Oleh Muhammad Subhan
ADA juga timbul pikirannya hendak merantau kembali, seperti di masa mudanya dulu. Meninggalkan kampung halaman, terus menyeberangi lautan, mengadu nasib di negeri jiran.
Namun, cepat-cepat pikiran itu dibuangnya jauh-jauh. Sebab, insaf dia, serancak-rancak kampung orang, lebih rancak kampung sendiri, meski hujan emas tak turun di kampungnya.
Di samping itu, sudah payah dia berjalan jauh, sudah tidak muda lagi, sudah gaat dia, sudah lebih banyak pergi ke surau daripada ke lepau.
Di kampungnya dia bisa setiap hari menikmati teh telur buatan Engku Raoh di Simpang Lapan, yang tentu saja susah dia dapatkan di kampung orang. Walau mungkin ada orang kampungnya membuka lepau pula di luar, tapi rasa teh telur buatan Engku Raoh tiada duanya. Belum ada yang melawan di lidahnya.
Di kaki Singgalang itu, Engku Sut masih dapat ia bercocok tanam, menabur benih padi dan memanennya di kemudian hari. Masih sering bersua Engku Kari, teman otanya, dan masih sama-sama hobi menangkap balam hutan.
Di belakang rumahnya, tumbuh pula cabai, kentang, bawang, seledri, kacang panjang, buncis, wortel, dan segala macam umbi-umbian. Pitih memang sulit, tetapi walau begitu, kebutuhan hariannya tercukupi, sehingga jarang dia pergi ke pasar. Bahkan kadang berlebih. Tanaman dapur itu pun dia jual online, dan disukai pedagang yang menjualnya kembali di pasar, atau etek-etek di rumah-rumah.
Timbul juga di benaknya mau membuat aplikasi di gawai, untuk menjual hasil ladangnya itu. Orang main aplikasi saja sekarang. Zaman semakin mudah. Cuan bisa datang sambil rebahan.
“Tak usahlah Engku merantau, di sini saja. Akan hilang kawan saya nanti. Lepau ini ramai karena ada Engku. Kalau Engku pergi, saya tutup lepau ini,” ujar Engku Raoh, suatu hari. Nadanya agak mengancam, tapi dalam gurauan.
Engku Sut senyum saja, sebab dia bergurau pula hendak merantau. Periuk dapurnya ada di kaki Singgalang, juga gelas teh telurnya.
“Kalau Engku merantau, saya ikut pula. Siapa lagi kawan saya berota?” garah Engku Kari.
Engku Sut senyum semringah. Kalau di Simpang Lapan, di lepau Engku Raoh, minum teh telur, uang tak ada, masih dapat ia dibayarkan Engku Kari. Dapat pula berutang kepada Engku Raoh. Di rantau? Belum tentu dia dapat kawan sedemian elok.
“Tidaklah, Engku. Sudah tak kuat lagi badan saya. Sudah sering sakit pinggang. Mau ngapain di rantau?” jawab Engku Sut.
Hari itu, kening Engku Sut yang sering tampak kusut berlipat dan kadang lipatannya melebih empat garis, tak terlihat lagi lipatannya. Konon kabarnya, kemenakannya di Palembang berkirim Skincare, macam-macam mereknya.
“Biar muka Mamak glowing,” kata kemenakannya itu.
Untuk keterbacaan teks dan tampilan yang lebih baik, sila unduh aplikasi Majalah Elipsis di Play Store, tanpa memerlukan login. Kirim naskah ke majalah digital elipsis (ISSN 2797-2135) via email: majalahelipsis@gmail.com. Dapatkan bundel digital majalah elipsis (format PDF 100 halaman) dengan menghubungi redaksi di nomor WhatsApp 0856-3029-582. Ikuti laman media sosial Majalah Elipsis (Facebook) atau @majalahelipsis (Instagram).