Tantangan Perubahan Iklim dan Urgensi Pendidikan Anak

Share on facebook
Share on twitter
Share on linkedin
Share on whatsapp
Share on telegram

Oleh Wahyu Agung Prihartanto

DALAM sebuah pidato yang emosional, dia berkata, “Ini salah. Saya seharusnya tidak berada di sini. Saya seharusnya kembali ke sekolah di seberang lautan, tapi kalian semua menggantungkan harapan kepada kami, anak muda. Beraninya kalian? Kalian telah mencuri mimpi saya dan masa kecil saya dengan kata-kata kosong kalian,” kata gadis berusia 19 tahun itu. Dan ia mendesak para pemimpin dunia untuk segera bertindak, dengan mengatakan, “Kami akan mengawasi kalian.”

Dia adalah Greta Thunberg, gadis asal Swedia yang lantang menuduh para pemimpin dunia gagal bertindak dalam mengatasi perubahan iklim. Kritikan Greta disampaikan di depan Sekretaris Jenderal PBB António Guterres serta enam puluh pemimpin negara dalam suatu pertemuan yang diselenggarakan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa. Anak hingga remaja sangat memahami bahwa perubahan iklim dapat mengubah kehidupan, pola lingkungan, bahkan masa depan mereka.

Perubahan iklim yang diakibatkan oleh ulah manusia telah menaikkan intensitas terjadinya cuaca ekstrem. Hampir dua puluh tahun terakhir, berbagai bencana alam cuaca terjadi di mana-mana mengakibatkan kerugian material dan nonmaterial yang tidak sedikit. Sepanjang tahun 2021, Indonesia mengalami dampak perubahan iklim seperti banjir, tanah longsor, kebakaran hutan, pencairan permafrost, dan badai.

*

Perubahan iklim dapat mengganggu kesehatan mental anak-anak dan remaja meskipun mereka bukan subjek penyebab. Pembekalan bagi komunitas mereka perlu dilakukan untuk menghadapi serta membayangkan tantangan sosial yang akan terjadi sebagai dampak perubahan iklim. Seyogianya kelompok elit pemerintahan saatnya mengakui bahwa efek perubahan iklim telah dan sedang berlangsung seraya mengantisipasi dampak-dampak yang berpotensi terjadinya problematika sosial, struktural, ketidakadilan, serta pendiskreditan.

Penting dilakukan pendekatan-pendekatan nonkurikuler di luar sekolah, dengan cara ini diharapkan dapat membantu pengembangan inovasi bagi anak-anak dan remaja. Praktik-praktik yang menimbulkan informasi traumatik akan membangun ketahanan pada komunitas mereka. Metode penggabungan ilmiah serta seni akan menginspirasi serta melekat sepanjang masa pada diri mereka.

Dampak perubahan iklim ini sangat dirasakan anak-anak dan sudah berlangsung lama secara turun-temurun. Kekhawatiran yang ditunjukkan Greta di atas, sangat masuk akal juga dirasakan anak-anak seusianya di Indonesia, bahkan di seluruh belahan dunia. Mereka perlu dilibatkan bukan saja dalam proses mitigasi melainkan juga adaptasi terhadap ancaman bencana alam yang mengancam lingkungannya.

Anak-anak ingin terlibat secara aktif dalam merespons perubahan iklim, meskipun di berbagai kesempatan aksi mereka tidak ditindaklanjuti secara positif oleh para pemangku kepentingan. Orang muda merasa orang tua tidak melakukan tindakan substansial, dan ketika opini mereka tidak didengarkan, maka para pemuda merasa kehilangan harapan untuk masa depan mereka. Berita-berita terkait potensi bencana alam menghegemoni seluruh media sosial, dan pada saat bersamaan berita-berita bohong menyesatkan seringkali justru mengganggu kesehatan mental mereka.

*

Terkadang, anak-anak perlu ditunjukkan kondisi-kondisi memilukan sebuah peristiwa bencana sekaligus simulasi tindakan untuk mengubahnya. Hal ini dapat menawarkan harapan pada anak-anak sekaligus membangun kepercayaan orang tua untuk lebih berperan pada masa depan yang lebih baik. Sehingga dengan demikian, pendekatan ini diharapkan dapat mendorong kaum muda untuk memitigasi serta terhubung dengan kekuatan serta komunitas mereka untuk membangun solusi yang berkelanjutan.

Jika kita cermati dengan baik, wabah Pandemi Covid-19 telah mengilhami para generasi muda untuk melakukan perubahan kebiasaan secara signifikan. Penggunaan masker, jaga jarak, sekolah daring, merupakan langkah-langkah adaptasi terhadap sebuah wabah, selain diharapkan dapat dilakukan secara terus-menerus, sekaligus sebuah upaya yang pada akhirnya dapat mengubah perkembangan anak dan prospek pencapaian pendidikan mereka dan peluang hidup mereka. Sosiolog Anthony Giddens mengatakan, “Peluang ini dimiliki orang ketika berbagi barang ekonomi atau budaya yang diciptakan secara sosial dalam masyarakat tertentu.”

Peristiwa cuaca ekstrem menimbulkan pergolakan pribadi, lingkungan hidup, masyarakat, dan infrastruktur. Dengan melibatkan anak-anak dalam membuat perubahan dapat meningkatkan daya tahan pada situasi krisis iklim. Memang, pada akhirnya konsistensi anak-anak dalam memahami cara-cara yang diajarkan guru maupun orang tua terkait perubahan iklim sangat dibutuhkan, dan sekali lagi hal ini semata-mata untuk membangun ketahanan serta wawasan anak-anak dalam memahami pendidikan perubahan iklim.

Wahyu Agung Prihartanto, Penulis dari Sidoarjo, Jawa Timur.

Penulis: Wahyu Agung Prihartanto
Editor: Fataty Maulidiyah

Untuk keterbacaan teks dan tampilan yang lebih baik, sila unduh aplikasi Majalah Elipsis di Play Store, tanpa memerlukan login. Kirim naskah ke majalah digital elipsis (ISSN 2797-2135) via email: majalahelipsis@gmail.com. Dapatkan bundel digital majalah elipsis (format PDF 100 halaman) dengan menghubungi redaksi di nomor WhatsApp 0856-3029-582. Ikuti laman media sosial Majalah Elipsis (Facebook) atau @majalahelipsis (Instagram).

Subscribe To Our Newsletter

Get updates and learn from the best

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Download versi aplikasi untuk kenyamanan membaca