Fokuslah ke depan dengan karya-karya baru. Dengan torehan pena baru. Dengan semangat baru. Sembari terus belajar meningkatkan kualitas tulisan.
Oleh Maghdalena
“Tidak ada sesuatu yang baru di bawah matahari.”
Kalimat itu sering saya dengar terucap dari lisan seorang penulis senior. Dia ingin menyampaikan bahwa, segala sesuatu yang pernah ditulis oleh penulis mana pun di dunia ini bukanlah sesuatu yang baru. Segala hal yang tergores di dunia ini hanyalah pengulangan saja. Telah berkali-kali ditulis oleh orang- orang sebelumnya.
Penulis senior itu lalu bertanya kepada saya, “Lalu apa yang membuat tulisan seseorang dengan orang lain terasa berbeda?” Saya hanya terdiam sambil mencerna pertanyaannya. Berusaha mencari jawab di sela riuhnya monolog di kepala.
Lalu penulis senior itu pun menjawab pertanyannya sendiri. “Perbedaannya terletak pada rasa.”
Saya tertegun. Benar juga. Semua orang boleh saja menulis tentang tema yang sama. Namun, rasa dan aroma yang menguar dari tulisan itu pastilah berbeda.
Pilihan kata, ramuan diksi, dan bumbu racikan penyedap dalam tulisan setiap orang pasti berbeda-beda. Bahkan hingga matahari berhenti bersinar tidak akan pernah sama persis. Kecuali plagiasi. Itu beda perkara.
Berbekal dari keadaan itu, setiap kita memiliki kesempatan yang sama untuk berkarya. Tidak ada alasan untuk merasa minder, rendah diri, merasa tak berdaya, merasa tidak mampu, merasa karya kita biasa-biasa saja, dan perasaan-perasaan lain yang melemahkan.
Ingin nama kita abadi? Maka menulislah. Tuliskan apa saja yang terlintas di kepala. Jangan hirau dengan pendapat orang lain. Barangkali, di awal-awal, tulisan kita akan terasa hambar, kurang bumbu, bahkan mungkin membuat pembaca tercekat, keasinan karena kebanyakan garam.
Tidak apa. Terus saja melaju. Seorang penulis andal pun telah melewati proses itu juga dulunya. Dikritik, dibantai karyanya, bahkan mungkin dicerca dan dihina.
Manusiawi kalau hati kita terluka. Bersedih dengan segala hinaan itu. Namun, kita memiliki dua pilihan.
Berlapang dada dan segera berbenah dengan segala kritikan dan masukan. Ataukah membiarkan diri larut dan hanyut dalam pusaran putus asa? Semua pilihan ada dalam genggaman kita.
Sebuah kalimat bijak mengatakan: Anything that doesn’t kill you, will make you stronger.
Jadikan segala masukan dan kritikan itu sebagai cambuk yang akan membuat kita lebih kuat lagi, lebih baik lagi, dan menghasilkan karya yang lebih berkualitas lagi.
Lalu, untuk membuat nama kita abadi, apakah prosesnya hanya berhenti pada tahap menuliskan saja?
Tentu saja tidak, Kawan.
Langkah selanjutnya adalah, kirim tulisan itu ke media yang sekiranya relevan dan berkenan memuat tulisan kita. Bisa di media sosial pribadi, media online lainnya, ke media cetak. Ke mana saja yang sekiranya akan dibaca orang.
Patah hati karena tulisan ditolak? Jangan!
Patah hati hanya akan membuat semangat kita melemah.
Lalu apa yang harus kita lakukan? Lupakan!
Ya, lupakan bahwa kita pernah menulis, dan mengirimkan karya tersebut. Biarlah waktu dan angin zaman membawanya kepada pembacanya.
Fokuslah ke depan dengan karya-karya baru. Dengan torehan pena baru. Dengan semangat baru. Sembari terus belajar meningkatkan kualitas tulisan. Hingga kelak, nama kita akan tercatat dalam sejarah sebagai seorang penulis yang memberikan andil dalam membangun peradaban.(*)
Maghdalena, penulis, pekerja sosial, tim redaksi majalah elipsis, dan peserta Kelas Menulis Daring (KMD) elipsis. Berdomisili di Kota Padang, Sumatra Barat.
Sumber: Majalah digital elipsis edisi 001, Juni—Juli 2021