DENPASAR, majalahelipsis.com—Proses kreatif perempuan penyair Rissa Churria (Jakarta) dibincangkan di Jatijagat Kehidupan Puisi (JKP), Renon, Denpasar, Bali, Sabtu (24/8/2024).
Pembahasan dilakukan dengan sampel tiga buku puisi karya Rissa Churria, yaitu Harum Haramain (2016), Matahari Senja di Bumi Osing (2019), dan Bisikan Tanah Penari (2022).
Ketiga buku itu diobrolkan budayawan asal Bali, Warih Wisatsana, Dr. Galuh F. Putra (Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Udayana), dan dipandu Ngurah Arya Dimas Hendratno selaku Ketua Jagat Jatijagat Kehidupan Puisi (JKP).
Pada acara tersebut turut hadir beberapa sastrawan senior asal Bali, di antaranya Nyoman Wirata, GM Sukawidana, dan lainnya.
Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Udayana, Bali, Galuh F. Putra, mengatakan, setelah ia membaca ketiga buku puisi Rissa Churria, ia menemukan sebuah karaker yang kuat dalam tulisan-tulisan Rissa.
“Ketika membaca buku Harum Haramain, saya merasa ikut serta melakukan perjalanan ke Makkah dan Madinah. Saya larut dalam perjalanan spiritual Rissa dan mampu merasakan kekuatan kata dari Rissa sebagai ungkapannya terhadap rasa cinta kepada Tuhan,” kata Galuh.
Sedangkan pada buku Matahari Senja di Bumi Osing (2019) dan Bisikan Tanah Penari (2022), dia menemukan rasa cinta yang dalam kepada tanah kelahiran Rissa Banyuwangi, tidak hanya soal asal usul, melainkan juga mengenai sosial budaya dan denyut kehidupan di Banyuwangi.
“Rissa dengan tegas menunjukkan identitasnya sebagai orang suku Osing di Banyuwangi,” kata Galuh.
Puisi karya Rissa berkisah tentang intrapersonal, sebagai monolog dirinya dengan Tuhan pada buku Harum Haramain, serta sosio kultural secara luas. Bahkan Rissa kelihatannya terasuk ke dalam gerakan ekofeminism, di mana alam semesta termasuk Bumi, laut, udara, dan sebagainya disimbolikkan sebagai ibu, maka puisinya juga banyak menyimpan keresahan kepada alam, lingkungan hidup, serta lingkungan sosial, dan kemanusiaan.
“Puisi-puisi Rissa banyak berupa puisi panggung dan sedikit yang berupa puisi kamar,” papar Galuh lagi.
Sementara Budayawan Bali, Warih Wisatsana, menyatakan sepakat dengan analisis Galuh F. Putra secara umum.
“Buku Harum Haramain memang dahsyat, dan keekuatan kata yang puitis dari Rissa Churria terlihat pada buku ini,” tambah Warih.
Warih menilai, menulis adalah anugerah dari Tuhan, maka harus dioptimalkan untuk memberi manfaat kepada orang banyak. Apa yang dilakukan Rissa sudah tepat, sangat produktif menulis puisi, dan menyebarkan gagasannya, pemikiran, serta pesan moralnya kepada pembaca.
“Banyuwangi menjadi topik spesial buat Rissa, bukan hanya karena indah alamnya, tetapi juga sosial budayanya. Melalui buku tersebut kita dapat memahami Bayuwangi di mata Rissa Churria,” ungkap Warih.
Sementara Ketua Jagat Sastra Milenia (JSM), Riri Satria, yang sekaligus memberikan sambutan pada acara tersebut mengatakan, pada Maret 2021, dalam sebuah acara forum diskusi dan baca puisi yang diselenggarakan JSM, ia pernah menanyakan apa makna puisi bagi seorang Rissa Churria. Dengan gamblang Rissa menjawab, puisi baginya adalah perwujudan cinta, dan cinta itu sendiri ada tiga pilar.
Pilar pertama adalah cinta yang diucapkan atau kata-kata. Ini cinta yang terdapat dalam ungkapan kata-kata indah. Lalu pilar kedua, cinta yang ada di dalam hati atau cinta yang dirasakan. Sedangkan yang ketiga adalah yang dilakukan atau diwujudkan dalam perbuatan nyata.
Menurut Rissa, ketiganya harus selaras atau sinkron, baik yang diucapkan, dirasakan, serta yang diwujudkan, atau dilakukan.
Ketiga pilar itu harus ditaruh dalam kerangka spiritualitas, di mana cinta itu adalah anugerah dari Tuhan, dan cinta tertinggi itu kembali kepada Tuhan.
“Saya masih ingat ketika itu Rissa mengatakan bahwa puisi itu berbentuk teks walau bisa diperkaya dengan simbol lainnya nonteks. Namun, teks puisi ini harus lahir sebagai hasil dari sinkronisasi ketiga pilar yang tadi, yaitu kata-kata, dalam hati, serta wujud perbuatan. Puisi adalah bukti teks atau tertulis wujud cinta, namun cinta itu sendiri lebih luas dan dalam, dirasakan, diwujudkan, dan yang tertinggi adalah kepada Tuhan. Inilah jalan spiritualitas dan juga dapat diwujudkan dengan puisi. Buat Rissa, puisi juga bermakna spiritualitas,” ujar Riri Satria.
Aspek spiritualitas ini sangat terasa pada buku kumpulan puisi pertamanya, Harum Haramain yang terbit tahun 2016 dan dicetak ulang pada 2023. Buku puisi itu ditulis selama di Makkah dan Madinah.
“Itu adalah sebuah perjalanan spiritual buat seorang Rissa Churria, dan sekaligus perjalanan penuh cinta. Cinta yang mana? Cinta yang tertinggi, cinta yang dilandasi spiritualitas, cinta kepada Allah Swt., Tuhan Semesta Alam. Semua rasa cinta dituliskan dalam puisi. Jadi, ini adalah sebuah buku puisi tentang perjalanan spiritualitas dan cinta, yaitu cinta kepada Sang Pencipta,” papar Riri Satria.
Namun berbeda dengan buku Bisikan Tanah Penari. Riri Satria yakin ini juga wujud cinta, namun ekspresi cinta Rissa kepada tanah Banyuwangi, tempat kelahirannya, kampung halamannya, dan tentu saja bagian dari sejarah hidupnya. Semua rasa cinta itu tersaji dalam wujud puisi. Rasa cintanya kepada kebudayaan dan kemanusiaan kepada Banyuwangi yang disebut sebagai Tanah Penari yang menjadi judul buku ini, beserta keseluruhan sendi kehidupan di sana terekam dengan baik dalam semua puisi Rissa.
Rissa menjelaskan bahwa dia menelusuri berbagai literatur, mendatangi berbagai tempat di Banyuwangi, serta mewawancarai banyak pihak terutama mereka yang sangat mengenal kebudayaan Banyuwangi.
Ini menarik, ternyata bagi seorang Rissa Churria, penulisan puisi dalam banyak hal harus didahului oleh “penelitian lapangan” serta “penelitian literatur”. Mengapa demikian? Rissa menjelaskan bahwa puisi itu adalah karya intelektual yang ikut serta mengungkap kehidupan manusia. Puisi, walaupun disajikan untuk menggugah rasa atau batin, namun tetap harus memiliki keakuratan fakta tertentu, lalu dikemas secara kreatif.
“Puisi tidak bisa ditulis asal-asalan. Maka keakuratan fakta itu penting. Hal yang sangat penting untuk disadari adalah, puisi itu karya intelektual, bukan sekadar main-main, maka buatlah dengan serius,” jelas Riri Satria.
Begitulah Rissa Churria yang dikenal Riri Satria sejak 2016 lalu. Sosok yang menuliskan rasa cinta dalam bentuk puisi, baik cinta kepada kemanusiaan dan kebudayaan, cinta kepada negara, serta cinta yang tertinggi, yaitu kepada Tuhan. Buat Rissa, puisi adalah salah satu jalan spiritualitas.
Sebagai penyair yang bukunya dibedah di Bali Rissa Churria menyampaikan terima kasih kepada para pembahas. Dalam menulis ia mengaku selalu menempatkan dirinya sebagai obyek, bukan subyek, di mana dia merasa dirinya digerakkan oleh kekuatan besar yang berasal dari Tuhan.
“Buku puisi saya yang pertama Harum Haramain yang terbit tahun 2016, berisikan semua puisi yang saya tulis selama di Makkah dan Madinah. Itu adalah sebuah perjalanan spiritual buat saya, dan sekaligus perjalanan penuh cinta,” kata Rissa.
Sementara buku puisinya berjudul Matahari Senja di Bumi Osing yang terbit tahun 2020 lalu, dia berkisah tentang cinta kepada Bumi Osing atau Banyuwangi, tentang kebudayaannya dan semua sendi kehidupan di sana.
“Banyuwangi memiliki kenangan tersendiri dalam hidup saya dan bagian dari sejarah hidup saya,” ujarnya lagi.
Diungkapkan Rissa, puisi walaupun disajikan untuk menggugah rasa atau batin, namun tetap harus memiliki keakuratan fakta tertentu, lalu dikemas secara kreatif. Puisi tidak bisa ditulis asal-asalan.
“Saya menemukan ide untuk ditulis jadi puisi bisa di mana saja, saat di kereta api, sedang mengajar di kelas, lagi jalan-jalan, atau berbagai aktivitas lainnya. Nah, ketika ide itu muncul, saya catat dan tuliskan, baik di cuku catatan kecil maupun handphone. Nanti setelah agak tenang, semua catatan tersebut saya buka kembali, lalu saya ramu menjadi puisi. Ada ide yang akhirnya saya drop atau tidak jadi puisi, ada juga yang saya tuntaskan menjadi puisi. Proses menjadi puisi itu tidak sekali jadi. Saya perlu revisi sampai saya rasa sudah baik. Revisinya bisa sampai tiga atau empat kali,” jelas Rissa.
Rissa Churria adalah pendidik, penyair, esais, pelukis, aktivis kemanusiaan, pemerhati masalah sosial budaya, pengurus Komunitas Jagat Sastra Milenia (JSM), pengelola Rumah Baca Ceria (RBC) di Bekasi, anggota Penyair Perempuan Indonesia (PPI), saat ini tinggal di Bekasi, Jawa Barat, sudah menerbitkan 10 buku kumpulan puisi tunggal serta lebih dari 100 antologi bersama dengan para penyair lainnya, baik Indonesia maupun mancanegara.
Rissa aktif diundang ke berbagai festival sastra sebagai narasumber, antara lain Program Bicara Buku Sempena Dekad Bahasa Kebangsaan 2021 Anjuran Jabatan Pengajian Melayu dan Unit Pusat Sumber, Kampus Pendidikan Islam Malaysia (2021), serta Seminar Kiprah Perempuan: Kreativias dan Puisi, diselenggarakan Pemerintah Kota Bukittinggi, Sumatra Barat (2022).
Buku kumpulan puisi tunggal Rissa Churria di antaranya Harum Haramain (2016), Perempuan Wetan (2017), Blakasuta Liku Luka Perang Saudara (2018), Matahari Senja di Bumi Osing (2019), Babad Tanah Blambangan (2020), Bisikan Tanah Penari (2021), Risalah Nagari Natasangin (2021), Kembul Bujana Cinta Kamajaya Kamaratih (2022), Kecup Selalu untuk Rasulullah (2024), dan Larung Murung (2024). (aan/elipsis)
Editor: Muhammad Subhan
Untuk keterbacaan teks dan tampilan website majalahelipsis.com yang lebih baik, sila unduh aplikasi majalah elipsis di Google Play atau APP Store, tanpa memerlukan login. Kirim naskah ke majalah digital elipsis (ISSN 2797-2135) via email: majalahelipsis@gmail.com. Dapatkan bundel digital majalah elipsis (format PDF 100 halaman) dengan menghubungi redaksi di nomor WhatsApp 0856-3029-582. Ikuti laman media sosial Majalah Elipsis (Facebook) atau @majalahelipsis.