Puisi pada mulanya adalah sebentuk komunikasi, dan komunikasi tak terpisahkan dengan bahasa, seperti panas dan api. Namun, puisi dalam bentuknya yang lain bisa saja melampaui itu.
Oleh Candrika Adhiyasa
Puisi, pertama-tama, lahir dari ruang kosong. Ruang kosong ini tentu saja merupakan titik permulaan dari segala laku kreatif, sama halnya dengan puisi sebagai laku poetic (penciptaan). Meski demikian, penyair tidak sepenuhnya memiliki wewenang seperti semacam “Tuhan”, melainkan penyair memiliki otoritas lebih, dan bahkan dominan, pada dunia konseptual macam apa yang hendak ia gubah, melalui puisi-puisinya.
Meski puisi lahir dari ruang kosong semacam itu, ruang kosong tersebut tidaklah absolut. Tetap ada semacam pertalian dengan dunia imanen, yang berarti pada kerangka epistemik seorang penyair yang hidup di dunia, dan bukan di ruang kosong tersebut. Ruang kosong sekadar terminologi dari suatu “tempat” yang tidak dapat dijelaskan.
Kerangka epistemik tersebut tentulah tidak berdiri sendiri pula.
Ia terbentuk dari pelbagai macam interaksi, bahkan intervensi, dunia empiris atau dunia imajiner sang penyair. Garis demarkasi antara dunia empiris dan dunia imajiner bagi penyair agak tidak terlalu jelas, bahkan cenderung bias, dan karenanya tidak bisa ditentukan dengan bernas. Ada semacam keterpautan yang niscaya di antara kedua macam dunia itu, yang lantas menjadi unsur penyusun kerangka epistemiknya.
Kerangka epistemik ini tentu berbeda-beda bagi berbagai macam manusia, terlebih ketika dibedakan sebagai “orang dewasa” dan “kanak-kanak”. Meminjam kata-kata Vico, bahwa “ketika kanak-kanak, manusia adalah penyair yang sublim.” Melalui pandangan semacam ini dapat lahir hipotesis, bahwa hubungan antara “ruang kosong” dan “kerangka epistemik” sebisa mungkin bersifat murni, yakni tanpa ada kontaminasi konsep-konsep yang dicerna oleh sebagian besar manusia dewasa. Namun, wacana mengenai kedewasaan (dalam konteks kepenyairan) tidak melulu bicara mengenai usia (kuantitas), melainkan usia (kualitas), yang menentukan arah pada tataran sublim atau sebaliknya.
Dari sini dapat diperkirakan, meski belum tentu tepat, bahwa puisi merupakan semacam ekspresi dari kemurnian epistemik, yang mengandaikan suatu persoalan agar dapat terhadirkan pada suatu titik di mana ia termungkinkan menampakkan keindahannya yang paling tinggi. Puisi, dalam perspektif semacam ini, tentu bisa saja membebaskan dirinya dari belenggu “puisi dagangan”, yang diedarkan secara tekstual-cetak secara komersial.
Puisi pada mulanya adalah sebentuk komunikasi, dan komunikasi tak terpisahkan dengan bahasa, seperti panas dan api. Namun, puisi dalam bentuknya yang lain bisa saja melampaui itu. Bahasa nyaris selalu dapat dijelaskan dalam definisi-definisi, tetapi puisi merupakan suatu bentuk kebahasaan yang tidak selalu dapat dijelaskan. Bukan berarti puisi melarikan diri dari hukum kejelasan dalam komunikasi, melainkan puisi membebaskan dirinya dari hegemoni, dari pesanan makna. Ia secara independen membawa maknanya yang lain dari konvensi.
Tetapi bahasa dan teks agak sulit dipisahkan, dan begitu juga halnya dengan puisi, ia nyaris sulit dipisahkan dengan bahasa, juga teks. Namun perkara teks, puisi rupanya lebih termungkinkan untuk menolaknya. Kita tahu beberapa mantra di pedalaman, dalam suatu masyarakat yang menolak modernisme, puisi terlahirkan melalui bunyi.
Ketika membicarakan bunyi, tentu kita juga akan menemukan vibrasi. Getaran halus, yang tak melulu memerlukan kata-kata, melainkan memerlukan semacam sentuhan samar—yang cenderung emosional. Puisi dalam bentuk teks sekalipun, bukan merupakan karya ilmiah yang memuat informasi berdasarkan pembuktian ilmiah, tetapi puisi membicarakan hal lain, sudut-sudut yang senantiasa luput dari perhatian positivis-empiris. Puisi hadir seperti gema dari ujung langit yang berderap pelan dalam rahasia, menjangkau relung-relung hidup manusia—dan mungkin secara tidak terduga.
Maka dapat kita andaikan, bahwa puisi yang membebaskan diri dari teks dapat kemudian hadir pula dalam gerak, dalam instrumen penghasil vibrasi yang tak terpermanai. Sebagai contoh, seorang ibu yang gagap mencari susu ketika bayinya menangis adalah gerak yang diilhami puisi, suatu proses gerak yang mewakili laku kreatif manusia dalam memproduksi keindahan.
Puisi juga hadir, tatkala seorang manusia merasa dipukuli nasib; misalnya ia merasa terasing dari masyarakatnya. Dalam hening, ia melafalkan semacam doa tanpa kata, yang hanya menyisakan resonansi halus dalam kebisuannya. Barangkali itu adalah sikap putus asa, atau berharap, tetapi dalam sikap itu ia telah menciptakan puisinya sendiri, yang tanpa kata-kata, apalagi teks.
(*)
Candrika Adhiyasa, Peminat Kajian Filsafat dan Studi Kebudayaan
Sumber: Majalah digital elipsis edisi 009, Februari—Maret 2022