Anak sejak dini diajarkan literasi budaya melalui tari bertujuan untuk mengenal budaya daerah di mana tinggal. Pemahaman tari pada anak disesuaikan dengan tingkat perkembangan usia mentalnya.
OLEH EKO PURNOMO
Generasi Alfa atau sering merupakan generasi yang lahir mulai tahun 2010. Mereka pada saat ini setidaknya telah berusia 13 tahun, Sebagian besar masih duduk di sekolah dasar (SD), dan sebagian telah lulus atau duduk di jenjang sekolah menengah pertama (SMP). Generasi ini memiliki karakter yang berbeda dengan generasi sebelumnya, karena tidak mengenal teknologi sederhana dan tepat guna. Gen Alfa sebagian besar, terutama yang hidup di daerah perkotaan hanya mengenal teknologi digital dan lebih banyak mengenal budaya urban, dibandingkan dengan budaya tradisional.
Pelaksanaan festival dan lomba seni siswa nasional (FLS2N) pada saat sekarang ini memiliki fenomena menarik. Kemenarikan terutama pada bidang lomba tari kreasi terutama pada jenjang sekolah dasar (SD). Jenjang SD FLS2N tahun 2023 secara luring diikuti oleh 10 peserta yang lolos seleksi secara daring dari 38 provinsi. Peserta lomba tentu berasal dari daerah perkotaan maupun perdesaan.
Ada beberapa catatan penting selama pelaksanaan lomba.
Pijakan Tari Tradisional
Ajang mencari bakat atau talenta melalui FLS2N pada jenjang SD merupakan salah satu wahana sangat tepat. Penampilan kesepuluh peserta sangat memukau. Keterpukauan terletak pada pengembangan ragam gerak tradisi sesuai asal daerahnya. Ada peserta yang masih mengembangkan ragam gerak presentasional, artinya hanya mengembangkan ragam gerak keseharian menjadi suatu rangkaian tari, musik tari tetap dikembangkan sesuai dengan tradisi daerah asal.
Pengembangan ragam gerak tari bersumber pada tradisi sangat penting karena keragaman itulah yang tidak banyak dimiliki oleh bangsa lainnya. Sejak dini anak telah dikenalkan bermacam ragam gerak bersumber tradisi agar menjadi bagian dari kehidupan. Anak ketika melakukan gerak tidak hanya dilakukan dengan tempo dan dinamika semata, tetapi juga memahami makna dan simboliknya. Gerak yang memiliki makna dan simbol inilah yang membedakan dengan pengembangan gerak lainnya, seperti gerak pada senam, aerobik, atau gerak lain yang diikuti irama atau iringan musik.
Pemahaman budaya melalui tari juga bagian penting dari pengembangan literasi budaya. Literasi ini menjadi keniscayaan ketika pertumbuhan dan perkembangan teknologi digital sangat masif. Teknologi digital tidak hanya berdampak positif, tetapi juga negatif. Dampak negatif salah satunya adalah terkonfirmasinya secara masif budaya dari berbagai negara yang mungkin kurang sesuai dengan budaya asli Indonesia. Sejak dini perlu dilakukan penyaringan terhadap budaya yang kurang sesuai dengan nilai-nilai Pancasila.
Anak sejak dini diajarkan literasi budaya melalui tari bertujuan untuk mengenal budaya daerah di mana tinggal. Pemahaman tari pada anak disesuaikan dengan tingkat perkembangan usia mentalnya. Anak dapat mengenal syair lagu berbahasa ibu atau bahasa daerah. Anak dapat mengenal makna dari syair lagu yang dijadikan sebagai musik tari atau iringan tari. Pengenalan makna budaya sejak dini berpengaruh terhadap konsep atau jati diri baik secara psikologis, antropologis, maupun sosiologis. Pada konteks ini penampilan tari kreasi pada jenjang SD telah berhasil menjadi salah satu media atau wahana tidak hanya untuk mengembangkan talenta, tetapi jauh lebih penting adalah jati diri sebagai generasi Alfa Indonesia. Kemampuan melakukan ragam gerak tari dapat dijadikan sebagai media untuk mengembangkan kemampuan berpikir secara sistematis dan sistemik.
Tari dalam Pembelajaran
Pembelajaran tari pada jenjang sekolah dasar dapat dilakukan melalui tiga aktivitas, yaitu kokurikuler, intrakurikuler, dan ekstrakurikuler. Ketiga aktivitas ini merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan. Ajang FLS2N merupakan hasil belajar peserta didik pada aktivitas ekstrakurikuler. Bidang ekstrakurikuler merupakan sarana atau wahana bagi peserta didik untuk mengembangkan kemampuan dan potensi diri sesuai dengan minat dan bakatnya. Pembelajaran tari pada sekolah formal memiliki tujuan yang berbeda dengan pembelajaran di sanggar atau sejenisnya. Tujuan utama pembelajaran tari di sekolah formal adalah mengembangkan kreativitas, minat, potensi bakat, atau talenta yang dimiliki. Tujuan ini diikat secara formal melalui kurikulum sekolah digunakan, baik secara kokurikuler, intrakurikuler, maupun ekstrakurikuler.
Pada pembelajaran kokurikuler dan intrakurikuler lebih mengembangkan kemampuan pada apresiasi dan ekspresi, tetapi di ekstrakurikuler menekankan pada kemampuan kreasi, karena sudah sesuai dengan minat dan bakat yang dimiliki. Namun demikian, pengembangan kreasi tari tetap harus mempertimbangkan aspek psikologi, antropologi dan sosiologi peserta didik. Ketiga aspek ini penting agar tarian yang dilakukan oleh anak tidak hanya menguasai teknik semata, tetapi juga mencerminkan dunia peserta didik sesuai dengan perkembangan mental, lingkungan budaya setempat, dan lingkungan sosialnya. Pembelajaran tari di sekolah formal tetap bertujuan untuk mengembangkan kemampuan sosial emosional, intelektual, dan dapat menghargai keragaman budaya yang multikultural.
Penciptaan Tari Anak
Penciptaan tari anak perlu mempertimbangkan aspek psikologi. Pada aspek ini memiliki arti bahwa teknik gerak yang dilakukan disesuaikan dengan perkembangan keterampilan baik secara motorik kasar maupun motorik halus. Teknik melakukan gerak dapat saja dilakukan melebihi perkembangan gerak sesuai dengan perkembangan mentalnya, tetapi berdampak pada kehadiran tari anak lebih menonjol teknik geraknya, tetapi kering ekspresi sesuai dengan usianya. Sejak dini pada anak penting ditanamkan untuk melakukan ekspresi melalui tari sesuai dengan perkembangan usia mentalnya. Tari tradisi memiliki teknik sesuai dengan perkembangan usia. Penciptaan tari anak pada akhirnya tidak dapat lepas dari aspek antropologi dan sosiologi, karena kedua aspek ini berhubungan dengan teknik dan ekspresi, ketika melakukan gerak tari sesuai dengan budaya dari mana tarian itu berasal.
Pada penciptaan tari anak perlu juga mempertimbangkan aspek antropologi dan sosiologi. Tari bentuk yang diciptakan oleh seniman pada budaya tertentu telah melahirkan tari anak. Pada tari Jawa misalnya, ada tari Kelinci, tari Kuda-kuda, tari Kijang, tari Merak, tari Kukilo, tari Bondan, dan tarian sejenisnya. Pada budaya Minang, misalnya, ada tari Tempurung, tari Payung, dan sejenisnya. Setiap tarian diperuntukkan untuk tingkatan usia berbeda. Tari Kelinci misalnya, lebih sesuai untuk anak usia 5–7 tahun, tari Kuda-kuda dapat dilakukan untuk 7–12 tahun. Tari tradisional tersebut diciptakan dengan menggunakan musik tradisi sesuai dengan budayanya. Pencipta tari tradisi telah meletakkan akar kuat tidak hanya aspek psikologi, tetapi juga antropologi dan sosiologi sesuai dengan budaya pendukungnya.
Tari anak pada generasi Alfa tetap harus mempertimbangkan aspek psikologi, antropologi, dan juga sosiologi. Ketiga aspek ini merupakan satu kesatuan utuh. Ketiga aspek ini dapat membantu anak untuk memahami konsep diri secara baik dan benar, serta mengembangkan kemampuan berpikir tingkat tinggi. Tari pada dimensi pendidikan tidak hanya mengenalkan tentang estetika semata, tetapi dapat berfungsi juga untuk mengembangkan kemampuan sosial emosional, intelektual, dan memahami multikultural. Pemahaman ini penting agar sejak dini memiliki pondasi kuat tentang budaya bangsa di mana dia lahir dan dibesarkan. Jika hal ini dapat dilakukan, maka generasi Alfa mampu bergaul secara global, tetapi tetap memiliki kepribadian budaya Indonesia. (*)
Eko Purnomo
Saat ini sedang menyelesaikan program doktoral Pendidikan Seni di Universitas Negeri Semarang. Aktif sebagai juri FLS2N bidang lomba tari tradisional jenjang SMK sampai saat ini. Selain itu, aktif melakukan penelitian, pengajaran, dan penulisan tentang seni dan pembelajaran, pengembangan kurikulum berbasis kompetensi (KBK), kurikulum tingkat satuan pendidikan (KTSP), dan Kurikulum Merdeka, menjadi narasumber dan fasilitator seni budaya dan pembelajaran.
(Sumber: Majalah digital elipsis edisi 030/Tahun III/ November—Desember 2023)
Untuk keterbacaan teks dan tampilan website majalahelipsis.com yang lebih baik, sila unduh aplikasi majalah elipsis di Google Play atau APP Store, tanpa memerlukan login. Kirim naskah ke majalah digital elipsis (ISSN 2797-2135) via email: majalahelipsis@gmail.com. Dapatkan bundel digital majalah elipsis (format PDF 100 halaman) dengan menghubungi redaksi di nomor WhatsApp 0856-3029-582. Ikuti laman media sosial Majalah Elipsis (Facebook) atau @majalahelipsis.