Tahanan, Puasa, dan Kemenangan Hakiki

Share on facebook
Share on twitter
Share on linkedin
Share on whatsapp
Share on telegram

Oleh Muhammad Subhan

MENJADI seorang tahanan tentu tidak mengenakkan. Penjaralah tempatnya. Kiri kanan dinding batu. Depan belakang jeruji besi. Ruangan yang dihuni sempit, lembab, dan pengab. Tak ada kasur empuk. MCK pas-pasan. Makan tak enak. Tidur tak nyeyak. Setiap waktu menghitung hari, kapan menjadi manusia bebas kembali.

Orang yang menjadi tahanan biasanya mereka yang secara hukum diputuskan pengadilan bersalah atau terbukti melakukan kejahatan. Kejahatan itu bisa bermacam-macam sesuai hukum yang dilanggarnya. Para tahanan ini pun menyandang status nara pidana (napi).

Lama masa penahanan itu relatif. Tergantung vonis yang dijatuhkan hakim di pengadilan sesuai kadar kejahatan yang dilakukan si tahanan. Ada yang lima bulan, satu tahun, dua tahun, lima tahun, sepuluh tahun, maupun seumur hidup.

Masing-masing tahanan tentu tidak ada yang senang menyambut vonis itu. Resah dan gelisah jiwanya. Mereka tak lagi menjadi manusia merdeka. Begitupun keluarga mereka, terutama istri dan anak-anaknya, ikut menderita menunggu orang yang dikasihi bebas dan dapat berkumpul kembali seperti semula.

Penjara, bui, lapas, tangsi, atau apapun namanya yang dihuni para tahanan dibuat untuk memberikan efek jera kepada mereka yang melakukan kejahatan.

Selama menjalani masa penahanan itu, ada yang benar-benar tobat lalu ketika keluar menjadi manusia baik dan dapat kembali diterima di tengah masyarakatnya. Namun, ada juga manusia yang meski sudah berkali-kali masuk ke luar penjara, tetapi tak jera-jera juga. Penjara baginya bukan tempat intropeksi diri, melainkan tempat mengatur strategi kejahatan apalagi yang bisa dilakukan setelah keluar nanti.

Ibadah puasa, hakikatnya adalah menahan. Yang ditahan khususnya adalah makan dan minum, dan segala yang membatalkan puasa. Orang yang berpuasa pun menjadi tahanan dari segala kejahatan yang berpeluang dilakukannya. Seluruh organ tubuhnya ikut menahan segala sesuatu yang dapat mencederai puasa. Lisannya ditahan untuk tidak mempergunjingkan aib orang lain. Matanya ditahan untuk tidak melihat segala sesuatu yang diharamkan untuk dilihat. Telinganya ditahan untuk tidak mendengar kata-kata kotor. Tangan dan kakinya ditahan untuk tidak melakukan segala hal yang merusak dirinya.

Selama masa penahanan yang ditentukan waktunya itu, jiwa orang yang berpuasa menjadi bersih dan suci. Hubungan vertikalnya dengan Allah Swt. yang memerintahkan ibadah puasa semakin baik yang tercermin juga dari ibadah salat yang dilakukannya selama bulan puasa, baik salat lima waktu, tarawih, witir, tahajud, duha, maupun rawatib. Hubungan vertikal yang baik itu memantul pula pada hubungan horizontal kepada sesama manusia. Orang-orang yang berpuasa, setelah bebas dari masa menahan itu, kedermawanan sosialnya semakin tinggi. Empatinya kuat.

Selama berpuasa, ia merasakan lapar dan dahaga. Dia akan berkata, “oh, begini ya rasa lapar dan haus itu.” “Oh, begini ya, orang miskin merasakan lapar dan dahaga.” Maka, keluarlah sifat kedermawanannya untuk membantu orang-orang miskin yang tidak memiliki apa-apa di rumahnya untuk dimakan. Tidak hanya di bulan puasa, tetapi juga di bulan-bulan lainnya kedermawanannya meningkat.

Dan, orang-orang yang “ditahan” selama bulan puasa itu, usai Ramadan mereka menjadi manusia-manusia yang menang secara lahir dan batin. Mereka pun kemudian merayakan hari kemenangan bernama Idulfitri. Sebaliknya, ada juga manusia yang menjadi “tahanan” selama bulan puasa namun setelah keluar dari Ramadan tidak menemukan hari kemenangan itu. Jiwanya kembali gelisah dan resah layaknya jiwa orang-orang tahanan sebenarnya di dalam penjara. Itu terjadi lantaran selama puasa mereka tidak benar-benar menahan dari segala yang dapat mencederai dirinya. Bagi orang-orang seperti ini tentu saja tidak ada hari kemenangan baginya. Merugilah mereka sepanjang masa hingga ia kembali insaf untuk menjadi manusia sesungguhnya.

Semoga saja, kita, selama menjalani masa “tahanan” di bulan suci yang sudah beranjak ke ujung ini, benar-benar mampu melewati segala ujian yang dapat merusak ibadah kita. Dan, di hari kemenangan nanti, kita kembali menjadi manusia suci, layaknya baru terlahir ke dunia yang fana ini. Wallahu a’lam. (*)

Untuk keterbacaan teks dan tampilan website majalahelipsis.com yang lebih baik, sila unduh aplikasi majalah elipsis di Google Play atau APP Store, tanpa memerlukan login. Kirim naskah ke majalah digital elipsis (ISSN 2797-2135) via email: majalahelipsis@gmail.com. Dapatkan bundel digital majalah elipsis (format PDF 100 halaman) dengan menghubungi redaksi di nomor WhatsApp 0856-3029-582. Ikuti laman media sosial Majalah Elipsis (Facebook) atau @majalahelipsis.

Subscribe To Our Newsletter

Get updates and learn from the best

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Download versi aplikasi untuk kenyamanan membaca