Rokok sebagai Budaya “Kapalo Baso” di Nagari Sikucur Padang Pariaman

Share on facebook
Share on twitter
Share on linkedin
Share on whatsapp
Share on telegram

Oleh Atthoriq Chairul Hakim

SUMATERA BARAT (Sumbar) merupakan salah satu wilayah yang ada di Indonesia dengan mayoritasnya bersuku Minangkabau. Keberagaman adat dan budaya terdapat di Sumbar mulai dari kebudayaan yang bersifat universal menuju kebudayaan yang bersifat khusus.

Kebudayaan yang terdapat di Sumatera Barat sendiri masih kental akan nilai-nilai dan makna yang dibawakan nenek moyang dari zaman dahulu kala, meskipun terdapat pertarungan kebudayaan (akulturasi), masyarakat Sumbar bisa mempertahankan nilai-nilai dan makna yang terkandung dalam suatu kebudayaan. Namun, ada beberapa tempat di Sumatera barat ini sudah tergusur oleh modernisasi, dan menimbulkan kehilangan budaya di daerah itu.

Penulis menelusuri suatu daerah Sumbar yaitu Padang Pariaman, tepatnya Nagari Sikucur, Kecamatan V Koto Kampung Dalam. Dari sini penulis berangkat lalu menemui suatu budaya, yang mana masyarakat awam, atau pada era modernisasi ini, mengira bahwa budaya ini bersifat umum (universal). Budaya ini dinamakan Rokok sebagai Kapalo Baso.

Kenapa dinamakan rokok sebagai kapalo baso? Secara etimologi dapat dijelaskan bahwa rokok diartikan sebagai benda yang terbuat dari lintingan kertas atau nipah yang diisi dengan tembakau, digunakan dengan cara menghisapnya. Sedangkan pembagian kata dari kapalo diartikan sebagai kepala/pangkal, sedangkan baso diartikan sebagai basa-basi, sesuatu bersifat norma, tata-krama. Dapat disederhanakan bahwa rokok sebagai kapalo baso merupakan suatu aktivitas menawarkan rokok kepada sesama perokok sebagai bentuk simbol menghargai, memulai hubungan sosial, atau untuk mengundang untuk menghadiri acara-acara adat, atau simbolisasi dalam memulai musyawarah adat di Nagari Sikucur.

Rokok sebagai Kapalo Baso dipahami secara sederhana sebagai bentuk kegiatan basa-basi biasa terhadap sesama perokok. Hal ini umum terjadi di seluruh Indonesia sebagai sesama perokok, karena budaya rokok melekat erat di seluruh bagian wilayah Indonesia, seperti di Jawa penamaan rokok sebagai Udut, di Mentawai dinamakan dengan Ube. Penamaan dan pola-pola dari budaya rokok di Indonesia secara garis besar memang sama, namun dilihat secara kelokalan dari suatu daerah, bahwa budaya rokok yang terjadi di Nagari Sikucur memiliki kekhususan, serta ciri khas tersendiri.

Ciri khas dari budaya rokok di Nagari Sikucur adalah rokok sebagai kapalo baso, budaya rokok ini dapat dimaknai bahwa rokok adalah pangkal atau hal utama dalam basa-basi antara sesama lelaki perokok, hal ini menandakan bahwa setiap pendatang maupun masyarakat Sikucur dalam memulai interaksi, acara adat, dan musyawarah kaum, maka harus menawarkan rokok terlebih dahulu, hal ini sebagai simbol keeratan hubungan sosial, bentuk menghargai sesama, dan kesakralan atas adat yang berlaku.

Noval, sebagai masyarakat Sikucur mengungkapkan bahwa “Sebenarnya tidak apa-apa jika rokok tidak ditawarkan kepada sesama, atau dilakukan pada acara-acara adat, yang tampak dalam ekspresi masyarakat, namun ada konsekuensi yang akan didapat oleh orang tersebut secara tidak langsung, yaitu berupa sangsi sosial, penilaian orang bahwa dia tidak berjiwa sosial, serta kurangnya soliditas dalam masyarakat”.

Dapat dimaknai bahwa masyarakat Sikucur khususnya memandang bahwa seorang laki-laki perokok dilihat kehidupan sosialnya dari menawarkan rokok. Pandangan terhadap orang-orang yang melakukan rokok sebagai kapalo baso, dinilai sebagai suatu individu atau kolektif yang peduli sosial, konservatif terhadap sosial budaya yang berlaku di masyarakat. Kenapa budaya rokok ini menjadi pegangan kuat dalam kehidupan sosial budaya masyarakat Sikucur? Hal ini dikarenakan bahwa masyarakat Sikucur mayoritas laki-lakinya adalah perokok, sehingga pola-pola hubungan sosial yang terjadi di setiap tempat, pola-pola kebudayaan makin terintegrasi. Sehingga berpengaruh besar terhadap kesakralan adat, keharmonisan budaya di Sikucur.

Salah satu pola aktivitas masyarakat Sikucur yang diiringi dengan rokok sebagai kapalo baso adalah bersawah, yang mana merupakan matapencaharian utama masyarakat Sikucur. Budaya rokok yang terjadi pada aktivitas ini, saat masyarakat beristirahat di waktu senggang pekerjaannya, atau sepulang bekerja dan mampir ke lapau. Petani laki-laki pada umumnya di Sikucur adalah perokok, maka di waktu-waktu seperti yang dijelaskan di atas, maka mereka akan melakukan budaya rokok sebagai kapalo baso sebagai bentuk keterikatan, kerja sama, dan keselarasan mereka dalam pekerjaan, serta memperkuat hubungan sosial mereka sesama petani. Budaya rokok yang dilakukan petani di Nagari Sikucur tak semata-mata dilakukan di lokasi mereka bekerja, namun juga dilakukan di lapau, bagi mereka para petani sendiri lapau tempat yang sentral (strategis) untuk melakukan budaya rokok sebagai kapalo baso, sambil merokok-rokok, berbincang mengenai pekerjaan mereka hari itu, bagaimana situasi pertanian mereka, dan jika ada permasalahan antar sesama petani baik itu mengenai pekerjaan mereka, masalah lahan pertanian, maka jika diawali dengan membasoan rokok, maka ketegangan yang terjadi, dapat diperingan, serta diusahakan mencari jalan tengahnya.

Rokok sebagai kapalo baso jika maknai secara universal, memang suatu aktivitas menawarkan rokok kepada sesama perokok dimanapun berada (budaya universal), namun apa yang dilihat secara universal, jika ditelisik lebih jauh, maka dapat ditemukan kekhususan suatu budaya yang disebut dengan rokok sebagai kapalo baso, penulispun memetakan kekhususan budaya ini yang bertempat di Lapau, pola-pola aktivitas budaya rokok sebagai kapalo baso merupakan implementasi budaya yang terjadi di Nagari Sikucur, sebagai bentuk yang lebih fleksibel.

Lapau dan rokok merupakan dua budaya yang saling berkaitan, dengan manusia sendiri sebagai pelaku utama dalam dua bentuk budaya ini. Lapau sendiri merupakan tempat yang sentral untuk melakukan berbagai macam aktivitas, hal utama, dan awal yang dilakukan di sini adalah rokok sebagai kapalo baso, dimaksudkan merokok itu sendiri, bahwa laki-laki di lapau mayoritas perokok, maka merokok menjadi pemantik segala bentuk pola aktivitas di lapau, mulai dari mereka memulai pembicaraan bersifat ringan, hingga permasalahan berat, bahkan sambilan merokok di Lapau pun mereka melakukan musyawarah, berdiskusi, gosip, duduk santai sambil meminum kopi.

Budaya rokok yang dilakukan oleh masyarakat Sikucur yang ada di Lapau, terjadi secara terus-menerus. Maka oleh karena itu budaya rokok sebagai kapalo baso tidak akan pernah hilang pada ranah sosial dan budaya di Nagari Sikucur, khususnya laki-laki. Setiap kegiatan yang terjadi selalu ada rokok, dan ada budaya rokok sebagai Kapalo Baso.

Ada beberapa aktivitas di lapau, seperti musyawarah, atau aktivitas bakoa, maka di sini peran rokok sebagai penyatu, pengerat antar sesama. Bahkan di Sikucur pun rokok pernah digunakan sebagai alat untuk mengundang. Bagaimana maksud untuk mengundang? Jika ada informasi mengenai acara-acara adat, atau kegiatan masyarakat Sikucur yang akan diadakan maka lewat rokoklah disampaikan. Seperti yang mereka katakan “Iko Awak Mambaok Kaba aa, Isoklah Rokok ko Sabatang lu“. Maka, jika rokok sudah diisap, maka si pemberi rokok akan memberikan informasi. Baik itu undangan mengenai acara adat, aktivitas-aktivitas umum di Nagari Sikucur.

Norma-norma pun ditanamkan dalam rokok sebagai kapalo baso, seperti dalam petatah-petitih “Indah baso dek rokok, baiak budi dek siriah”. Dapat diartikan bahwa orang yang menawarkan rokok, membuat komunikasi dan suatu hubungan sosial menjadi terjalin baik, serta siriah dalam adatpun diartikan sebagai kebaikan budi seseorang atau kelompok.

Rokok sendiri menjadi sebuah simbol bagi laki-laki Nagari Sikucur, bahwa dengan berjalannya rokok sebagai kapalo baso, terjadinya keharmonisan hubungan sosial sesama masyarakat. Namun, ada beberapa petatah-petitih yang mengatur etika antar sesama perokok yang melaksanakan budaya rokok ini, “Isoklah Rokok Nan Tahidang, Labiah dari Sabatang Makolah Hanguih“. Diartikan bahwa hisaplah rokok yang dibasa-basikan, namun jika lebih dari satu, maka si penerima rokok tidak ada raso pareso (rasa menghargai). Maka perlu diperhatikan bahwa nilai yang terdapat dalam rokok bagi masyarakat Sikucur selain menjadi simbol, juga terikat oleh norma dalam melaksanakan rokok sebagai kapalo baso, bahwa pemilik rokok perlu dihargai baik itu secara kepemilikan rokok, atau latarbelakang si pemilik rokok.

Lalu, bagaimana keberadaan rokok sebagai kapalo baso sekarang di Nagari Sikucur? Menawarkan rokok adalah hal yang lumrah antar sesama perokok. Hal ini tidak hanya terjadi pada budaya Indonesia saja, namun diberbagai belahan dunia, seperti yang telah dipaparkan di atas tadi. Namun, keberadaan rokok sebagai kapalo baso dari dahulu sampai sekarang tetap eksis, demikian, karena penyesuaian kebudayaan khusus berupa adat moral. keterikatan sosial budaya, dan kekerabatan, terhadap kebiasaan umum masyarakat Sikucur sebagai perokok, bahkan secara luas diseluruh dunia. Maka, rokok dalam kebudayaan khusus manapun bisa bertahan, ada beberapa faktor dimasa sekarang seperti pajak rokok dalam memasok pendapatan negara, keterikatan psikologis atau kesehatan masyarakat, serangan nikotin terhadap saraf otak, yang membuat ketergantungan, sehingga pola-pola aktivitasnya selalu bersangkutan dengan rokok, termasuk aktivitas sosial dan kebudayaannya.

Pemahaman-pemahaman masyarakat Sikucur mengenai rokok sebagai kapalo baso secara adat, diketahui secara sederhana oleh para perokok di Nagari Sikucur. Namun pengetahuan para datuak, budayawan di Sikucur, mereka menginterpretasikan dalam perspektif adat dan budaya. Budaya rokok yang terjadi secara adat, serta hubungan sosial masyarakatnya. Lalu bagaimana mereka menggunakan rokok sebagai simbol dalam kehidupan sosial budaya, termasuk di lapau. (*)

Atthoriq Chairul Hakim
Mahasiswa Antropologi Budaya ISI Padang Panjang, merupakan demisioner dari Lembaga Pers Mahasiswa Pituluik. Selain itu juga sebagai content writer di antropologiku juga sociology perspective.

Untuk keterbacaan teks dan tampilan website majalahelipsis.com yang lebih baik, sila unduh aplikasi majalah elipsis di Google Play atau APP Store, tanpa memerlukan login. Kirim naskah ke majalah digital elipsis (ISSN 2797-2135) via email: majalahelipsis@gmail.com. Dapatkan bundel digital majalah elipsis (format PDF 100 halaman) dengan menghubungi redaksi di nomor WhatsApp 0856-3029-582. Ikuti laman media sosial Majalah Elipsis (Facebook) atau @majalahelipsis.

Subscribe To Our Newsletter

Get updates and learn from the best

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Download versi aplikasi untuk kenyamanan membaca