Orang-Orang di Lepau Teh Telur Engku Raoh

Share on facebook
Share on twitter
Share on linkedin
Share on whatsapp
Share on telegram

ENGKU-ENGKU yang duduk di lepau teh telur Engku Raoh di Simpang Lapan bermacam-macam bentuk hidungnya. Tentu, bermacam-macam pula perangainya.

Engku Raoh, seorang entrepeneur, orang tua bijaksana, kaya ilmu dan pengalaman, pekerja keras, ucapannya bijak, enak didengar, santun, jadi teladan anak muda yang sedang belajar berwirausaha.

Engku Sut, tentu sudah banyak yang tahu. Mukanya sering tampak kusut, tetapi tidak sekusut pikirannya. Kadang-kadang terlontar juga ucapan-ucapan cerdas di mulutnya. Dia suka humor. Belum bicara, orang sudah tergelak tawa sampai sakit perut dibuatnya. Apalagi kalau melihat keningnya yang berlipat empat, tak jarang lebih, tergantung kadar berat beban yang sedang dia pikirkan. Engku Sut baik hati orangnya, tak sungkan diminta tolong. Walau begitu, ia sedikit temperamen, mudah tersinggung kalau ada sesuatu yang tak sesuai dengan lubang hidungnya. Di lepau Engku Raoh, dia sering berutang teh telur. Engku Raoh maklum, dan Engku Kari sering membantu membayarkannya, walau dengan cara ngutang juga.

Engku Brahim yang usianya di bawah Engku Raoh, lain lagi. Tak banyak bicara, tetapi suka bisnis, seperti Engku Raoh. Dia punya ladang kentang, luas sekali, di kaki Singgalang, dan lebih banyak menghabiskan hari di ladang kentangnya itu daripada duduk membuang waktu di lepau teh telur Engku Raoh. Dia sering muncul sesudah hari panen, dan sejahteralah engku-engku di lepau Engku Raoh dibuatnya, semua yang duduk, dia traktir teh telur, sepuas-puasnya. Dia dermawan.

Engku Kari, kawan karib Engku Sut dan Engku Raoh. Sebelum ke sawah, hampir setiap hari dia duduk di lepau Engku Raoh, minum teh telur dan membaca koran pagi. Semua cerita yang diotakan koran dan orang di lepau itu dibaca dan didengarnya baik-baik. Ia banyak mengangguk, di tengah angguk dia mengantuk. Kadang, dalam diskusi-diskusi, dia memberi pendapat. Kadang pula diam jika ada sesuatu yang kurang pas menurut ukuran hidungnya. Kalau dia sudah diam, seisi lepau bingung dibuatnya. Mati kutu. Namun begitu, diam-diam banyak yang dikerjakannya.

Engku Lah, orang yang paling menyukai urusan politik di Simpang Lapan. Dia pernah mencalonkan diri menjadi anggota dewan kampung, tetapi di saat hari pencoblosan dia mengundurkan diri. Tidak jelas alasannya. Yang pasti ketika isi kotak suara dihitung, hanya tiga orang saja yang menusuk gambar hidungnya. Entah siapa. Di luar urusan politik, dia punya usaha kuda bendi, jurusan Simpang Lapan—Bukittinggi.

Engku Dis, jarang ke Simpang Lapan, apalagi minum teh telur. Kalau dia muncul, sudahlah. Semua orang ditunjuknya. Di matanya, apa yang dilakukan orang, salah. Dia saja yang benar. Namun, orang kampung mafhum, sebab hanya itu pekerjaannya; mengurus urusan orang, dan badannya sering tak terurus. Tampak pula bekas kudis di lengan dan di kakinya. Banyak. Untung tidak di mulutnya.

Engku Tau, seorang perantau Simpang Lapan yang sukses membuka rumah makan di Batam. Dia jarang muncul di lepau teh telur Engku Raoh. Sekali dua saja pulang kampung kalau hari lebaran. Sudah dua tahun hidungnya tak tampak di Simpang Lapan, selain karena pandemi, bisnis rumah makannya sedang sibuk-sibuknya. Konon kabarnya dia hendak membuka cabang rumah makan di Palembang. Kepada Engku Raoh dia berjanji akan membuat acara syukuran minum teh telur merayakan kesuksesannya membuka cabang rumah makan itu. Seluruh pelanggan teh telur Engku Raoh rencana diundangnya, tetapi entah kapan. Engku Kari, Engku Sut, Engku Lah, sudah berharap-harap cemas.

Engku-engku lain tentu masih banyak, sebanyak bentuk hidung yang hilir mudik masuk dan ke luar lepau itu. Nantilah, kita ceritakan di lain hari. Yang penting, dari segala yang penting, teh telur paling nikmat cuma satu, dan itu hanya ada di lepau Engku Raoh.

Untuk keterbacaan teks dan tampilan yang lebih baik, sila unduh aplikasi majalah elipsis di Play Store, tanpa memerlukan login. Kirim naskah ke majalah digital elipsis via email: majalahelipsis@gmail.com. Dapatkan bundel digital majalah elipsis (format PDF 100 halaman) dengan menghubungi redaksi di nomor WhatsApp 0856-3029-582.

Subscribe To Our Newsletter

Get updates and learn from the best

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Download versi aplikasi untuk kenyamanan membaca