Oleh Fatatik Maulidiyah
Layar kaca kita sepi dari tayangan lagu anak-anak. Sementara di media sosial anak-anak menyanyikan lagu orang dewasa. Mereka menjadi dewasa sebelum waktunya.
Kapan terakhir kali kita mendengar lagu anak-anak di layar kaca dan di tengah ingar-bingar jagat musik Indonesia yang saat ini sedang ranum-ranumnya? Baik oleh pemusik yang jaya pada dekade lalu seperti Dewa-19, Sheila on Seven, Noah, atau recycle lagu-lagu yang popular pada zamannya? Masih ingatkah kita penyanyi cilik yang dulu meramaikan acara-acara di televisi pada awal 1990—2000-an? Menyebut beberapa nama, Tasya Kamila, Trio Kwek-kwek, Meisya, Eno Lerian, Bondan Prakoso, Cindy Cenora, Tina Toon, Agnes Monica, Joshua, dan lainnya.
Juga masa-masa tahun 1980-an seperti lagu-lagu yang dinyanyikan Adi Bing Slamet, Cicha Koeswoyo, Puput Novel, dan lain sebagainya. Mengingat lagu-lagu Ibu Sud dan karya AT Mahmud yang menemani masa kecil kita, yang masih pula kita senandungkan untuk anak-anak kita, tidakkah kita merasakan saat ini lagu-lagu dan penyanyi cilik yang menyenandungkannya semakin tak terdengar suaranya?
Justru lagu-lagu luar semacam “Baby Shark” atau Lagu anak ala Barat yang lebih sering dinyanyikan ibu-ibu masa kini, seperti “Twinkle-twinkle Little Star” dan sejenisnya? Padahal kita pernah memiliki komposer lagu-lagu anak yang melegenda dan kontennya sangat sesuai dengan anak-anak Indonesia, seperti “Libur ‘Tlah Tiba”, “Pelangi-pelangi”, “Kemarin Paman Datang”, “Ambilkan Bulan Bu”, dan lain sebagainya.
Sebenarnya, di awal tahun 2000-an kita sempat ditemani lagu-lagu soundtrack film anak-anak “Petualangan Sherina”. Akan tetapi rasanya sampai saat ini gaung lagu anak-anak tetap saja masih nyaris tak terdengar.
Hadirnya artis-artis cilik anak-anak para selebgram dan sultan negeri ini seperti Rafathar, Gempi, Arsy, Amora Lemos, Kiano yang juga ditemani Yoga yang hits dengan lagu “Ojo Dibandingke”, Mazaya, Lala Shabira, masih belum mengakomodasi krisis lagu anak-anak saat ini. Terbukti, anak-anak sekarang lebih fasih menyenandungkan lagu-lagu Mahalini, Tiara Andini, dan lain sebagainya.
Media Pembelajaran
Dalam sudut pandang ilmiah, musik memiliki manfaat sebagai media komunikasi, pembelajaran, juga memiliki fungsi pembentuk karakter anak. Sayangnya, menempatkan musik dalam konteks edukasi dan pembentukan karakter belum menjadi misi utama pelaku industri musik di Indonesia, khususnya untuk anak. Anak-anak yang menyanyikan lagu dewasa karena ia tidak memiliki pilihan. Lagu-lagu yang sesuai dengan usia mereka tenggelam oleh popularitas lagu dewasa yang memang secara materi lebih menguntungkan. Bukan karena anak-anak berselera dengan lagu tersebut, tetapi karena mereka tidak memiliki pilihan.
Saridja atau yang kita kenal dengan panggilan Ibu Sud merupakan pelopor pertama penulis lagu anak di Indonesia. Beliau tergerak menulis lagu anak karena melihat fakta kondisi anak-anak pada masa penjajahan terlihat tidak gembira. Kemudian, setelah Ibu Sud adalah pasangan Pak Kasur dan Ibu Kasur telah mendedikasikan karya-karya besarnya untuk seluruh anak di Indonesia, termasuk Abdullah Totong Mahmud alias AT. Mahmud. Tidak kurang 500 lagu anak Indonesia telah beliau ciptakan yang terinspirasi oleh langkah Ibu Sud. Selanjutnya hadir Papa T. Bob yang popular dengan lagu “Abang Tukang Bakso”, “Cit-Cit Cuit”, dan “Semut-semut Kecil” yang dipopulerkan Melisa, Joshua, dan lain sebagainya.
Adapun beberapa faktor yang menjadi sebab terjadinya krisis lagu-lagu anak di Indonesia, di antaranya, Pertama, hilangnya keberadaan lagu anak di Indonesia selama dua dekade . Hal ini dapat kita lihat bahwa grafik perjalanan musik anak di Indonesia tidak stabil. Moncer di tahun-tahun tertentu kemudian hilang tanpa generasi penerus. Musik dewasa bertema percintaan justru mendominasi.
Kedua, ketidaksesuaian selera musik yang dimiliki anak. Sebenarnya, anak-anak kita sesuai fitrahnya memiliki selera musik yang sesuai dengan usianya, dunia yang dialaminya, pengalaman-pengalaman yang terjadi padanya, hanya saja menyanyikan lagu dewasa karena mereka tidak memiliki pilihan. Itu karena seringnya mereka mendengar lagu dewasa yang lebih populer.
Ketiga, menjadikan musik sebagai media hiburan saja. Tidak mudah memang menjadi sosok seniman idealis seperti AT. Mahmud atau Ibu Sud yang memang memiliki visi dan dedikasi untuk menggembirakan sekaligus mendidik anak-anak Indonesia.
Untuk mengatasi krisis lagu anak-anak di Indonesia ini tentu yang memiliki tanggung jawab moral adalah kita bersama, terutama para komposer, pelaku bisnis hiburan, media, massa, juga pendidik, sebelum anak-anak Indonesia mengalami degradasi karena pengaruh lagu-lagu dewasa yang kerap dinyanyikan. Langkah lainnya adalah menyanyikan lagi lagu-lagu anak di masa-masa lalu yang sarat nilai-nilai pendidikan, bahasa, dan irama yang sesuai dengan karakter anak dan tentunya dengan aransemen yang sesuai dengan anak-anak milenial. (*)
Penulis: Fatatik Maulidiyah
Editor: Muhammad Subhan
Untuk keterbacaan teks dan tampilan website majalahelipsis.com yang lebih baik, sila unduh aplikasi majalah elipsis di Play Store, tanpa memerlukan login. Kirim naskah ke majalah digital elipsis (ISSN 2797-2135) via email: majalahelipsis@gmail.com. Dapatkan bundel digital majalah elipsis (format PDF 100 halaman) dengan menghubungi redaksi di nomor WhatsApp 0856-3029-582. Ikuti laman media sosial Majalah Elipsis (Facebook) atau @majalahelipsis (Instagram).