Oleh Fatihaturraudhah Ahmad
SUARA melengking dari mulut perempuan yang biasa disebut “Umi Pembina Asrama” itu membuat tanganku ingin menutup telinga secepat mungkin. Bagaimana tidak? Umi membangunkan kami pada pukul setengah empat pagi. Mungkin, ini memang sudah menjadi kebiasaan di sekolah yang memiliki sistem asrama. Namun, bagiku, ini adalah hal yang menyebalkan.
Sebenarnya aku tidak ingin melanjutkan masa SMA-ku yang seharusnya asyik ini di pondok pesantren yang malah membuat masa ini menjadi tidak menyenangkan.
“Huffttttt!” Aku menghela nafas gusar lalu beranjak dari ranjang ternyaman menuju ke kamar mandi. Selanjutnya, yang paling aku benci di asrama ini adalah, mengantre. Di asrama, semuanya harus mengantre. Ini memang mengajarkan kami untuk bersabar, namun bagi orang seperti diriku yang memiliki kesabaran setipis tissue pastinya akan terasa sangat menyebalkan.
“Vitara Asy-Syifa!” Panggil Umi, mengabsen untuk salat Tahajud berjamaah. Aku pun mengangkat tangan menunjukkan diriku bahwa aku telah selesai berwudu. Kami pun salat Tahajud berjamaah, untungnya aku tidak pernah tertidur saat meakukan ibadah sunnah satu ini, berbeda dengan teman-temanku yang terkadang sudah tertidur saat sujud terakhir.
Rutinitas selanjutnya adalah membaca Al-Qur’an dan menghafalnya. Ini adalah yang aku suka. Dengan membaca Al-Qur’an di pagi hari membuat hatiku tenang, walaupun hatiku masih belum ikhlas untuk sekolah di pondok pesantren ini. Aku mulai menghafal Al-Qur’an sejak aku bersekolah di sini. Mungkin kalau tidak sekolah di sini aku tidak akan pernah menghafalnya. Salah satu sisi positif yang aku ambil.
Dan, sekarang, sudah menunjukkan pukul 04.30 WIB. Pasti kami akan disuruh mandi, hanya sampai pukul 05.15 WIB. Aku pun mengantre lagi dan lagi. Setelah itu, aku bersiap-siap sarapan dan langsung ke sekolah, dengan tidak semangat.
“Hei, Tara!” sapa Olif, teman sebangkuku.
“Apaan?” jawabku malas, masih ngantuk.
“Lemes banget. Kamu kenapa seperti enggak semangat gitu? Padahal kan sekarang lagi istirahat, harusnya bahagia tuh kek yang lain!” Olif menunjuk ke arah temen-temanku yang sedang tertawa terbahak-bahak.
“Aku ingin sekolah di SMA, bukan di sini! Tapi Bunda dan Ayah malah nyekolahin aku di sini. Enggak asyik banget!” ucapku kesal. Olif malah tertawa.
“Pondok itu asyik tau, Tara! Mungkin kamu ngerasa enggak asyik karena hati kamu belum ikhlas, bener kan?” Aku mengangguk.
“Sekarang aja aku udah otw 4 tahun mondok. Aku asyikin aja kok. Buktinya temen aku yang nyambungnya di sekolah luar malah pengen masuk pondok lagi.”
Aku ber-oh ria, dan bertanya, “Iyakah? Kok mereka pengen mondok lagi?”
Olif menjawab, “Karena di luar sana, pergaulan zaman sekarang itu bebas banget. Belum tentu kita pandai menjaga diri kita, sekarang aja udah banyak kasus menikah di bawah umur, kan? Mana tau kita jadi korban atau pelaku kasus yang lagi viral kayak gitu.”
Aku terdiam mencerna perkataan Olif.
“Coba deh pikirin lagi ke depan bagaimana, kalau misalnya kamu enggak mondok. Kamu enggak akan ngapal Al-Qur’an kayak sekarang, kan? Kamu enggak bakal tau bahasa Arab kamar mandi itu hammam kan? Kamu juga enggak bakal sesabar sekarang karena keseringan ngantre? Dan yang terpenting emang kamu enggak pernah mikir kalau kamu di SMA luar sana, apa yang bakal terjadi sama kamu? Aku yakin sih kamu bakal pacaran, haha!”
Aku tersenyum. “Mungkin lebih dari itu!” Olif tertawa lagi.
“Nah, kamu harusnya seneng sekolah di sini, lagian kamu baru setahun kok, coba dulu sampai dua tahun, kalau masih enggak nyaman ntar sampai tiga tahun, ya udah setelah itu kamu boleh pindah sekolah.”
“Lah, kan kita mondoknya cuma tiga tahun, kalau pindahnya 3 tahun lagi, tamat dong!”
“Iya kaya gitu. Mama aku sering bilang gitu ke aku, haha!” jawab Olif.
“Sekarang, coba deh kamu enggak usah sering-sering mikirin orang-orang yang sekolah di SMA luar sana. Coba ubah niat kamu sekolah di sini, dibawa santai aja kaya aku. Bentar lagi juga kita tamat. Iya kan?”
“Kalau dipikir-pikir, iya juga, ya. Aku keseringan bandingin sekolah kita sama sekolah di luar sana. Mungkin itu sebabnya aku kayak gini. Tapi kalau dilihat lagi sekolah kita juga enggak terlalu menyebalkan,” jawabku sadar.
“Emang bener! Aku aja suka banget sekolah di sini, harusnya kita bersyukur, kan? Soalnya insyaallah kita akan terlindungi dari pergaulan bebas di luar sana.”
“Ya udah deh, kayaknya aku harus mengubah mindset aku tentang pondok pesantren yang menyebalkan menjadi pondok pesantren yang menyenangkan. Makasih ya, Olif! Mungkin kalau enggak ada kamu yang nyadarin aku tentang ini, aku bakalan terus banding-bandingin sekolah kita sama sekolah SMA di luar sana,” ucapku senang.
“Iya sama-sama. Yuk, aku traktir ice cream biar kamu semangat lagi!”
Kami pun jajan di kantin. Dan setelah kejadian itu, aku mengubah mindset-ku dan berusaha memperbaiki niatku bersekolah di pondok pesantren ini.
Hingga pada akhirnya setelah mencoba tiga tahun bersekolah di pondok pesantren, aku menemukan banyak hal yang sangat berharga. Mulai dari belajar menjadi orang yang sabar, bertemu banyak orang baik, hingga belajar menjadi orang yang hemat, dan masih banyak lagi. Aku benar-benar bersyukur bisa bersekolah di pesantren. Terima kasih banyak kuucapkan kepada orang tuaku yang telah menyekolahkan aku di sini. (*)
Padang Panjang, 10 September 2024
Fatihatur Raudhah Ahmad
Biasa dipanggil Aura. Lahir di Bukittinggi, 27 Mei 2008. Saat ini duduk di bangku kelas XI Ibnu Sina Putri Pondok Pesantren Kauman Muhammadiyah Padang Panjang. Suka membaca karya sastra, menulis, dan mendekorasi. Berdomisili di Pasaman. Cerpen ini hasil karyanya saat mengikuti Pelatihan Menulis Kreatif bersama Muhammad Subhan di Pondok Pesantren Kauman Muhammadiyah Padang Panjang, Selasa, 10 September 2024.
Untuk keterbacaan teks dan tampilan website majalahelipsis.com yang lebih baik, sila unduh aplikasi majalah elipsis di Google Play atau APP Store, tanpa memerlukan login. Kirim naskah ke majalah digital elipsis (ISSN 2797-2135) via email: majalahelipsis@gmail.com. Dapatkan bundel digital majalah elipsis (format PDF 100 halaman) dengan menghubungi redaksi di nomor WhatsApp 0856-3029-582. Ikuti laman media sosial Majalah Elipsis (Facebook) atau @majalahelipsis.