Mengkaji Ulang Rancangan Undang-Undang Penyiaran

Share on facebook
Share on twitter
Share on linkedin
Share on whatsapp
Share on telegram

Oleh Atthoriq Chairul Hakim

ADANYA Rancangan Undang-Undang (RUU) penyiaran mendapat sorotan yang tajam dari masyarakat sipil, maupun yang berkecimpung di bidang jurnalistik. Pasalnya, RUU ini merenggut kebebasan pers, masyarakat, dan perempuan dalam menyampaikan aspirasi, informasi, serta rentannya kekerasan berbasis gender jika diterapkan secara luas.

Kronologisnya, Indonesia telah memiliki undang-undang perihal penyiaran sejak tahun 2002. Namun, seiring perkembangan teknologi penyiaran, UU ini memang harus direvisi. Revisi yang dilakukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI ternyata berdampak besar terhadap kebebasan pers, penyampaian aspirasi masyarakat, dan hak kelompok rentan. Salah satu yang dibatasi RUU ini yang menjadi kontroversi adalah larangan penayangan jurnalistik investigasi.

Hal ini juga termuat dalam pasal 50 B Ayat (2) yang melarang konten berita yang ditayangkan melalui media penyiaran, antara lain seperti penyiaran ekslusif jurnalisitik investigasi. Kemudian melarang konten yang dapat merusak nama baik, penodaan agama, radikalisme-terorisme, penghinaan, dan bohong. Ketentuan dari RUU ini tergolong karet, dikarenakan dapat menjerat jurnalis dan insan pers dalam proses kerjanya.

Selama ini tak sedikit jurnalis yang terjerat oleh Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2024 perihal perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi Transaksi Elektronik (ITE). Seharusnya dalam perancangan RUU ini melibatkan Dewan Pers, apalagi sekarang telah banyak profesor, ahli-ahli dalam bidang komunikasi, dan sebagainya, sehingga dapat menjadi pertimbangan dampak dari UU yang tidak merugikan publik khususnya insan pers.

RUU Penyiaran mengandung ketidakselarasan, seperti di antara kewenangan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) dan Dewan Pers yang diatur dalam Pasal 8A ayat q dan Pasal 42 ayat (2). Intinya, aturan tersebut memberikan hak kepada KPI untuk menyelesaikan sengketa pers. Meskipun begitu, selama ini penyelesaian sengketa pers sudah dilakukan dengan sangat baik dan tepat oleh Dewan Pers. Selain itu, Pasal 51 huruf E RUU juga menentukan bahwa Keputusan KPI mengenai sengketa tersebut dapat diajukan ke pengadilan.

RUU tersebut justru menurunkan kualitas jurnalisme di Indonesia. Perlu ditekankan bahwa pentingnya Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers sebagai pedoman yang menghalangi pengawasan dan penindasan serta menjamin kebebasan pers yang baik. RUU Penyiaran yang sedang diproses di DPR seharusnya tidak disetujui.

Profesor Asep Saeful Muhtadi, seorang Guru Besar Ilmu Komunikasi di UIN Sunan Gunung Djati menyatakan bahwa media massa memiliki peran yang sangat penting, bukan hanya sebagai penyedia informasi, hiburan, dan pendidikan, tetapi juga sebagai lembaga pengawas. Indeed, the press is not a state institution like the DPR which has the authority to conduct supervision firmly. Namun, seringkali pengawasan yang dilakukan oleh lembaga negara seperti DPR tidak selalu efektif. Saat ini terlihat bahwa DPR dan pemerintah bekerja sama untuk menciptakan undang-undang yang merugikan bagi rakyat.

Publik hanya mempunyai waktu beberapa bulan untuk memperjuangan RUU Penyiaran yang terindikasi dapat merenggut hak-hak pers, dan masyarakat, sebelum diresmikan yang direncanakan pada bulan September 2024 mendatang.

Semoga saja kemerdekaan pers benar-benar dilindungi sehingga informasi yang selayaknya dapat diketahui publik karena kebermanfaatannya diberi porsi seluas-luasnya tanpa intervensi dalam bentuk apa pun dan dari pihak mana pun.

Sebagai autokritik, tentu saja, untuk mencapai harapan tersebut di atas, pers tetap menjaga kualitas dan keberimbangan informasi (cover both side), sehingga tidak merugikan pihak mana pun. (*)

Atthoriq Chairul Hakim
Mahasiswa Jurusan Antropologi Budaya Institut Seni Indonesia (ISI) Padang Panjang dan Tim Jurnalis UKM Pers Pituluik ISI Padang Panjang, berdomisili di Padang Panjang.

Untuk keterbacaan teks dan tampilan website majalahelipsis.com yang lebih baik, sila unduh aplikasi majalah elipsis di Google Play atau APP Store, tanpa memerlukan login. Kirim naskah ke majalah digital elipsis (ISSN 2797-2135) via email: majalahelipsis@gmail.com. Dapatkan bundel digital majalah elipsis (format PDF 100 halaman) dengan menghubungi redaksi di nomor WhatsApp 0856-3029-582. Ikuti laman media sosial Majalah Elipsis (Facebook) atau @majalahelipsis.

Subscribe To Our Newsletter

Get updates and learn from the best

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Download versi aplikasi untuk kenyamanan membaca