerakan kaum muda di Padang Panjang bermula. Guru besarnya Syekh Inyiak Dr (baca: de er), ayah Buya Hamka yang juga dikenal sebagai Haji Rasul. Zainuddin Labai, ulama, tokoh pers, dan pengarang yang menguasai enam bahasa asing di Padang Panjang juga belajar mengaji di sana.

Kalau hari sudah beranjak siang, biasanya Padang Panjang agak terik cuacanya, tetapi tetap sejuk karena angin dari Singgalang, Tandikek, dan Marapi akan menyegarkan tubuh Tuan.

Kalau Tuan ingin mandi-mandi di kolam renang atau di sungai, berbaliklah Tuan, lalu belok ke arah kanan, terus saja. Nanti Tuan akan bertemu Lubuk Matakucing, sebuah lubuk berair jernih berbatu dan ramai didatangi orang di masa “saisuak” layaknya di Sungai Tanang. Tapi sayang, tak ada lagi orang berbendi-bendi. Di pemandian Lubuk Matakucing, dingin airnya merasuk tulang. Sumber airnya dari Gunung Singgalang.

Hamka di masa mudanya sering datang duduk bermenung di bebatuan Lubuk Matakucing, mencari inspirasi untuk karangan-karangannya.

Kalau tubuh Tuan sudah benar-benar segar, berbaliklah Tuan lagi ke pusat kota, terus berjalan ke tengah pasar. Andai perut Tuan kembali lapar, Tuan bisa makan siang di lepau Gumarang, rumah makan legendaris itu.

Dulu, di Gumarang ada sebuah meja bernama “Meja Satu”. Meja itu, kursinya khusus diduduki orang-orang penting di Padang Panjang, atau tokoh-tokoh rantau yang pulang kampung dan hendak “berota lamak” di situ. Yang diotakan macam-macam, terutama tentang suksesi kepemipinan kota dan segala “ota” lain yang bertujuan untuk membangun masa depan kota ke arah yang lebih baik.

Selain Gumarang, rumah makan dan tempat minum lainnya tentu banyak sekali. Lepau Katupek Pitalah salah satunya. Tuan yang suka makan bubur kampiun dan lontong gulai, ke sinilah Tuan datang. Tuan akan disambut empunya lepau dan pelayannya dengan hati riang.

Kalau Tuan sudah kenyang, Tuan bisa menuju Masjid Jihad di tengah pasar, menunaikan ibadah salat. Masjid itu masjid raya bersejarah di Padang Panjang, dibangun oleh Syekh Adam Balai-Balai yang di masa mudanya dikenal sebagai seorang “parewa”, orang “bagak”, tetapi di kemudian hari beliau menjadi tokoh ulama. Banyak orang segan kepadanya.

Tak jauh dari masjid itu, Tuan pandanglah sebuah bukit menjulang dan panjang sebaris dengan Bukit Barisan yang di pinggangnya batu kapur ditambang orang, sebab di situ sumbernya.

Di zaman berjayanya, pagi dan petang asap dari tungku kapur mengepul, sedikit mengotori udara, tetapi selalu dihalau angin sejuk yang menyelimuti Padang Panjang, datangnya dari tiga gunung yang menjadi pasak bumi Ranah Minang; Tandikek, Marapi, dan Singgalang.

Di masa lampau, berton-ton kapur diangkut orang ke gerbong-gerbong Mak Itam melalui lalu lintas rel kereta api jalur Padang Panjang—Padang, dibawa ke Emmahaven; Teluk Bayur, kemudian dijual ke negara-negara di Eropa. Kini negeri sudah merdeka. Penambang kapur sudah banyak beralih ke profesi lain.

Ah, Tuan. Kalau Tuan belum hendak pulang, Tuan boleh bermain pula ke sekolah seni satu-satunya di Sumatra, dan sekolah itu ada di Padang Panjang. Institut Seni Indonesia (ISI) namanya. Kalau sedang ada pertunjukan seni, bermacam kesenian dapat Tuan tonton di sana, mulai dari tari, musik, teater, film, lukisan, dan lainnya. Pastilah hati Tuan akan terhibur.

Di Padang Panjang, Tuan tidak harus naik kendaraan bermotor pribadi, tinggalkanlah sejenak oto Tuan. Tuan bisa menumpang ojek pangkalan atau ojek online. Dulu masih ada bendi yang ditarik kuda dengan kemudi kusirnya yang suka berpantun, tetapi sesekali dia berbuat lucu, sebab tali lecut kudanya sering terjatuh dan dia tergopoh-gopoh turun memungutnya. Dari atas bendi Tuan dapat melepaskan pandangan ke sebalik kota, melihat suasana kota yang semarak dan rancak. Sayang, bendi kini sudah jarang tampak. Moda transportasi tradisional itu mulai hilang digilas zaman.

Kalau jam pulang sekolah sudah tiba, Tuan akan melihat ramainya senyum semringah anak-anak berseragam sekolah dan madrasah di sepanjang trotor, sebab di kota ini lumayan banyak gedung sekolah, mulai dari sekolah umum sampai sekolah agama. Pun perguruan tingginya.

Salah satu sekolah yang juga masyhur dan bekas peninggalan Belanda, adalah SMA Negeri 1 yang gedungnya masih awet layaknya sekolah di zaman kolonial dulu. Pintu dan jendelanya tinggi besar. Dulu calon guru bersekolah di sana.

Setelah Tuan berkeliling sebalik, mampirlah pula Tuan ke Bancahlaweh, di kaki Bukit Tui. Di situ ada lapangan pacuan kuda, dan pada momen tertentu sesekali dihelat keramaian pacu kuda. Lapangan itu penuh sesak karena orang datang menonton begitu banyak.

Hamka menjadikan lapangan itu sebagai latar kisah bertemunya tokoh Zainuddin dan Hayati dalam Tenggelamnya Kapal van Der Wijk, novel yang banyak membuat orang menitikkan air mata dan sudah difilmkan.

Seandainya hari telah senja dan Tuan ingin meninggalkan Padang Panjang, atau hendak pergi ke Bukittinggi, jangan lupa singgah di dangau Kopi Kawa Daun di Aie Angek, tak jauh dari Padang Panjang. Nikmat Tuan, apalagi kopi rasa teh itu dicampur susu, atau kawannya lemang tapai plus durian. Namun, berhati-hatilah Tuan berjalan, beberapa pekan ini banjir lahar dingin erupsi Marapi sering melintas di kawasan itu. Kalau banjir tiba, kemacetan dua arah berjam-jam lamanya.

Meminum Kopi Kawa Daun atau juga minum teh telur, dinginnya angin senja yang menusuk kulit dan tulang akan dihalaunya. Badan seketika hangat dan mau “menggariak” saja: bergerak sepanjang hari.

Kalau Tuan lapar lagi, Tuan bisa makan Soto Pak Sep yang khas rasanya, dan lepaunya tak jauh dari situ, masih di Aie Angek. Aroma sotonya itu Tuan, nikmat nian. Apalagi kalau mangkuk soto tuan yang berkuah itu dicampur dengan kerupuk jangek yang gurih dan rapuh, amboi, bertambah lezat rasanya.

Dari Aie Angek, Tuan bisa memandang lepas puncak Gunung Singgalang yang di pinggangnya matahari senja terbenam malu-malu, tetapi akan membuat Tuan rindu selalu.

Kalau Tuan benar-benar belum hendak pulang atau tak ingin pula ke Bukittinggi, ada penginapan asri dengan lanskap persawahan tempat bermalam Tuan. Lokasinya di Desa Wisata Kubu Gadang Padang Panjang. Banyak home stay di sana, dan Tuan dapat memilih sesuai isi kantong Tuan. Yang pasti harganya terjangkau. Tidak hanya penginapan, Tuan juga akan disuguhkan kuliner khas Kubu Gadang, yang jarang Tuan jumpai di daerah lain.

Itulah Tuan, sedikit cerita tentang Padang Panjang, kota kecil yang rancak ini. Sudah tentu banyak sudut-sudut lain yang belum saya ceritakan sebab keterbatasan halaman. Nanti di lain hari saya kisahkan kembali kepada Tuan, kalau Tuan masih berkenan mendengarkan.

Semoga saja Tuan senang datang ke Padang Panjang, dan ketika Tuan pulang, rindu itu terbayang-bayang. Cepat atau lambat, Tuan ingin datang lagi dan lagi ke kota ini. (*)

Untuk keterbacaan teks dan tampilan website majalahelipsis.com yang lebih baik, sila unduh aplikasi majalah elipsis di Google Play atau APP Store, tanpa memerlukan login. Kirim naskah ke majalah digital elipsis (ISSN 2797-2135) via email: majalahelipsis@gmail.com. Dapatkan bundel digital majalah elipsis (format PDF 100 halaman) dengan menghubungi redaksi di nomor WhatsApp 0856-3029-582. Ikuti laman media sosial Majalah Elipsis (Facebook) atau @majalahelipsis.

Subscribe To Our Newsletter

Get updates and learn from the best

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Download versi aplikasi untuk kenyamanan membaca