Sosok Pria Idaman Pertama yang Kucintai

Share on facebook
Share on twitter
Share on linkedin
Share on whatsapp
Share on telegram

Oleh Febria Erisa
Staf TU Bidang Kesiswaan
Tim Literasi SMP Negeri 3 Payakumbuh

BUTUH banyak kekuatan membagi hal ini. Cerita yang terkadang membuat suasana hati menjadi resah, seakan-akan aku bukanlah manusia yang bersyukur dengan semua yang kumiliki sekarang.

Sesekali, kubuka kotak usang bersemayamkan kenangan lama, ketika kami berjalan bersama di ujung senja merah penuh romansa. Ketika nelangsa berubah menjadi sorai gembira dan gundah pun berganti kidung sarat makna. Saat pundak itu siap menyambut lelah, seketika sedih terbasuh hangat pelukan.

Dia adalah tentang hidup dengan perjuangan panjang, tentang mimpi yang remuk dan mati dalam genggaman, demi menghidupkan keinginan jiwa yang lain. Dia adalah pahlawan bagi seorang bocah perempuan, kusebut dia “Bapak”.

Bapak hanya pria biasa, sekilas tak ada yang istimewa. Bapak bukan pria berpendidikan tinggi atau akademisi. Sampai hari ini tak pernah kutemukan selembar ijazah bertuliskan namanya. Bapak juga bukan pria berada jika Motor Honda cub 70 alias Astrea bulan disingkat asbul, menjadi tunggangannya sejak bujangan. Tapi Bapak memberiku sebuah sepeda motor (tentu lebih bagus dari motor Bapak) supaya lebih leluasa pergi bekerja. Bapak tidak pernah punya telepon genggam apalagi smartphone yang canggih itu.

Bapak juga hanya punya satu buah dompet kulit dengan bau khas dan lusuh, yang sudah bertahun-tahun tak pernah diganti. Tak satu pun barang mewah yang Bapakku punya. Seingatku, Bapak hanya punya satu buah jam tangan besi berkarat, retak, dan penuh debu dalam lingkarannya. Yang hanya akan dipakai ketika hari-hari penting dan istimewa saja. Dengan semua keadaan itu, maka mustahil bagi kami sekeluarga hidup bermewah-mewah.

Namun, sebagai pahlawan superior, tentu tak akan mungkin Bapak biarkan kami tidak bahagia, karena beliau selalu punya cara melakukan itu semua. Aku ingat Bapak pernah membawaku ke toko buku untuk membeli kamus Bahasa Indonesia, hanya karena aku bertanya arti sebuah kata malam itu. Mungkin Bapak tidak tahu makna tapi Bapak akan pastikan di tangannya selalu ada solusi, dan yang pasti Bapak tidak ingin mati gaya.

Meski jajanan termewah kami hanya semangkok bakso, sepiring sate dan martabak mesir Haji Wan yang tersohor itu harus Bapak beli dengan porsi setengahnya. Namun, bapak akan membuat hari pertama sekolah kami bersemangat pada setiap tahun. Karena pasti ada kotak pensil baru lengkap dengan isiannya. Sepatu sekolah dan tas baru yang selalu dipastikan awet dan tahan banting anti badai petir selama setahun penuh. Tidak mungkin bagi kami membelinya kembali di tahun yang sama, karena semua sudah terukur dengan baik oleh Bapak. Jangan harap semua itu akan terlihat lucu dengan model feminim.

Wajah Bapak akan berbinar ketika angka sembilan muncul di rapor kami, Bapak akan tersenyum dan menatap dalam. Kami pun ikut berbinar, karena perolehan angka berbanding lurus dengan jumlah uang yang akan kami terima. Begitulah cara Bapak menghargai kerja keras dan memotivasi, juga rasa terima kasih Bapak kepada karena penatnya terobati.

Tiap tahun kami akan liburan di lapangan pacuan kuda. Bapak sangat bersemangat dan gembira jika hari itu tiba karena ini adalah hobi satu-satunya. Apa ada yang nonton pacuan kuda dengan Bapaknya sampai usia SMA? Aku orangnya. Pakaian baru pun juga akan kami dapat hanya ketika lebaran. Bapak akan ajak serta kami berkeliling toko, tapi selalu belanja di tempat yang sama seperti tahun sebelumnya, bahkan toko dan pemiliknya sampai sekarang masih ada. Bapak selalu menawar di angka yang tepat, dengan caranya yang sangat khas. Sampai kami pun hapal cara bapak belanja.

Bapak telah bekerja keras tanpa jeda untuk kami semua. Seringkali kulihat kuku kaki dan tangannya menghitam, bekas pukulan palu yang salah sasaran. Kulit kasar, legam, dan kering bermandi matahari, menjadi saksi apa yang kami santap dari hari ke hari. Ada peluh dan darah dalam tiap suapan. Ada sakit yang tidak pernah Bapak ceritakan dalam setiap halaman buku. Ada letih tak terperi di balik seragam dan sepatu baru kami. Ada tangis yang sengaja bapak telan, demi kelangsungan hidup dan masa depan. Bahkan mungkin Bapak sudah mengubur sendiri semua keinginannya demi kami. Karena Bapak akan lebih kecewa jika kami tidak tumbuh dengan sebagaimana mestinya dan Bapak buat kami setara dengan anak lainnya.

Kini aku anak sulungnya, hanya bisa menggambarkan Bapak tanpa bisa menghadirkannya. Aku yang pernah menjadi saksi bagaimana getirnya hidup sanggup kami jalani karena Bapak, dan Bapak pun kuat karena memiliki kami. Namun sayang, takdir tidak pernah bisa kita tebak akan membawa hidup kita ke mana, karena kini kami sudah tidak bersama. Seharusnya Bapak menjabat tangan suamiku di hadapan penghulu saat itu. Seharusnya Bapak hadir saat kami membangun rumah tangga, saat sulitnya menyatukan dua kepala. Seharusnya Bapak tiba saat kelahiran anak-anakku, dan ikut dalam pertumbuhan mereka. Tapi Bapak tidak ada, karena kami sudah tidak memilikinya.

Seandainya kami punya kesempatan mengganti baju Koko yang usang, membawakan Bapak sarung baru dengan kemasan kotak untuk Jumatan. Seandainya jam tangan dan dompet lusuh Bapak bisa kami ganti dengan yang lebih baik. Akan kubawakan semangkok bakso dengan porsi penuh, menyantap martabak Mesir Haji Wan langsung di gerobaknya, yang biasanya hanya bisa Bapak pandangi dari seberang toko buku, karena kotak pensil baru kami jauh lebih menjanjikan kebahagiaan bagi Bapak. Seandainya Bapak punya waktu yang panjang sehingga senja dan rentamu adalah milikku, tentu rindu tak akan sepedih ini.

Allahummaghfirlii waliwaalidayya warham humma kamaa rabbayaa nii shaghiiraa ….”

Wahai Tuhanku, ampunilah aku dan kedua orang tuaku (ibu dan bapakku), sayangilah mereka seperti mereka menyayangiku diwaktu kecil. (*)

Editor: Muhammad Subhan

Untuk keterbacaan teks dan tampilan website majalahelipsis.com yang lebih baik, sila unduh aplikasi majalah elipsis di Google Play atau APP Store, tanpa memerlukan login. Kirim naskah ke majalah digital elipsis (ISSN 2797-2135) via email: majalahelipsis@gmail.com. Dapatkan bundel digital majalah elipsis (format PDF 100 halaman) dengan menghubungi redaksi di nomor WhatsApp 0856-3029-582. Ikuti laman media sosial Majalah Elipsis (Facebook) atau @majalahelipsis.

Subscribe To Our Newsletter

Get updates and learn from the best

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Download versi aplikasi untuk kenyamanan membaca