Di Gigir Subuh, Ibu
ibu manakah
yang membiarkan senyum
kala bibir anaknya disayat-sayat
alibi?
ibu siapakah
yang tega membiarkan
anak-anaknya dijebak
kota berpeluh daki
kulihat ibu menabung ragam
saat anak-anaknya menguak malam
di gigir subuh, ibu
aku bersujud tanpa keluh
di mata ibu
kunang-kunang jadi matahari
Padang, 22 Desember 2021
Ketika Ketuban Menangis
di puncak berapi ada kepundan pelepas sendawa
bagai perempuan hamil setiap saat menahan kentut dan pelan-pelan melesatkannya
lalu ada yang bergerak ingin segera melihat langit
sepantun kepundan memuntahkan lava
ketuban pecah mengantar tangis kehidupan
bunga yang tumbuh di sepanjang jalanan
tak pernah bosan melambai kumbang atau perkutut
hingga layu ditimbun debu kehidupannya sendiri
dikibasnya angin, langit mencibir
lava panas menyelimuti desa
negeri penuh bunga yang ketubannya menantang keluasan langit
ketubanlah waktu pemecah sunyi
gunung-gunung tak sudah menjangkau ketinggian
pada kepundan yang bernapas api
burung-burung mengepak bunga saling bertangisan
Padang, Desember 2021
Karena Bulan dalam Sungai
bulan lonjong di ceruk sungai itu mengingatkanku pada tapian mandi dan gadis-gadis mencuci pakaian
saling rebutan sabun batangan, lalu
memainkan busa di sela-sela jarinya
ah, aku ingin membelai bulan itu
tapi ia memanjang di seiliran sungai
begitu tenang dan sabar sungai itu
menuntunku
sampai kutahu dan paham
tentang arus yang mengalir pasti
tentang cahaya bulan yang memantul
di sepanjang sungai kehidupan ini
bagai petuah tak pernah usang;
jangan sesekali melawan arus sungai akan mengamuk
dan meninggalkan bulan yang mengatur pasang
kini, di kota ini aku melihat bulan di jalanan yang menjelma sungai
sungai yang resah menghanyutkan merkuri dan aneka kutukan
bagai gadis-gadis kehilangan gincu
tanpa bulan di wajahnya.
Padang, 2021
Sungguh Hanya Kau
sungguh hanya kau yang terus menerus menggelegak
dan mengalir di antara tulang dan dagingku
mendenyut di setiap langkah darah pun membeku
menghitung detak hati lalu terbata-bata
napasku semakin mendesak
menghilir menghitung usiaku yang bergeming
tak hanyut begitu saja
kapan degap degup ini kau hentikan?
kata-kata semakin rimbun menyemak
sungguh hanya kau yang nampak membayang
menyusuri padang ilalang tengah hari yang terik
paha belalang yang panjang menjanjikan loncatan
yang jauh sambil melentik-lentik
tapi angin menyuburkan silet
menggoyang-goyang daun ilalang yang panjang
menyayat bak sembilu mengundang keperihan abadi
sungguh hanya Kau!
Padang, Juli 2015
Syarifuddin Arifin, lahir di Jakarta, 1 Juni. Peraih Anugerah Utama Puisi Dunia 2014 dari Numera Malaysia. Redaktur senior tabloid/portal EDITOR Padang ini sering diundang pada pertemuan sastra-budaya ke beberapa kota di Indonesia, Malaysia, Thailand, dan Singapura; baik sebagai pemateri maupun peserta. Sejak 2016—sekarang didapuk sebagai President Ziarah Kesenian Nusantara (ZKN) Indonesia. Beberapa karyanya telah diterjemahkan ke bahasa Perancis, Rusia, Bolivia, dan Inggris. Sajak-sajaknya dimuat di media cetak lokal dan nasional.
Sumber: Majalah digital elipsis edisi 009, Februari—Maret 2022