Puisi sebagai Dokumen Sejarah dalam Bentuk Metafora yang Bisa Menyentuh Palung Hati

Share on facebook
Share on twitter
Share on linkedin
Share on whatsapp
Share on telegram

Oleh Emi Suy
Penyair

SAPARDI Djoko Damono dalam bukunya berjudul Sosiologi Sastra: Sebuah Pengantar Ringkas (1978), menuliskan bahwa pendekatan sosiologi sastra banyak menaruh perhatian yang besar terhadap aspek dokumenter sastra, yang landasannya adalah gagasan bahwa sastra merupakan cermin zamannya. Pandangan ini beranggapan bahwa sastra merupakan cermin langsung dari pelbagai segi struktur sosial, hubungan kekeluargaan, pertentangan kelas, dan lain-lain. Dalam hal ini, tugas seorang sosiolog sastra adalah menghubungkan pengalaman tokoh-tokoh imaji dan situasi ciptaan pengarang itu dengan keadaan sejarah yang merupakan asal-usulnya. Tema dan gaya yang ada dalam karya sastra, yang bersifat pribadi itu, harus diubah menjadi hal-hal yang sifatnya sosial.

Bertolak dari pandangan tulisan Sapardi Djoko Damono tersebut, penulis ingin menyajikan salah satu puisi Riri Satria yang beberapa hari lalu digubah pianis Ananda Sukarlan dalam konser Pandemic Poem. Tentu saja penyajian kali ini bukanlah suatu analisis sosiologi sastra yang komprehensif, sebab mula-mula tulisan ini hanya dimaksudkan sebagai esai pendek yang ingin mengapresiasi puisi sebagai “pengingat” kecil agar kelak kita tidak mengalami semacam amnesia budaya karena kehilangan apa yang saya sebut ‘dokumen sejarah’.

Penulis menggunakan istilah ‘dokumen sejarah’, yang artinya adalah dokumen tertulis maupun tidak tertulis yang bisa dijadikan alat bukti mengenai peristiwa atau kondisi yang terjadi di masa lalu. Dokumen sejarah tak hanya berupa benda-benda tua, seperti artefak, prasasti, babad, kitab-kitab, dan naskah kuno, tapi juga naskah proklamasi, foto proklamasi, serta foto-foto dan video film dokumenter yang muncul hari-hari ini di medsos, dan sebagainya — puisi juga termasuk ke dalam dokumen sejarah, atau ‘dokumenter sastra’, istilah yang dipakai dalam pendekatan sosiologi sastra seperti yang ditulis Sapardi Djoko Damono yang telah dikutip di atas.

Sarah Godsell — Universitas Witwatersrand dalam penelitiannya Dekolonisasi; Sejarah; Pendidikan Guru; Afrika Selatan; Kurikulum; Puisi; Pedagogi; Pemikiran sejarah, mengungkapkan bahwa bagaimana puisi dapat digunakan untuk mendekolonisasi pelajaran sejarah. Puisi menciptakan dunia dan mengajak manusia untuk menemukan dirinya di dunia itu. Dunia itu berlapis dan dibangun dengan hati-hati. Lapisan sejarah dan realitas yang dijalani serta lapisan gambaran dan simbolisme yang cermat dapat dihubungkan dengan pemikiran yang dibangun secara cermat. Namun, ketika diajukan sebagai soal ujian, para siswa berpendapat bahwa puisi tidak bisa digunakan dalam sejarah karena “terlalu emosional”. Hal ini menyajikan gagasan bahwa sejarah bersifat faktual, dibuktikan, rasional, dan tidak emosional. Tentu saja, sejarah perlu diargumentasikan secara faktual dan disertai bukti.

Puisi sebagai dokumen sejarah dalam bentuk metafora yang bisa menyentuh dan menggelitik palung hati, juga menggugah kesadaran dan bisa menciptakan sebuah gerakan, seperti yang terjadi dalam sejarah kita, sejarah menuju kemerdekaan bangsa Indonesia, yaitu sejarah Sumpah Pemuda dan Lagu Indonesia Raya, yang keduanya jelas adalah puisi.

Kehidupan sosial suatu masyarakat dapat dijadikan sebagai bukti dokumen suatu perjalanan sejarah, melalui tinggalan benda, teks atau catatan-catatan, atau karya sastra, atau apa saja yang dapat dibaca — yang dalam istilah sosiologi sastra disebut sebagai ‘cermin zamannya’, artinya yang bisa mewakili sebuah zaman. Begitu juga fenomena pandemi Covid-19 beberapa tahun lalu, akan menjadi semacam ‘dokumen sejarah’ yang bisa dibaca di masa depan sebagai cermin zamannya.

Traumatik Covid-19 telah mengubah banyak hal; tentang semesta dunia, ekonomi, bumi, perilaku manusia dan pola pikir, juga telah mengubah tatanan pola hidup dan sendi kehidupan kita secara kompleks. Catatan ini adalah serangkaian peristiwa kisah duka yang kelak menjadi pelajaran berharga bagi generasi mendatang. Bisa jadi, sebagai simbol sejarah dunia kesehatan bagi abad kini. Lantas, dalam catatan sejarah sastra, apakah ada kepedulian karya sastra terhadap kisah-kisah terluka ini?

Manusia tetaplah manusia, berkembang secara dinamis tetapi harus dalam koridor hukum normatif, yang tentunya berpijak pada asas-asas kemanusiaan (humanity). Sejatinya, usaha-usaha sosial untuk lebih memerdekakan nilai-nilai kemanusiaan secara eksklusif telah mendorong peran serta semua pihak agar kisah buruk ini terlepas dari beban pikiran manusia. Seharusnya peristiwa ini menjadi perenungan sekaligus permenungan, bagaimana memanusiakan manusia.

Memang air tak selamanya bening, di tengah kondisi terpuruk, sangat diharapkan rasa empati dan simpati manusia semakin tinggi. Tapi kenyataannya, masih ada saja orang yang memancing di air keruh. Masih ada oknum yang mengambil kesempatan dalam kesempitan. Apakah sebagian orang ini menjadi jelmaan virus? Sungguh tragis, dalam pemulihan ekonomi masyarakat yang terpuruk, bermunculan kapitalis baru.

Berita tentang penyelewengan wewenang seakan mewarnai kehidupan sehari-hari. Manusia menjadi robot pintar yang memanipulasi wilayah kekuasaan Tuhan. Antitesis peradaban memunculkan kekuatan egoisme dan keserakahan. Kasus korupsi terjadi di mana-mana, yang mengatasnamakan untuk kepentingan masyarakat. Manusia kehilangan nalar etika. Sejarah seakan tak mampu mencatat riwayat bersih.

Apakah puisi harus tinggal diam, dengan separuh napas yang membiarkan segala mimpi buruk ini? Puisi seharusnya menjadi frasa terindah bagi perjuangan untuk mengembalikan citra dan cinta memanusiakan manusia. Puisi yang memiliki kekuatan metafora, bukanlah sehimpun kata-kata propaganda politik yang bersembunyi di lorong-lorong ketakutan. Puisi bicara tentang hati; tentang kebenaran; yang tidak hanya berdiam diri dalam manifestasi retorika.

Puisi harus tercatat dalam dokumen sejarah, yang membebaskan hati dan pikiran manusia. Mungkin, selama ini kita terlena dengan pikiran-pikiran buruk, yang telah terbungkus dan terkungkung dalam manifesto virus korona. Bagaimana mungkin dokumen sejarah dapat tercatat dengan baik, jika pikiran kita dalam ruang sempit. Puisi adalah jalan terbaik untuk mewujudkan segala keinginan itu, sebab puisi akan hidup pada dimensi tak terbatas, termasuk di relung hati manusia terdalam.

Riri Satria

Adalah seorang penyair di negeri ini, telah menangkap kegelisahan dan keresahan masyarakat. Melalui kerja bareng dalam harmonisasi seni, seorang Riri Satria menawarkan nilai-nilai kemanusiaan dalam panggung kata-kata. Fakta mengenai manusia yang tidak memiliki kepedulian, manusia yang belum bisa menjadi manusia dan belum bisa memanusiakan manusia, terekam dalam jejak puisi Riri Satria berikut:

DIALOG SESAMA VIRUS KORONA TENTANG KORUPTOR

Bro, rupanya ada yang lebih sadis dari kita ini
Namanya koruptor, virus dari segala virus!
Kita tak sebanding dengannya

Mereka memanfaatkan kita
Dengan cara mencekik leher sesama
Yang sudah sengsara

Ada yang mengembangkan vaksin dan obat
untuk membasmi kita
bukan mereka!

Kini kita menyesal ‘kan telah menjadi virus?
Harusnya kita
menjadi mereka saja.

(Riri Satria, Jakarta, 15 April 2021/2022)

Kita akan bertamasya menyelami lautan puisi Riri Satria di atas. Kita selami maknanya dari diksi-diksi yang terangkai dalam bait-baitnya yang satiris.

/Bro, rupanya ada yang lebih sadis dari kita ini/
/Namanya koruptor, virus dari segala virus!/
/Kita tak sebanding dengannya/

Kita diajak untuk membayangkan tokoh imaji yang diciptakan penyair, yaitu virus korona. Virus korona dipersonifikasikan sedang berbincang-bincang mirip manusia yang sedang ngobrol di suatu tempat, mereka membicarakan masalah sosial akut di sebuah negara. Virus satu mengatakan kepada virus lainnya, bahwa ternyata ada yang lebih sadis dari virus korona, yaitu koruptor. Koruptor itu sumber virusnya — sebuah virus yang membahayakan bagi kelangsungan hidup anak cucu dan masa depan bangsa. Kalau yang terjangkit virus korona bisa sembuh atau meninggal, namun kalau kehidupan terjangkit virus korupsi, biar pun satu dua orang yang berbuat kejahatan ini yang menanggung bisa seluruh bangsa, negara bahkan anak cucu kita kelak. Pandemi bisa menjadi endemi, dan bahkan bisa hilang sama sekali, tetapi korupsi yang dibiarkan bisa menghancurkan kehidupan manusia secara keseluruhan, bukan cuma kehidupan suatu bangsa atau negara.

/Mereka memanfaatkan kita/
/Dengan cara mencekik leher sesama/
/Yang sudah sengsara/

Penyair kembali menggambarkan bahwa manusia (koruptor) memanfaatkan situasi pandemi (atas nama virus korona) untuk mengeruk keuntungan, bahkan tak ada kamus memanusiakan manusia di kepala para koruptor itu, sebab mereka memang belum menjadi manusia, tetapi binatang seperti digambarkan dengan sangat tajam dalam salah satu novel George Orwell berjudul Animal Farm atau Binatangisme (terjemahan Mahbub Djunaedi). Digambarkan dalam novel itu para binatang di sebuah peternakan dapat saling berbicara, ada binatang yang digambarkan sangat serakah, yaitu para babi, yang menjadikan binatang lain sebagai budak untuk menyuplai kesenangan (segelintir) mereka. Masalah utama yang digambarkan dalam novel tersebut mirip dengan yang digambarkan puisi ini, yaitu keserakahan dan hilangnya ‘yang etis’ dari pergaulan sesama manusia. Jika etika telah lenyap dari suatu pergaulan, maka yang tersisa adalah kebinatangan, atau ‘binatangisme’ dalam istilah Orwell.

Mungkin begitu arkais, dalam kesengsaraan dan penderitaan orang banyak, istilah Orwell menjelma dalam wujud yang lebih mengerikan. Entah apakah kebiadaban itu bisa disejajarkan dengan frasa baru: New Orwellian. Sebab nilai-nilai etika tidak lagi mendekam pada pangkal ingatan. Dekadensi moral menjadi sesuatu yang tidak penting untuk diluruskan. Dan sebutan koruptor telah menjadi revolusi logika yang samarkan pepatah usang: budaya malu dan ewuh pekewuh.

Hal itu digambarkan oleh Riri Satria dengan penuh ironi pada bait berikut.

/Ada yang mengembangkan vaksin dan obat/
/untuk membasmi kita/
/bukan mereka!/

Sungguh ironis, ketika teknologi yang pesat kini banyak memproduksi vaksin dan obat untuk membasmi virus korona. Namun, tidak ada vaksin pembasmi koruptor. Mungkin kita harus membenarkan sebuah pepatah untuk memvisualisasikan kondisi perlawanan terhadap koruptor; mati satu tumbuh seribu. Penyakit sosial yang tumbuh dan mengakar, bahkan memberangus sendi-sendi kehidupan masyarakat. Kondisi semakin parah, dengan berbagai kebijakan pemerintah yang menganomali normatif hukum. Institusi hukum yang seharusnya menegakkan kebenaran dan keadilan, seakan simbolitas hukum yang justru melindungi para koruptor.

Masyarakat harus ke mana, hanya mampu menerima kenyataan pahit. Hanya mampu bertahan hidup dalam ketidakpastian hukum. Sementara makna revolusi, yang melahirkan kekuatan masyarakat secara luas, hanya mampu disuarakan dalam catatan-catatan kecil yang tidak mampu melawan kekuatan kapitalis baru, yang sejatinya jelmaan neo-liberalisme. Jika harus berkata jujur, konstruksi pasal-pasal dalam aturan perundang-undangan tetap saja mengadopsi peninggalan kolonial.

Mari kita letakkan persoalan dan kondisi ini, dengan kesucian nalar dan hati, meski hanya melalui puisi. Harapan yang tentunya tidak hanya terbesit dalam pikiran seorang Riri Satria, tetapi lebih dari itu, menjadi dokumentasi sejarah sastra yang kelak memberi refleksi bangsa. Seperti pada bait-bait puisi di bawah ini:

/Kini kita menyesal ‘kan telah menjadi virus? /
/Harusnya kita/
/menjadi mereka saja./

Terjadi perbincangan satir pada tokoh imaji ciptaan penyair itu, digambarkan bahwa ketika label ‘virus yang berbahaya dan mematikan’ dikenakan pada virus korona, para virus itu ingin berganti peran menjadi koruptor saja, sebab menurut para virus korona itu ada virus yang lebih mematikan dan bahaya ketimbang mereka, yaitu korupsi berjamaah yang terjadi di banyak negeri, termasuk negeri penyair sendiri.

Riri Satria dan Emi Suy saat menghadiri konser “Pandemic Poems” Ananda Sukarlan, beberapa waktu lalu, di Jakarta.

Puisi DIALOG SESAMA VIRUS KORONA TENTANG KORUPTOR telah berhasil memotret dua hal: masa pandemi dan bahaya koruptor. Masa Pandemi yang kelak akan jadi sejarah bagi generasi penerus, sebagai bukti bahwa fenomena pandemi melanda negeri kita hampir di seluruh provinsi. Dan korupsi yang tak pernah berhenti di segala cuaca, ya terus menjadi virus yang menggerongoti bangsa ini secara laten — menjadi ancaman bagi bangsa dan negara, baik kini maupun di masa depan nanti.

Puisi DIALOG SESAMA VIRUS KORONA TENTANG KORUPTOR telah digubah oleh Ananda Sukarlan menjadi musik berupa “Tembang Puitik” (sebuah genre di musik klasik yang berarti lagu yang dituliskan berdasarkan sebuah puisi yang sudah ada).

Tembang puitik tersebut telah dikonserkan beberapa hari yang lalu bersama puisi-puisi tentang pandemi lain dengan tajuk Christmas Charity Concert, KONSER ANANDA SUKARLAN TENTANG PANDEMIC POEMS yang digelar pada hari Minggu, 17 Desember 2023 di Galeri Hadiprana Boutique Mal, Kemang, Jakarta.

Menjadi teramat istimewa adalah ketika dinyanyikannya untuk pertama kali karya baru Ananda, “Pandemic Poems” oleh Shelomita Amory, seorang soprano belia 14 tahun pemenang Ananda Sukarlan Award 2023.

Pandemic Poems adalah empat tembang puitik berdasarkan empat puisi yang ditulis saat pandemi yaitu “Gugus 1: Pemedis di Garis Depan” (puisi Goenawan Monoharto), “Beda Keyakinan” (Hilmi Faiq), “Setelah Dirumahkan (5)” (Muhammad Subhan) dan diakhiri dengan “Dialog Sesama Virus Korona Tentang Koruptor” (Riri Satria).

Riri Satria mengatakan seusai acara bahwa gubahan musik dan permainan piano Ananda dan nyanyian Shelomita Amory membuat puisinya menjadi bernyawa dan sangat hidup.

Setiap penyair melahirkan bahasa musikal tersendiri yang kadang tampak mirip-mirip tetapi sebenarnya tidak pernah benar-benar sama, begitu pula seorang komponis musik klasik melahirkan bahasa puitisnya sendiri dalam gubahan musiknya. Setiap penyair punya ciri khasnya, istilahnya dalam dunia nyanyi dangdut “cengkok” yang menjadikannya berkarakter dan berbeda dengan penyair yang lain. Itu secara alami terbentuk seiring berjalannya waktu, jam terbang, latihan dan ketekunan serta pengalaman empiris dan intelektual yang dijalaninya.

Yang paling mahal dari seorang penyair adalah cara pandangnya — yang paling berat dari seorang penyair adalah menuliskan ide yang hinggap di kepalanya — mengungkapkan apa yang dipikirkan, apa yang dirasakan, apa yang dilihat, apa yang didengar, misalnya — dengan kata-kata yang tepat, nah, itulah tugas seorang penyair. Dalam hal ini, Riri Satria telah berhasil memotret sebuah peristiwa yang mejadi kegelisahan yang tidak hanya miliknya, namun milik seluruh manusia, penyair tidak menjadi pribadi dalam sajaknya tetapi telah menjadi yang sosial. Penulis berangkat dari hal-hal yang mengganggu, berisik dan berkelindan di kepala, hal-hal yang sifatnya sosial diangkatnya dengan kritis ke dalam sajaknya.

Saya membayangkan, puisi ini menjadi sebuah lorong yang panjang dan gelap yang membawa kita pada olah rasa sekaligus perenungan yang dalam atas kejadian korupsi dan pandemi, tak hanya itu, kita terhubung oleh suasana batin penulisnya sebagai lanskap yang menyentuh palung hati dan jiwa. Akhirnya, setelah membaca puisi Riri Satria, seperti ada yang mengendap dan menyisakan pertanyaan-pertanyaan dengan tanda tanya besar dan mungkin rasa geram yang terlampau dalam. Begitulah mungkin yang akan dirasakan para pembaca di masa depan, ketika puisi Riri Satria telah benar-benar menjadi ‘dokumen sejarah’.

Sapardi Djoko Damono pernah menulis; “Yang Fana adalah Waktu, Kita Abadi”. Manusia akan mati dan pasti mati, tapi kita semua punya keinginan untuk meninggalkan sesuatu yang paling berharga dan abadi yang kelak bisa dikenang oleh seseorang atau banyak orang. Jejak kebaikan dan puisi adalah peninggalan yang pantas abadi dalam kenangan.

Tabik! Teruslah berkarya. Selamat dan sukses untuk Bang Riri Satria. I’m so proud of you. (*)

Untuk keterbacaan teks dan tampilan website majalahelipsis.com yang lebih baik, sila unduh aplikasi majalah elipsis di Play Store, tanpa memerlukan login. Kirim naskah ke majalah digital elipsis (ISSN 2797-2135) via email: majalahelipsis@gmail.com. Dapatkan bundel digital majalah elipsis (format PDF 100 halaman) dengan menghubungi redaksi di nomor WhatsApp 0856-3029-582. Ikuti laman media sosial Majalah Elipsis (Facebook) atau @majalahelipsis.

Subscribe To Our Newsletter

Get updates and learn from the best

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Download versi aplikasi untuk kenyamanan membaca