Perang

Share on facebook
Share on twitter
Share on linkedin
Share on whatsapp
Share on telegram

Oleh Muhammad Subhan

SORE itu Engku Kari, Engku Sut, Engku Lah, dan Engku Brahim sudah sepakat hendak berbuka puasa bersama di lepau teh telur Engku Raoh. Puasa sudah jalan setengah bulan. Setengah bulan lagi lebaran.

Engku Kari seperti biasa sangat disiplin, ia lebih dulu tiba di Simpang Lapan. Kursi duduknya di sudut lepau, bersisian dengan jendela yang menghadap ke Gunung Singgalang.

Sore menjelang senja, Singgalang tampak berkabut. Kabut putih kapas bagaikan selendang yang meliuk-liuk memeluk pinggang gunung itu. Indah nian.

Langit tampak rancak. Tak ada rinai. Angin dari arah Gunung Marapi berembus sepoi. Udara sejuk.

Tak lama kemudian, tibalah Engku Sut, disusul Engku Lah, dan Engku Brahim.

Di lepau teh telur Engku Raoh, selain Engku Kari, Engku Sut, Engku Lah, dan Engku Brahim, ada beberapa pelanggan lain yang sudah menempati meja mereka, hendak berbuka puasa pula. Lepau teh telur Engku Raoh menjadi tempat favorit para penyuka teh telur. Selalu ramai. Berkah rezeki Engku Raoh.

Menjelang waktu berbuka, seperti biasa, Engku Raoh memutar lagu-lagu kasidah yang menyejukkan telinga. Mendengar lagu itu, Engku Sut tampak menggeleng-gelengkan kepala pelan, ke kiri ke kanan, sambil ujung jari telunjuk tangannya mengetuk-ngetuk tepi meja, mengikuti irama musik. Mulutnya juga bergerak, menyanyikan lagu yang dibawakan artis kasidah. Di bawah meja, kakinya ikut bergoyang, seirama lagu.

Perdamaian … perdamaian …
Banyak yang cinta damai
Tapi perang semakin ramai
Bingung, bingung, kumemikirnya …

Lagu kasidah itu cocok benar dengan kondisi dunia saat ini. Perang dunia ketiga sudah diambang pintu. Rusia membabibuta menyerang Ukraina. Israel seperti biasa ikut berulah, Palestina diusik lagi setelah setahun damai. Orang sedang salat di Masjid Al-Aqsa digebuki. Negeri-negeri pro-Palestina mengutuk. Di Ukraina, Amerika dan sekutu, paling sibuk turut campur, dan tentu, pemasok senjata dan tentara, termasuk ke negara-negara yang tengah berkonflik lainnya.

“Ngeri, Engku. Tak main bambu runcing, orang sudah menyiapkan senjata nuklir,” seru Engku Lah yang juga membaca berita perang Rusia-Ukraina.

“Kasihan bumi. Cabik-cabik oleh ambisi manusia,” seru Engku Kari.

“Perang bermula dari mulut. Ejek mengejek, sindir-menyindir, dan tentu segala kepentingan menjadi tujuan. Tak mempan ejek dan sindir, ring tinju disiapkan. Tak cukup ring tinju, gelanggang perang dibentang. Amunisi, rudal, dan segala senjata mematikan menjadi penyambung lidah. Ampun awak,” celetuk Engku Brahim. Bergidik bulu hidungnya.

“Perdamaian, perdamaian … banyak yang cinta damai, tapi perang semakin ramai, ondeh, bingung awak memikirnya…,” timpal Engku Sut lagi, mempelesetkan lagu kasidah yang populer di tahun saisuak itu.

Perang ejek-mengejek dan sindir-menyindir secara sarkasme beberapa tahun terakhir sedang populer pula di negeri awak. Istilah paling populer didengungkan para buzzer di medsos adalah kadrun dan kampret. Media sosial riuh. Meski tak perang dengan senjata, namun perang dengan kata-kata ternyata lebih dahsyat hulu ledaknya. Engku Sut baru kali itu bersua zaman yang aneh, dan sedang mewarnai politik di negerinya. Semoga tak merembet pula ke kampungnya, meski setiap saat sengkarut sengketa itu dilihatnya di layar gawai di tangannya.

“Drun, pret, drun, pret … Aih, ada-ada saja,” celetuk Engku Sut.

Engku Sut juga menyimak berita, para pendengung yang saling ejek dan sindir sedang mempersiapkan gelanggang tinju, sesudah puasa. Tentu, sebagai jantan sejati. Tak selesai dengan otak, dituntaskan dengan otot. Perang benarlah para pelakunya. Kalau sudah perang, hasil akhirnya kalah dan menang. Salah satu atau salah duanya bisa babak belur, atau lebih tragis dari itu. Orang-orang menunggu. Atau sekadar gertak sambal saja.

“Saya juga bingung melihat kondisi negeri awak kini, Engku,” tiba-tiba Engku Raoh bersuara, sambil tangannya tetap sibuk mempersiapkan teh telur sebagai minuman berbuka puasa.

“Apa yang Engku bingungkan?” seru Engku Lah.

“Sesama anak bangsa bercakak. Tentu, tak lepas dari politik adu domba. Ini warisan kolonial, padahal awak sudah merdeka,” sambung Engku Raoh sembari mengutip ucapan Bung Karno, Perjuanganku lebih mudah karena mengusir penjajah, tetapi perjuangan kalian akan lebih sulit karena melawan bangsa sendiri.

“Sepakat, Engku,” celetuk Engku Sut.

“Apa yang Engku sepakati?” tanya Engku Kari. Mukanya sejurus menghadap serius ke muka Engku Sut.

“Ya, itu, sepakat dengan Engku Raoh, eh, Bung Karno. Dulu, Bung Karno dan pejuang bangsa, musuhnya cuma satu, penjajah. Semua orang fokus berjuang mengusir penjajah. Kini, tidak jelas awak, mana kawan, mana lawan. Atau awak sedang dijajah penjajah dengan gaya baru, tidak tahu awak,” jawab Engku Sut.

“Ha, cerdas juga, Engku,” seru Engku Kari memberikan jempol kepada Engku Sut. Engku Sut tersenyum dipuji demikian. Lipatan di keningnya lenyap seketika.

“Benar juga, Engku. Ada kawan awak, dulu berkawan-kawan, eh, kini sudah berlawan saja dia, apalagi kalau soal pilihan politik. Laki bini pun bisa baku hantam di rumah,” sambung Engku Lah yang sudah makan asam garam di dunia politik, dan selalu gagal, terutama menjadi anggota dewan kampung.

“Di bulan puasa ini, banyak-banyaklah awak berdoa, Engku. Jangan sampai negeri awak terjajah lagi, baik oleh bangsa asing, maupun oleh bangsa sendiri,” harap Engku Raoh.

Engku Kari, Engku Sut, Engku Lah, Engku Brahim, mengaminkan.

Tak lama setelah itu, beduk tanda berbuka puasa berbunyi. Karyawan Engku Raoh tampak sibuk menghidangkan teh telur dan penganan. Engku Kari dan engku-engku lainnya bergegas berbuka. Teh telur yang melintas dengan bebas di tenggorokan terasa begitu nikmat, dan sejenak soal perang yang tadi diotakan terlupalah sudah. Kini yang sedang diperangi bagaimana menuntaskan hidangan di meja, sementara kumandang azan Magrib di surau telah bergema.

Untuk keterbacaan teks dan tampilan yang lebih baik, sila unduh aplikasi majalah elipsis di Play Store, tanpa memerlukan login. Kirim naskah ke majalah digital elipsis via email: majalahelipsis@gmail.com. Dapatkan bundel digital majalah elipsis (format PDF 100 halaman) dengan menghubungi redaksi di nomor WhatsApp 0856-3029-582.

Subscribe To Our Newsletter

Get updates and learn from the best

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Download versi aplikasi untuk kenyamanan membaca