Sahabat Tua di Hulu Mata Air

Share on facebook
Share on twitter
Share on linkedin
Share on whatsapp
Share on telegram

Oleh Salman Yoga S.

BAWA apa saja yang dapat dibawa.

Pedang, pisau, panci, belanga, periuk atau apa pun itu. Jangan lupa pang-pang yang punya mantera uris dan kebal berada di barisan paling depan, yang lain ikut di belakangku dan tunggu perintah,” jelasnya entah kepada siapa.

Aba-aba dari lelaki tegap itu menggelegar, membangkitkan semangat puluhan tentara tak berseragam. Tubuhnya kekar dengan otot-otot tangan yang membiru. Sementara sekumpulan makhluk mirip seperti manusia yang diperintah itu terlihat bergegas membenahi barang bawaan dan perlengkapan. Seketika anjing-anjing pun menggonggong seperti menyaksikan sesuatu berkelebat di antara kegelapan dari dedaunan pepohonan belantara. Kabut mulai menguap beranjak ke udara seiring asap tungku ditiup angin. Hari masih gelap, udara dingin menyapu setiap pori-pori. Usai salat Subuh yang khusyuk, perapian dipadamkan dengan semburan air dari ruas-ruas bambu.

“Ingat, jangan ada jejak yang tertinggal,” kata lelaki itu lagi sambil berdiri membetulkan kain sarungnya yang diselempangkan ke bahu. Matanya awas menghitung satu demi satu para pengikut setianya. Tak jarang ia juga memantikkan kata-kata yang berbau mantra dalam kunyahan sirih di mulutnya yang memerah. Sesekali ia semburkan ke hampir setiap sudut bekas tempat mereka tidur semalaman.

Sebuah camp yang terbuat dari tumbuhan hutan, mirip sebuah gubuk yang berkamuflase dengan alam sekitar. Atapnya dipenuhi dengan jalinan dedaunan liar, sementara tiang-tiangnya adalah potongan cabang dan ranting kayu yang diikat dengan belahan rotan. Ada lima camp yang dibuat berjajar mengapit sebuah camp yang terlihat lebih tinggi dan luas. Tetapi hanya satu camp saja yang dihuni, selebihnya dibiarkan tak terisi karena sebagian besar dari pengikutnya tidur di antara perdu-perdu kayu.

Dari atas anak tangga camp besar lelaki tegap itu memandang ke sekitar sambil mengawasi sekelilingnya. Ada kecemasan sekaligus tanggung jawab besar yang ia emban, sebuah kondisi yang sama sekali tidak pernah diinginkan oleh setiap anak negeri. Jika bisa memilih, sesungguhnya lelaki tegap itu lebih nyaman berada di rumah bersama ayah ibu dan kelima adik-adiknya yang mulai tumbuh remaja. Mengolah tanah dan menanaminya dengan sayur-mayur hijau, atau berlumur lumpur di sawah menanam padi untuk kelangsungan hidupnya sekeluarga. Malam bercengkerama di sisi perapian dengan gelak canda bocah-bocah lucu melafal ejaan alif di atas baris a, ba di bawah baris bi, ta baris depan tu, abitu atau berselawat kepada Nabi Muhammad dengan nada didong. Ketika sudah larut malam, mendekap selimut seperti seorang kekasih yang dendam.

Namun, sejak kabar kedatangan para penjajah yang ingin menguasai tanahnya terdengar mulai mendekat, ia tak dapat tenang lagi berada di kampung. Terlebih berita-berita yang ia terima dari sejumlah pedagang garam dari pesisir, penjajah-penjajah itu juga berencana akan melakukan penyerangan ke daerahnya. Seketika itu pula ia memanggil sahabat-sahabatnya dengan perantaraan asap yang disulut dari pembakaran daun kayu muda, mengunyah sirih sambil berucap sesuatu dan meniupkannya ke arah angin berembus.

*

DI GARDU kampung, orang-orang berkumpul seperti menunggu sesuatu.

“Betul, Bang, mata kepalaku sendiri yang melihat mereka membawa senjata. Setiap pagi mereka berbaris di tanah lapang dan berteriak één, twee, drie, een saluutschoten beweging. Bahkan barang-barang dagangan kami selalu diperiksa. Jika ada yang membawa pedang atau senjata lainnya. Ada yang ditangkap,” kata Brahim suatu sore di teras meunasah kampung. Ini tentu bukan cerita pertama yang didengar oleh lelaki tegap itu. Beberapa hari sebelumnya si Amat juga pernah menyampaikan kesedihannya karena sebagian dari hasil panen padinya harus diserahkan kepada penjajah itu. Katanya sebagai pajak.

Hey elke keer dat u ons rijstoogst belasting ja, anders kon je sterven schot,” jelas Amat terbata-bata menirukan bahasa tentara berkulit merah itu.

Yang menjadi pertanyaan bagi lelaki tegap itu adalah kenapa setiap orang yang mengetahui keberadaan dan jumlah orang-orang berkulit merah itu terus bertambah selalu diceritakan kepadanya, tak terkecuali para pedagang yang sebulan sekali datang dari pesisir. Kepala Kampung pun kerap menjadi penerima berita kedua setelahnya.

Yang lebih aneh lagi adalah ketika Yusri, salah seorang pedagang garam lainnya, datang secara khusus menemuinya hanya untuk menceritakan hal yang sama. Saat itu Yusri datang tanpa membawa barang dagangan seperti biasa yang ia lakukan sebagai mata pencaharian utamanya. Ia dikenal sebagai pedagang yang sangat pelit dan cermat menghitung laba rugi. Bahkan untuk menangguhkan pembayaran hingga musim panen tiba pun ia tidak memberi izin. Kali ini ia justru datang sendiri dan tanpa barang dagangan.

“Saya sengaja datang, khusus untuk menyampaikan berita yang sangat penting,” kata Yusri dengan napas setengah terengah ketika tiba di gardu ujung jalan kampung Arias. Keringatnya meleleh ke ujung dagunya meski matahari tak seterik musim kemarau.

“Apakah kau melihat lelaki tegap?” tanyanya kepada Bedelah, salah seorang pemuda Kampung Arias yang kerap mangkal di sana dengan lintingan tembakau nipahnya.

Tentu saja Bedelah menjawab dengan gelengan kepala. Karena ia tidak tahu siapa yang dimaksud Yusri. Sebab di Kampung Arias setidaknya ada tujuh pemuda yang dikenal mempunyai postur tubuh yang tegap-tegap, sementara yang bertanya tidak menyebut nama dan ciri lainnya.

“Ah… kau masak tidak tahu lelaki yang kumaksud. Kau orang kampung sini, kan?” tanya Yusri kembali sambil mengibaskan tangannya ke bahu Bedelah.

“Ya, tentu saja saya adalah warga kampung ini. Saya anak Aman Hakim, Gecik kampung ini. Tetapi lelaki tegap yang Pak Yusri maksudkan siapa? Siapa namanya?” Bedelah menjawab sambil melakukan gerakan yang sama dengan mengibaskan tangannya ke bahu Yusri. Keduanya terlihat sangat akrab dan sudah saling mengenal.

“O iya ya. Betul, betul!” sahut Yusri kembali dengan logat pesisirnya yang kental. Sementara Bedelah hanya tersenyum mengamati gerak mulut Yusri yang seolah-olah hendak menyebut sebuah nama.

“Siapa?” tanya Bedelah lagi dengan mendekatkan mukanya ke muka Yusri.

“Aaa begini, saya tidak tahu siapa nama pemuda itu. Tetapi badannya tegap, tinggi, dan setiap senja tiba ia suka duduk-duduk di teras meunasah itu,” jelas Yusri sambil berusaha mencari arah meunasah dan menunjuknya dengan tangan kanan.

“Pak Yusri, setiap menjelang senja di teras meunasah itu selalu ada pemuda-pemuda kampung sini yang duduk-duduk saling bertukar cerita mengawal senja. Lalu yang bapak cari pemuda yang mana?” jawab Bedelah. Ia juga mulai penasaran siapa sebenarnya pemuda yang dimaksud pedagang garam dari pesisir itu, hingga wajahnya demikian serius.

“Eee orangnya sering mengenakan kain sarung yang dililitkan di lehernya, atau menyilang di bahu.”

“Pak Yusri, Pak Yusri, pemuda di sini semuanya melakukan hal yang sama. Terutama ketika menjelang senja karena udara akan semakin dingin,” sahut Bedelah sambil setengah tertawa dengan memotong pembicaraan Yusri.

“Begini saja, Pak Yusri tunggu saja di teras meunasah itu. Menjelang Magrib nanti satu per satu pemuda kampung ini pasti akan datang ke sana. Nah, kalau orang yang Bapak maksud datang pasti akan ketemu,” jelas Bedelah sambil berlalu dan membuang lintingan daun nipahnya ke parit. Yusri membenarkan pernyataan itu dan mengangguk-angguk sambil memperhatikan arah Bedelah berlalu.

*

SEPERTI senja-senja sebelumnya udara menyapa Kampung Arias dengan gigilnya, perlahan merayapi seluruh kaki bukit dan hamparan persawahan yang mengitarinya. Kecuali lampu-lampu sumbu serta tungku perapian yang menyala menebar asap dari beberapa sudut kampung, tak ada sumber cahaya lain yang dapat menjadi suluh gelap. Kunang-kunang adalah makhluk lain yang mampu memberi tanda pada ekornya selain bulan yang diselimuti awan pada gulita malam. Bintang-bintang yang bergantung di langit hanya menjadi penunjuk musim bagi masyarakat, bahwa tak lama lagi musim penghujan akan menjelang beberapa pekan ke depan.

Seperti pada suasana yang sama pada tahun-tahun sebelumnya, di setiap hulu mata air yang ada di sepanjang bukit barisan itu akan ada tertinggal jejak-jejak yang menyerupai telapak kaki manusia.

Jejak yang mengerubungi telaga-telaga air jernih sebagai sumber penghidupan yang setia pada setiap kemarau.

Gecik Kampung Arias sangat paham jika jejak-jejak itu bukan bekas telapak kaki masyarakatnya yang bertani di sekitar. Tetapi jejak lain yang menyerupai manusia yang bersahabat dengan hutan dan dengan cinta. Ia juga tak pernah menceritakan pengalaman hidupnya bersama jejak-jejak itu kepada siapa pun, termasuk kepada istri dan anak-anaknya. Karena menurutnya pengalaman seperti ini adalah bagian yang akan dilalui oleh setiap lelaki sejati di Kampung Arias, seperti para leluhur dan pendahulunya. Justru karena itu ia membiarkan alam dan dan jejak-jejak itu yang akan menemukan diri mereka masing-masing dalam kesahajaan hutan.

Setiap pergantian musim jejak-jejak itu selalu hadir pada awal senja. Datang secara diam-diam melalui tebing dan sela-sela tetumbuhan belantara. Menyusuri aliran anak sungai dengan perlahan hingga tiba di hulu dengan penuh suka cita.

Senja itu, Gecik Kampung Arias bermaksud memeriksa aliran air dari sumber mata air yang mengairi persawahan penduduk. Melangkah pasti di antara pematang yang ditumbuhi padi yang mulai berbunga. Meski telah berusia lanjut dengan seluruh jenggot yang telah memutih, mata dan telinganya masih sangat awas menangkap segala kehidupan flora dan fauna di sekitarnya. Tak ada yang perlu ditakuti, karena semua yang hidup mempunyai pencipta yang sama. Tak ada yang perlu dikhawatirkan, karena segala yang mencari penghidupan membutuhkan kedamaian.

Hari mulai gelap, Gecik Kampung Arias terus melangkah memastikan aliran air akan bermuara pada petak-petak sawah yang menghidupi seluruh masyarakat dan keluarganya. Tiba di kaki gunung tempat mata air memuncrat dari perut bumi, ia duduk di sebuah batu besar yang menyerupai bentangan tikar pandan. Sejenak ia terlihat terdiam sambil mengangguk-anggukkan kepala lalu turun membasuh muka mengambil air wudu untuk salat Magrib. Setelah itu ia kembali ke tempat semula menunaikan kewajibannya kepada Sang Khalik.

Beberapa bayangan berkelebat menghampir, magrib kali ini Gecik Kampung Arias tampaknya akan salat berjamaah di telaga mata air itu.

Benar saja, Gecik Kampung Arias melafal sani salat magribnya dengan jihar. Mulai dari iqamah, takbiratul ihram hingga bacaan Al-Faatihah-nya terdengar hingga beberapa meter dari hamparan batu itu. Namun, tiba pada lafal waladdaalliiin justru yang mengamininya adalah dirinya sendiri. Sesaat kemudian ketika rukuk membias sejumlah bayangan juga ikut rukuk dan bersujud. Demikian bayangan itu bersama Gecik Kampung Arias terlihat bersaf hingga pada tahyat akhir.

Ia menyadari sepenuhnya, bahwa pada setiap pergantian musim hulu mata air itu akan dikunjungi oleh musafir-musafir. Termasuk dirinya yang berjalan lima belas kilo meter dari tempat tinggalnya yang berada di tengah kampung. Dan para musafir itu adalah pemilik-pemilik jejak yang selama ini kerap hadir menjelang malam di sumber mata air.

Tahyat akhir Gecik Kampung Arias melafalkan salam ke arah kanan dan ke kiri. Sementara di belakangnya membias beberapa bayangan juga melakukan hal yang sama. Demikian juga ketika Gecik Kampung Arias itu menengadahkan tangan ke udara untuk berdoa, memohon kepada Yang Maha Mendengar dan Yang Maha Penerima doa untuk mengijabah setiap permohonannya.

Namun tanpa disadarinya sejumlah bayangan tangan-tangan mungil lainnya juga menengadah layaknya makmum salat yang mengikuti setiap gerak imam sebagai pemimpin salat. Tetapi tak terdengar kata-kata “amin” dari mulut-mulut pemilik bayangan itu ketika Gecik Kampung Arias itu melafalkan doa-doa dengan khusyuknya.

Jamaah yang berada di belakang seperti gagu dan bisu, hanya mengangguk-anggukkan kepala saja ketika bacaan doa Gecik Kampung Arias berhenti pada setiap akhir ayat. Sesekali hanya terdengar gesekan dedaunan jatuh menimpa permukaan air. Kecipak katak berenang atau kepakan sayap kelelawar menyambar nyamuk malam. Hening.

Udara di sekitar mata air itu berembus sayup. Tidak seperti pada hari-hari sebelumnya. Biasanya angin berembus dan mengendap di sekitar kubangan dan aliran air yang mengarah ke perkampungan, lembab dan mengandung kabut yang menutupi permukaan tetumbuhan yang menyesaki sekitar mata air jernih itu. Dengan kondisi demikian jarak pandang setiap mata akan sangat terbatas, terlebih ketika menjelang malam.

Tetapi tidak bagi Gecik Kampung Arias serta sejumlah makhluk yang menjadi makmumnya pada magrib kali ini. Suasana demikian terang dan cerah. Meski itu hanya melingkupi beberapa meter saja di lokasi dibmana ia menunaikan salat Magribnya bersama sejumlah bayang-bayang jamaah lainnya. Dengan perlahan dan penuh kegembiraan ia menoleh dan membalikkan badannya ke arah belakang, menghadap ke sejumlah makmumnya seolah ingin menyapa mereka satu per satu. Tangannya terlihat menyalami beberapa tangan yang menjulurkan diri ke arahnya sambil tersenyum memperhatikan setiap mata yang memandanginya dengan penuh persahabatan.

Peristiwa seperti ini memang bukan yang pertama bagi Gecik Kampung Arias. ketika keadaan negeri mulai terancam, atau ketika akan ada tanda terjadinya bencana besar menimpa, atau hal lain yang dapat merusak kehidupan manusia dan alam sekitar ia selalu datang ke tempat di mana sumber mata air itu berada. Ia selalu datang sendiri, ia tidak mau diantar atau ditemani oleh siapa pun, termasuk oleh anaknya sendiri. Konon bila ia datang dengan ditemani oleh orang lain, makhluk-makhluk itu tidak akan bersedia bertemu bahkan tidak akan menampakkan diri walau sehidung. Terlebih makhluk-mahkluk itu konon dapat mengenali dan mengetahui niat seseorang ketika melangkahkan kaki mereka ke tengah hutan.

Dua hari sebelumnya ia telah menerima pesan agar datang ke sumber mata air tempat mereka biasa bertemu. Pesan itu ia terima pada dini hari lewat jendela ketika hujan lebat tengah mengguyur. Seluruh masyarakat telah lelap dengan penatnya seharian bekerja. Sehingga kedatangan sang pembawa pesan tak diketahui oleh siapa pun, tidak ada anjing yang menggonggong, jalanan lengang dan bulan muncul di antara derai hujan. Ketukan halus dari arah luar jendela terdengar memanggil namanya. Suara itu sangat khas hanya Gecik Kampung Arias saja yang tau siapa gerangan.

Hal yang sama kerap terjadi ketika ayah Gecik Kampung Arias masih hidup dan menjadi pucuk pimpinan dan panutan. Saat itu ia tidak terlalu mempedulikannya, karena ayahnya memang dikenal sebagai petua adat yang mempunyai kelebihan supranatural serta berpengetahuan luas. Amanah sang ayah ketika menjelang ajal menjemput adalah agar ia dapat melanjutkan silaturahminya dengan “sahabat tua”.

Siapa sahabat tua itu? Ia tak bertanya, karena malaikat maut telah lebih dulu mengangkat roh ayahnya. Menjelang tujuh hari sang ayah di alam kubur, ia bertemu dengan tiga makhluk pendek yang mirip dengan manusia di tikungan jalan menuju meunasah. Awalnya ia mengira mereka adalah anak-anak yang baru pulang dari meunasah tempat mereka mengaji.

Tetapi tiga sosok makhluk aneh yang mendekati Gecik Kampung Arias di tikungan jalan itu bukanlah anak-anak yang baru pulang mengaji. Tidak ada tentengan kitab suci Al-Qur’an atau Juz Amma di tangan kanan mereka atau peci hitam miring yang menempel di kepala, tidak juga menggunakan obor sebagai penerang jalan. Tiga sosok itu sungguh sangat berbeda, dan belum pernah dilihatnya.

Bulu kuduknya sempat merinding, kaki dan badannya kaku. Matanya tak berkedip sama sekali menyaksikan tiga sosok makhluk asing itu berdiri persis di depannya. Gecik Kampung Arias sempat terkencing dalam pakaiannya ketika sosok yang ada di hadapannya itu mulai berucap sesuatu. Dengus napasnya tak beraturan dan seolah tak terhirup, meski angin mendesir kencang mengibaskan lipatan syal kain sarung yang melingkari lehernya.

“Puger, kami datang,” kata salah satu dari makhluk setinggi pinggang Gecik Kampung Arias itu menyapa.

Gemetar. Ia tak mampu menggerakkan kakinya untuk menghindar apalagi menjauh. Ketakutan dan keheranannya semakin bertambah menyaksikan makhluk yang tidak berpakaian layaknya manusia itu melangkah mendekatinya. Seluruh tubuh makhluk itu ditumbuhi bulu, seperti akar pohon beringin tua yang bergantung dari atas hingga ke bawah menutupi seluruh batangnya. Bagian leher dan raut mukanya saja sedikit lapang dari bulu-bulu halus dan menampakkan warna kulit sawo matang, selebihnya adalah rambut dan bulu-bulu halus hingga ke mata kaki.

Mata salah satu dari sosok itu berbinar menatap Gecik Kampung Arias yang berdiri mematung, ada semacam kegembiraan, seperti sahabat lama yang sudah puluhan tahun tidak pernah bertemu. Postur tubuhnya seperti anak usia belasan tahun, tetapi raut wajahnya seperti lelaki dewasa. Terlihat dari rambut dan bulu-bulu yang menutupi seluruh tubuhnya berwarna cokelat keperak-perakkan dibias cahaya bulan.

Gecik Kampung Arias, lelaki tegap dengan otot dan badan kekar, meski ia sebagai kepala kampung yang disegani, putra dari almarhum Peski Gecik Tue Arias yang sangat dihormati, kali ini ia tanpak bukan seperti kepala kampung yang punya kharisma sebagai pemimpin sejati. Dengan lutut yang terus bergetar karena ketakutan ia lebih mirip sebagai buronan terpidana atas kasus pembunuhan yang tidak pernah ia lakukan. Ketakutannya seperti kerbau yang terikat di bawah rerimbunan perdu bambu yang disambar petir, pucat kehitam-hitaman dengan degub jantung yang nyaris berhenti.

Meski demikian, ia sempat bertanya dan berpikir jauh ke belakang. Ke masa di mana ayahnya pernah mengamanahkan sesuatu yang hingga hari ini belum selesai ia pahami. Satu amanah yang sebelumnya dianggap tidak begitu penting dibanding dengan amanah yang mengharuskan ia merawat ibunya yang sudah sakit-sakitan, atau mengasuh kedua orang adik-adiknya yang masih kecil. Belum lagi tanggung jawabnya lainnya yang cukup berat dalam usianya yang masih berusia 16 tahun.

Ia pun tidak pernah bertanya kepada sang ibu atau para petua kampung lainnya tentang makna “sahabat tua” yang dimaksud almarhum ayahnya. Kalimat itu demikian berat baginya selama dua puluh tahunan lebih, hingga ibunya meninggal dunia dan kedua adik-adiknya menikah.

Ketiga makhluk kerdil yang berada di hadapan Gecik Kampung Arias itu juga terlihat diam dan tak melakukan gerakan apa pun. Ketiganya seolah sama herannya dengan Gecik Kampung Arias, sama-sama berdiri kaku dengan pikiran masing-masing. Sementara dalam ketakutan dan gemetarnya ia terus berpikir dengan keras, mengingat-ingat amanah ayahnya dua puluh tahun silam di rumah panggung beratap rumbia.

Saat itu sang ayah menggenggam tangan sang anak dengan sangat erat. Telapak tangan sang ayah terasa sangat dingin dengan keriput kulit sepanjang siku hingga bahunya yang bergelombang. Mata sang ayah membelalak sayu menatap langit-langit rumah, bibirnya yang mengeriput bergerak pelan berucap sepatah demi sepatah kata. Pada detik-detik terakhir inilah Gecik Kampung Arias mendengar ucapan yang terbata-bata.

“Kau yang paling sulung, lanjutkan apa yang telah Ayah lakukan yang kau anggap baik. Jangan pernah mengeluh dengan tanggung jawab. Satu lagi. Sahabat tua Ayah adalah juga sahabat tuamu juga.”

Kalimat amanat sang Ayah yang membuat Gecik Kampung Arias berpikir keras sepanjang tahun adalah kalimat “Sahabat tua ayah adalah juga sahabat tuamu juga”.

“Ini sungguh sebuah teka-teki yang sulit dipecahkan,” gumamnya dalam hati.

*

DI DEPAN tiga makhluk aneh yang berada di hadapan Gecik Kampung Arias ingatan atas dua kata itu muncul kembali. Ketakutan dan keheranannya terhadap makhluk asing itu berangsur memudar. Terlebih namanya disebut bukan sebagai kepala kampung Arias, tetapi sebagai lelaki dewasa putra Peski Gecik Tue Kampung Arias. Pikiran dan ingatannya kembali pada amanah sang ayah. Dua kalimat yang selama ini menjadi teka-teki baginya perlahan terjawab dengan kehadiran makhluk-makhluk aneh itu di hadapannya.

“Dari mana makhluk ini tahu namaku?” tanya Gecik Kampung Arias dalam hati.

“Bukankah nama yang disebut itu adalah nama pemberian Ayah saat aku masih kecil?” gumamnya lagi. Dan makhluk-makhluk kecil yang beruban itu telah menghafalnya berpuluh-puluh tahun untuk sebuah kesetiaan. (*)

Salman Yoga S.
Lahir dan besar di Takengon, aktif di sejumlah organisasi sosial, profesi, seni dan gerakan kebudayaan, mengeditori sejumlah buku juga bertani kopi Gayo. Buku tunggalnya yang telah terbit adalah Sajak-Sajak Rindu (1995), album Mencintai Aceh Dengan Asap Ganja (1999), Cicinpala Putih (2005), Tungku (2006), White Orchids Gayo Soil (2016), Satu Cerita 14 Bahasa (2018), Pungi den Pakan Laya (2020), Likes (2021), Belbuk (2022), Surak (2023), Klising 7 Naskah Drama (2023). Juga terangkum dalam puluhan buku yang sebahagiannya telah diterjemahkan dalam bahasa Inggris, Rusia, Arab, Jerman, Spanyol, serta 40 bahasa Nusantara. Mengajar di UIN Ar-Raniry Banda Aceh, Institut Seni Budaya Indonesia (ISBI) Aceh dan di sejumlah Perguruan tinggi lainnya. Menakhodai sejumlah komunitas seni dan budaya. Tinggal dan menetap di Kampung Asir-Asir Atas No.70 Takengon-Aceh Tengah. Email: salmanyoga@yahoo.co.id.

(Sumber: Majalah digital elipsis edisi 030/Tahun III/ November—Desember 2023)

Untuk keterbacaan teks dan tampilan website majalahelipsis.com yang lebih baik, sila unduh aplikasi majalah elipsis di Google Play atau APP Store, tanpa memerlukan login. Kirim naskah ke majalah digital elipsis (ISSN 2797-2135) via email: majalahelipsis@gmail.com. Dapatkan bundel digital majalah elipsis (format PDF 100 halaman) dengan menghubungi redaksi di nomor WhatsApp 0856-3029-582. Ikuti laman media sosial Majalah Elipsis (Facebook) atau @majalahelipsis.

Subscribe To Our Newsletter

Get updates and learn from the best

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Download versi aplikasi untuk kenyamanan membaca