Oleh Emi Suy
SAYA berkesempatan menghadiri sebuah konser bertajuk “Voyage to a New Dawn” berlokasi di Yùn Artified Community Art Center di Pantai Indah Kapuk, Sabtu, 4 Mei 2024 lalu. Ini adalah ruang kesenian milik swasta yang didirikan dan dikelola oleh Yince Djuwidja. Misinya sebagai wahana edukasi untuk meningkatkan pengetahuan dan apresiasi terhadap seni dengan menciptakan lingkungan yang kondusif berupa ruang lokakarya, ruang pameran, dan perpustakaan bagi komunitas seni serta mempromosikan seni visual melalui aktivitas dan pameran edukasi.
Para penampil pada konser ini adalah tiga musisi klasik muda, yaitu William Prasetyo–vokalis tenor, Wirawan Cuanda–bariton, dan Daniel Adipradhana– pianis. Ketiganya masih sangat muda, penuh vitalitas, seolah tiga matahari yang siap menyongsong pagi di belantara musik klasik Indonesia. Alangkah menarik jika saya memperkenalkan ketiga musisi tersebut secara singkat–berdasarkan berbagai informasi dari berbagai sumber—sebelum menceritakan bagaimana konser spektakuler mereka berlangsung.
William Prasetyo
Lahir di Bandung pada 11 Juni 1991. Kecintaan William Prasetyo terhadap musik klasik berkembang ketika ia menjadi bagian dari paduan suara Gereja Katolik Santo Petrus di Bandung. Ia kemudian belajar vokal klasik di bawah bimbingan para guru, dirigen, dan vokalis Daniel Victor, Satriya Krisna, Arvin Zaenullah, Dorcas Soenaryo, Farman Purnama, dan saat ini Yasashi-I E. Pangaribuan.
Bakat dan dedikasi William telah diakui melalui berbagai prestasi. Pada 2021, ia meraih Juara III Ananda Sukarlan Award kategori Tembang Puitik. Sejak itu karir artistiknya cukup melejit. Pada tahun 2022, ia meraih Juara 2, Medali Emas Kategori Solo Klasik, dan penghargaan juri khusus untuk Terbaik Interpretasi Lagu Wajib di Festival Paduan Suara Internasional Ken Steven. Khususnya, dia juga membawa pulang Medali Emas pada Lomba Menyanyi Klasik di Festival Paduan Suara Satya Dharma Gita 2023.
Sebagai seorang penyanyi opera, William telah menunjukkan keahliannya dalam opera seperti memerankan Gherardo di “Gianni Schicchi” karya Giacomo Puccini pada tahun 2022 dan berpartisipasi dalam “Opera Soirée” tahun 2023, yang membuat penonton terkesan dengan membawakan aria “Una Furtiva Lagrima” dari “L’elisir d’amore” dan “Brindisi” dari Cosi fan Tutte, bersama soprano Inggrid Patricia. Kesuksesan terakhirnya adalah memerankan “Sang Dukun” di opera komedi “Mendadak Kaya” karya Ananda Sukarlan dari naskah Putu Wijaya tahun 2024. Itu sebabnya opera ini akan diulang lagi bulan Juli nanti oleh penyelenggara yang sama, Rotary Club International. Selain itu ia telah menyanyikan beberapa aria dari opera “I’m Not for Sale” karya Ananda Sukarlan berdasarkan libretto puitik yang saya buat.
Bergabung dengan Batavia Madrigal Singers pada tahun 2014, William mengukir sejarah sebagai bagian dari paduan suara itu meraih Grand Prix Eropa 2022 untuk Paduan Suara di Tours, Prancis, menandai yang pertama dimenangkan oleh Paduan Suara Campuran Dewasa dari Indonesia. Pada tahun 2019, William mulai mengajar di The Resonanz Music Studio, di mana ia menyebarkan ilmu tentang menyanyi klasik dan modern. Ke depannya, William akan mengejar gelar Master of Performance di The Guildhall School of Music & Drama, London.
Wirawan Cuanda
Wirawan Cuanda, sang penyanyi bariton, memulai pelatihan vokal solonya di tahun 2017 di bawah bimbingan Bagus Syafrieza Paradhika. Keikutsertaannya di Surabaya Opera Academy pada tahun 2018 dan 2022, sangat mengasah minatnya terhadap dunia opera. Di bawah arahan soprano Heny Janawati ia tampil sebagai Betto di Signa dalam produksi ‘Gianni Schicchi’ pada tahun 2022. Wirawan menyelesaikan gelar Master of Arts (MA) di bidang Musik (Studi Vokal) di University of York pada tahun 2023 di bawah bimbingan Susan Young dan Alex Ashworth, sekaligus belajar dari berbagai maestro selama prosesnya, seperti Gianluca Terranova, Mary Bevan, Matteo Pavlica dan Geraldine Cassidy. Ia juga berpartisipasi di Dartington Summer School 2023 dan National Opera Studio.
Wirawan tertarik untuk mengeksplorasi Tembang Puitik, aria, dan opera serta menjembatani kolaborasi berbagai bentuk seni dan budaya. Bersama Ginevra House, ia menggubah Bhishma, sebuah siklus lagu yang menggabungkan nyanyian klasik Barat dan gamelan serta menceritakan kisah Bhishma dari Mahabharata, yang ditayangkan perdana dalam konser ujian akhirnya di York. Ia juga suka mempromosikan kolaborasi antar artis dalam konser dan pertunjukan, sehingga menghasilkan beberapa konser independen bersama dengan sesama artis di Indonesia dan Inggris.
Daniel Adipradhana
Daniel Adipradhana adalah seorang pemusik muda berbakat yang aktif di bidang musik kamar, baik di Inggris maupun Indonesia. Sebagai seorang pianis kolaboratif, pengaransemen, composer, dan anggota paduan suara, dia telah berkolaborasi dengan banyak musisi dan paduan suara terkenal, tidak hanya dalam acara-acara nasional, tetapi juga internasional (AS dan Eropa).
Dia telah lulus dari Royal College of Music, London, dengan gelar Master of Performance dalam bidang piano kolaboratif dengan predikat keunggulan (distinction). Dia belajar di bawah bimbingan professor ternama, seperti Simon Lepper, Roger Vignoles, Kathron Sturrock, Andrew Zolinsky, dan Natalie Murray. Selain itu, Daniel menerima pelatihan rutin dari Audrey Hyland, dan di luar kampus dari Julius Drake, serta mempelajari continuo dengan Thomas Allery. Dia juga belajar dengan Laurie Perkins, Direktur Musikal dari Matilda The Musical di West End, mengejar minatnya dalam teater musikal. Selain mempelajari alat musik keyboard, Daniel juga belajar mengenai conducting dengan Howard Williams.
Daniel telah meraih juara pertama untuk piano iringan dalam Kompetisi Joan Chissell Schumann, dan dia menerima penghargaan sebagai pianis mahasiswa terbaik dalam Kompetisi Brooks van der Pump English Song di babak penyisihan serta meraih juara kedua dalam babak final. Dia juga menjadi Artis Muda SongEasel tahun 2022 dan 2023, dan sebagai hasilnya, dia tampil di Oxford Prom di University Church of St. Mary, Oxford. Baru-baru ini, dia tampil bersama soprano Natasha Agarwal dalam konser Lunchtime di National Gallery London yang diselenggarakan oleh Black British Classical Foundation dan bersama Pegasus Opera Company untuk merayakan Windrush Celebration ke-75 di London. Selain itu, dia sering tampil dalam lunchtime concert di St. Mary Abbots London dan Romsey Abbey.
Daniel telah memiliki banyak kesempatan untuk meningkatkan artistik seni musiknya dengan mengikuti kelas master piano dan piano kolaboratif bersama banyak musisi terkenal, termasuk Susan Manoff, Mark Padmore, Lydia Brown (Kepala Departemen Piano Kolaboratif di Juilliard), Maciej Pikulski, Rudolf Piernay, Hans-Jurgen Schnoor, Henry Kelder (Ultrecht Conversatory), Sam Haywood, Toru Oyama, dan Adhi Jacinth (Freiburg). Dia telah menjadi bagian dari keluarga The Resonanz Music Studio (TRMS) sejak tahun 2017 sebagai guru piano, pianis kolaboratif, dan anggota paduan suara di Batavia Madrigal Singer.
Tiga Menguak Tembang Puitik dan Konser bertajuk “Voyage to a New Dawn”
Konser bertajuk “Voyage to a New Dawn” yang dimainkan oleh “tiga menguak tembang puitik” itu terdiri dari tiga babak: 1. The Land of Occident (Tanah di Barat), 2. The Land Back Home (Tanah Tempat Lahir dan Tinggal), dan 3. The Land of Orient (Tanah di Timur). Pada babak pertama, mereka mempersembahkan karya Benjamin Britten dan George Frideric Handel (keduanya dari Inggris), Wolfgang Amadeus Mozart (Austria) dan Sergei Rachmaninoff (Rusia). Aroma Inggris memang kental di sini, karena Wirawan Cuanda adalah alumni University of York di Inggris. Berbeda dengan Cuanda, William Prasetyo setelah ini baru akan melanjutkan kuliah di Guildhall School of Music and Drama di London, sedangkan sang pianis Daniel Adipradhana, adalah lulusan Royal College of Music di London.
Babak kedua terdiri dari 4 lagu, tiga lagu pertamanya adalah karya Ananda Sukarlan yang juga hadir di konser itu. Disusul lagu dari komponis muda rekan para vokalis, Arya Pugala Kitti, yang kini sedang kuliah di Royal College of Music, London. Ada dua tembang puitik dan satu aria dari opera Ananda yang dipilih oleh dua vokalis ini. “On Virtue” yang dinyanyikan William Prasetyo berdasarkan puisi karya Phillis Wheatley, penyair kulit hitam Amerika pertama dalam sejarah. Ini adalah puisi pertama Wheatley yang digubah oleh Ananda, sewaktu Ananda masih kuliah di Koninklijk Conservatorium di Den Haag, Belanda. Saat itu, Ananda mulai riset mengenai puisi budak perempuan Phillis Wheatley dan membuat musik dari beberapa puisinya, bahkan sampai saat ini Ananda Sukarlan masih melakukannya.
Sedikit tentang penyair tersebut, lahir di Gambia, Afrika, Wheatley ditangkap dan dibawa ke Amerika oleh pedagang budak pada tahun 1761 ketika ia berusia sekitar 7 tahun. Setibanya di sana, ia dijual ke keluarga Wheatley di Boston, Massachusetts. Nama depan Phyllis berasal dari kapal yang membawanya ke Amerika; “The Phyllis”. Wheatley dididik oleh keluarga pemiliknya sampai dia bisa membaca Alkitab, ia juga belajar bahasa Yunani klasik dan Latin serta belajar sastra Inggris. Setelah dibebaskan pasca kematian ibu keluarga Wheatley, Phillis menjadi lebih vokal dalam mengekspresikan pandangan antiperbudakannya, dan kemudian menjadi penyair kulit hitam pertama yang diakui secara internasional dalam sejarah, ia menerbitkan buku pertamanya pada tahun 1773.
Kemudian Wirawan Cuanda menyanyikan dua karya Ananda Sukarlan: “Kasih” berdasarkan puisi dari Chendra Panatan, koreografer dan juga manager Ananda. Satu lagi, aria dari opera “I’m Not for Sale” tentang tokoh wanita Auw Tjoei Lan dan kisah kepahlawanannya. Aria “Kapten Lie di Penjara” ini di opera dinyanyikan dalam setting penjara Cimahi oleh pemeran suaminya, Kapten Lie Tjian Tjoen, setelah ditangkap dan disiksa oleh tentara Jepang. Teks yang sangat puitik dari opera ini seluruhnya saya tulis.
Saya benar-benar merasakan hal yang sangat berbeda, terharu dan hanyut dalam nyanyian Wirawan Cuanda diiringi permainan piano Daniel Adipradhana. Saya meeresapi kata demi kata puisi yang saya buat dinyanyikan malam itu. Bahkan saya sampai meneteskan air mata saking terharunya.
Tidak kalah menarik adalah babak ketiga, di mana William Prasetyo menyanyikan lagu-lagu dari Toru Takemitsu (1930-1996). Takemitsu adalah komponis Jepang pertama yang berhasil mengasimilasi elemen musik dan filosofi tradisi Jepang ke dalam karya-karyanya. Ananda Sukarlan adalah pianis pertama yang merekam seluruh karya piano komponis Jepang tersebut, yang pertama kali membuat musik klasik Jepang diperhitungkan di panggung dunia saat ini, dan sampai kini “Complete Piano Works of Toru Takemitsu” itu bisa diunduh di Apple music dan Spotify untuk dinikmati.
Peranan pianis Daniel Adipradhana juga signifikan dalam kemasan artistik konser ini. Ia mendampingi performa dua vokalis ini dengan cermat dan rapih. Daniel sebagai lulusan Master of Performance dari Royal College of Music, London, dengan predikat “distinction” di bawah bimbingan para dosen piano Roger Vignoles, Andrew Zolinsky, Audrey Hyland dan Simon Lepper, agaknya memberikan sentuhan yang dalam pada permainannya.
Konser “Voyage to A New Dawn” menjadi bersejarah karena merupakan konser “Selamat Datang Kembali di Tanah Air” untuk Wirawan Cuanda, dan “Konser Perpisahan” untuk William Prasetyo yang akan berangkat kuliah Agustus nanti ke London. Konser ditutup dengan menyanyikan “Nyiur Hijau” karya R. Maladi, membawa kami penonton terlena. Agaknya itulah konser “tiga menguak tembang puitik” yang sungguh-sungguh spektakuler dan puitik.
Selepas Konser “Voyage to A New Dawn”: Api yang Tidak Pernah Padam
Selepas konser, ada beberapa pertanyaan yang sempat terlontar kepada salah satu dari “tiga menguak tembang puitik” itu; William Prasetyo, sebagai musisi termuda di antara dua musisi yang lain, yang baru akan melanjutkan kuliah ke luar negeri, dan diharapkan masih akan terus berkembang ke depan membawa obor penerang bagi musisi yang lebih muda.
William berkata, “Orang tua cukup mendukung, walaupun bukan secara finansial. Mereka mendukung dan senang pada saat tahu saya diterima di Guildhall. Kalau secara finansial, jujur memang agak sulit, karena memang kita bukan dari keluarga yang berlebih, cuma memang hanya cukup untuk hidup. Puji Tuhan saya masih memiliki atap yang layak dan masih bisa memenuhi kebutuhan harian.”
“Jadi, tahun ini saya akan bersekolah di Guildhall School of Music and Drama (GSMD) di London dan mengambil program Master of Performance. Sekolah ini memang salah satu sekolah musik yang sangat prestisius di dunia. Sekolah ini sudah berdiri dari 1880. Berdasarkan QS ranking of university, GSMD merupakan sekolah musik dengan ranking ke-5 dari semua sekolah musik di seluruh dunia. Juilliard saja berada di urutan ke-7, maka itu sekolah ini merupakan salah satu yang terbaik. Acceptance ratenya hanya 10% dari ribuan applikan seluruh dunia. Oleh karena itu, ini merupakan kesempatan sekali seumur hidup,” lanjutnya merespon pertanyaan yang diajukan.
“Perseverence, Hope, and Freedom, itulah yang saya dapatkan dari opera I’m Not for Sale dan On Virtue, lagu yang saya bawakan pada saat kompetisi tembang puitik. Kisah Aw Tjoei Lan dan Phillys Wheatly dalam menghadapi persekusi dan tekanan ketika berusaha membantu korban dan menjadi korban dari trafficking itulah yang menginspirasi saya untuk terus berjuang dan terus menyuarakan semangat dan harapan tersebut melalui seni,” kata William.
Menjawab soal cita-cita ke depan, Willam menjawab, “Ada dua hal yang ingin saya lakukan setelah lulus. Pertama, saya ingin mengharumkan nama Indonesia di dunia musik dunia, khususnya musik klasik yang notabenenya adalah standar peradaban manusia melalui kompetisi tingkat internasional. Saya ingin menunjukan ke dunia bahwa Indonesia bukan hanya sebuah negara berkembang yang tebelakang. Tapi secara kebudayaan, kita sudah sangatlah maju dan dapat bersaing di luar negeri.”
“Kedua, saya ingin menjadi sebuah jembatan bagi anak-anak Indonesia menuju panggung musik klasik dunia. Saya melihat bahwa Indonesia itu sebetulnya penuh dengan anak muda yang berbakat dalam dunia musik, yang bahkan lebih berbakat dibandingkan saya, tetapi tidak memiliki akses untuk melatih dan menyalurkan bakat tersebut. Saya harap dengan apa yang saya pelajari dari salah satu sekolah musik terbaik di dunia, saya bisa membantu menyediakan jalan yang lebih mudah dan mulus bagi anak-anak Indonesia.”
Mendengar jawaban-jawaban yang terlontar dari musisi muda itu, membuat saya juga ikut semangat untuk terus berkarya, walaupun usia sudah tidak lagi muda, tetapi semangat belajar dan berkarya harus tetap nyala api tak boleh padam.
Di antara penonton uga hadir Yince Djuwidja (seorang seniman perupa sekaligus pemilik Yùn Artified Community Art Center), serta Riri Satria (pakar teknologi dan transformasi digital yang juga pencinta puisi, penggerak dunia sastra dan Ketua Jagat Sastra Milenia). Saya dan para penonton benar-benar menikmati penampilan “tiga menguak tembang puitik” itu. Sungguh bukan hanya menguak tembang puitik, tetapi menguak musik Indonesia masa depan. Selamat, semuanya benar-benar keren! (*)
Untuk keterbacaan teks dan tampilan website majalahelipsis.com yang lebih baik, sila unduh aplikasi majalah elipsis di Google Play atau APP Store, tanpa memerlukan login. Kirim naskah ke majalah digital elipsis (ISSN 2797-2135) via email: majalahelipsis@gmail.com. Dapatkan bundel digital majalah elipsis (format PDF 100 halaman) dengan menghubungi redaksi di nomor WhatsApp 0856-3029-582. Ikuti laman media sosial Majalah Elipsis (Facebook) atau @majalahelipsis.