Setiap Anak Memiliki Harapan

Share on facebook
Share on twitter
Share on linkedin
Share on whatsapp
Share on telegram

Oleh Madinatul Munawaroh

SETIAP anak tidak selalu punya kesempatan dan keberuntungan yang sama untuk mengenyam pendidikan hingga ke perguruan tinggi. Beberapa faktor menjadi penyebabnya. Salah satu faktor yang melangit adalah permasalahan ekonomi, sebab biaya kuliah di perguruan tinggi tidaklah murah dan tidak semua anak berhasil meraih beasiswa.

Berbagai alasan pun dilontarkan. Ada yang gaptek, tidak mengetahui tata cara pengurusan administrasi, aturan yang mbulet, intelektual question yang rendah, dan lain sebagainya.

Bisa lulus pada tingkat sekolah menengah atas sudah sangat luar biasa, padahal sudah bukan zamannya Siti Nurbaya. Sebab, pada realitanya, di desa banyak lulusan yang lebih memilih bekerja, ada pula yang lebih memilih tutup buku buka terop, dan sedikit yang melanjutkan ke perguruan tinggi.

Hal ini seperti sesuatu yang biasa saja, padahal sesungguhnya saat itu kebahagiaan anak sedang dipertaruhkan.

Menurut Syatra dalam bukunya Desain Relasi Efektif Guru dan Murid, tugas guru adalah 1) Tugas dalam bidang profesi, artinya suatu jabatan atau pekerjaan yang memerlukan keahlian khusus. Contoh: mendidik, melatih, dan mengajar untuk mentransfer ilmu pengetahuan, mengembangkan nilai-nilai hidup, serta mengembangkan keterampilan anak didik. 2) Tugas dalam bidang kemanusiaan, artinya guru mencerminkan dirinya kepada anak didik sebagai orang tua kedua. Dengan demikian, anak didik tergugah mendapatkan perhatian yang terarah dan bergairah untuk belajar secara tekun, dan 3) Tugas dalam bidang kemasyarakatan. Artinya, guru hendaknya mampu menjadikan masyarakat yang berilmu pengetahuan, menuju pembentukan manusia seutuhnya.

Sebagai guru yang mempunyai tugas menjadi orang tua kedua, maka guru tidak hanya membelajarkan saja, namun juga memikirkan masa depan anak didiknya. Salah satu hal yang bisa dilakukan misalkan:

Pertama, jika anak melanjutkan pada pendidikan tinggi guru turut membantu keperluan siswa, memberikan masukan sesuai bidang siswa, memberikan wejangan bagaimana bersikap saat berada di perguruan tinggi, sebab suasananya akan sangat berbeda dengan masa madrasah sehingga mental sudah siap saat paham-paham liberal mengitarinya.

Kedua, jika anak lebih memilih bekerja, maka tugas guru adalah pada bidang profesi yakni memberikan program pembelajaran yang nantinya dapat menumbuhkan skill mereka. Misalkan desain grafis, menganyam, menjahit, sablon, produksi bahan pangan, dan lain sebagainya yang dapat menggali potensi anak, meskipun bukan lembaga kejuruan, hanya berlatar madrasah yang notabenenya pendidikan agama dan pembelajaran umum. Sehingga nantinya tidak ada kesan masyarakat bahwasannya lulusan dari sekolah X anaknya tidak dapat bekerja sebab tidak mempunyai potensi atau lulusan dari sekolah X siswanya cenderung menjadi pengangguran.

Ketiga, jika anak lebih memilih untuk menikah, tugas guru bisa saling tukar pendapat saat diadakannya rapat dan mencari solusi bersama, sebab hal ini bukan hal yang mudah. Bisa juga mengadakan rapat dengan wali murid. Memberi pemahaman kepada walmur. Pada masalah ini seakan-akan bukan tanggung jawab guru lagi, sebab anak sudah lulus dan menjadi tanggung jawab orang tua di rumah. Menurut hemat penulis guru perlu memberi edukasi kepada anak tentang kehidupan pernikahan, utamanya kepada siswa laki-laki. Sebab bayangan sang anak didik adalah bahagia dan bersenang-senang.

Madinatul Munawaroh, S.Pd.I.

Awamnya pengetahuan tentang pernikahan dan minimnya kontrol emosi menjadi penyebab pertengkaran dan pemicu keretakan rumah tangga di kemudian hari. Hasilnya anak hanya akan bahagia pada bayangan mereka saja. Siswa yang baru lulus sifatnya masih labil dan kurang bisa mengontrol emosi juga mengalami pubertas pertamanya. Hal ini hanya akan menambah tingkat perceraian di Indonesia.

Kemudian muncul pertanyaan, salah siapa ini? Salah anaknya sendiri atau salah orang tua yang terburu-buru menikahkan anaknya? Dalam hal ini anak tidak sepenuhnya patut disalahkan, sebab anak memang seharusnya mempunyai pengetahuan luas tentang apa itu pernikahan.

Selain orang tua di rumah, yang bertanggung jawab memberinya pemahaman dan pengetahuan adalah orang tua keduanya, yakni guru.

Guru yang tidak mau tahu atau tidak mau memikirkan masa kebahagiaan anak didik selanjutnya, tidak terlalu berlebihan jika dikatakan bahwa guru tersebut telah memerkosa kebahagiaan anak didiknya. Guru menjadi salah satu penyebab pertengkaran dalam rumah tangga mereka jika sudah menikah. Guru menjadi penyebab kebingungan mereka saat tidak menemukan pekerjaan.

Selanjutnya guru juga membuka pintu lebar-lebar untuk menjadi tempat curhat bagi anak didik meskipun sudah lulus, sehingga tali silaturahim antara guru dan murid tidak putus. Dalam hadis Nabi s.a.w. disebutkan: Dari Jubair bin Muth‘im ra ia berkata, Rasulullah SAW bersabda: Tidak akan masuk surga orang yang memutus silaturahim. (Muttafaqun alaih)

Hadis tersebut menyatakan bahwa orang yang selalu menyambung silaturahim akan mendapatkan balasan surga. Jadi guru dan murid selamanya tidak pernah ada yang namanya kata putus. Seperti halnya anak dengan orang tuanya.

Madinatul Munawaroh, S.Pd.I. Lahir di Lumajang, 3 Juli 1992. Selain menjadi petani, juga berprofesi sebagai guru di MA Roudlotul Jadid Banyuputih Lor. Penulis tinggal di Kabupaten Lumajang, Jawa Timur.

Penulis: Madinatul Munawaroh
Editor: Fataty Maulidiyah
Sumber ilustrasi: Pixabay

Untuk keterbacaan teks dan tampilan yang lebih baik, sila unduh aplikasi majalah elipsis di Play Store, tanpa memerlukan login. Kirim naskah ke majalah digital elipsis (ISSN 2797-2135) via email: majalahelipsis@gmail.com. Dapatkan bundel digital majalah elipsis (format PDF 100 halaman) dengan menghubungi redaksi di nomor WhatsApp 0856-3029-582. Ikuti laman media sosial Majalah Elipsis (Facebook) atau @majalahelipsis (Instagram).

Subscribe To Our Newsletter

Get updates and learn from the best

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Download versi aplikasi untuk kenyamanan membaca