Mengenang B.J. Habibie, Riri Satria dan Ananda Sukarlan Pengagum Berat

Share on facebook
Share on twitter
Share on linkedin
Share on whatsapp
Share on telegram

JAKARTA, majalahelipsis.com—Presiden RI ke-3 Bacharuddin Jusuf Habibie yang biasa akrab disapa Pak Habibie telah tiada. Beliau meninggal dunia di RSPAD Gatot Soebroto dalam usia 83 tahun, Rabu malam, 11 September 2019, pukul 18.00, silam. Kiprah B.J. Habibie dalam dunia teknologi dan ilmu pengetahuan perlu diteladani, begitu juga dengan sosoknya yang religius.

“Pak Habibie senantiasa memadukan pengetahuan, teknologi, serta nilai agama dalam merespons berbagai permasalahan. Banyak orang memiliki kesan mendalam pada sosok Pak Habibie,” ujar Riri Satria, pakar teknologi dan transformasi digital, dosen, serta pegiat sastra saat dihubungi majalahelipsis.com, Rabu (13/9/2023), dalam rangka mengenang empat tahun wafatnya sang tokoh bangsa yang memberikan banyak teladan dan inspirasi itu.

Riri Satria pengagum berat Pak Habibie. Dia pertama kali bertemu dengan Pak Habibie ketika beraudiensi bersama rombongan finalis Lomba Karya Ilmiah Remaja (LKIR) Nasional tahun 1987 yang diselenggarakan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI).

“Kami diterima Pak Habibie di ruang kerjanya yang penuh dengan model pesawat terbang. Visi beliau mengenai masa depan Indonesia sangat menarik perhatian saya sebagai anak muda yang baru berusia 17 tahun di masa itu,” kenang Riri Satria.

Riri Satria bersama rombongan Finalis Lomba Karya Ilmiah Remaja (LKIR) Nasional di ruang kerja B.J. Habibie di BPPT, Jakarta, Agustus 1987. (Foto: Dok. Riri Satria)

Bagi Riri Satria, sosok Habibie bukan sekadar scientist. Dia jauh lebih dahsyat dari itu. Habibie seorang inspirator sekaligus motivator. Habibie mengajarkan teknologi yang humanistik.

“Teknologi harus mampu menyentuh sisi manusiawi kita, maka dia menjadi tepat guna. Seorang scientist tidak boleh kehilangan aspek humanistik ini. Itu yang dimiliki Pak Habibie,” ungkap Riri Satria.

Riri melanjutkan, saat itu Pak Habibie menatap dirinya dengan sorot mata tajam, ketika ia tanya posisi ilmu sosial dalam dunia yang sarat perkembangan sains dan teknologi. Beliau mengatakan, sains dan teknologi tanpa ilmu sosial akan menjadi liar, tidak jelas manfaatnya untuk umat manusia. Ilmu sosial dan juga kemanusiaan harus mengawal sains dan teknologi.

“Dalam kesempatan lain, saya pernah menyimak kata-kata Pak Habibie bahwa salah kalau orang beranggapan scientist atau engineer itu jiwanya kering. Justru sebaliknya, harus peka terhadap isu-isu sosial dan kemanusiaan. High tech, high touch! High tech itu maksudnya high technology atau teknologi tinggi. Sedangkan high touch adalah human touch atau sentuhan manusiawi yang tinggi juga. Jadi teknologi tinggi dan sentuhan manusiawi yang juga tinggi harus berjalan beriringan. Ini adalah konsepnya John Naisbitt menyikapi perkembangan sains dan teknologi saat ini dan Pak Habibie jauh-jauh hari sebelumnya sudah memiliki pemikiran itu sebelum Naisbitt,” ujar Riri Satria melanjutkan kenangannya terhadap B.J. Habibie.

Menurut Riri Satria, sosok B.J. Habibie seperti Albert Einstein, juga menulis puisi. Dalam sebuah surat kepada sahabatnya, Einstein pernah menjelaskan bahwa puisi mengasah kepekaan humanistik. Puisi membuatnya menjadi lebih bermakna sebagai manusia.

“Pak Habibie juga begitu. Ketika rasionalitasnya buntu, maka dia pun menulis puisi walaupun mungkin puisinya tidak sedahsyat Rendra. Pak Habibie juga permah mengatakan bahwa tanpa cinta, kecerdasan itu berbahaya. Tanpa kecerdasan, cinta itu tidak cukup. Cinta adalah fondasi semua perilaku humanistik.” Riri menutup kenangannya tentang sosok Habibie.

Ananda Sukarlan bersama B.J. Habibie saat konser “Sebuah Simfoni tentang Perempuan” di Perpustakaan Habibie Ainun, di Patra Kuningan, Jakarta Selatan pada tahun 2018. (Foto: Dok. Ananda Sukarlan)

Sementara Ananda Sukarlan yang dikenal sebagai pianis, musisi, dan komponis dengan reputasi internasonal, punya kenangan yang sama dengan Riri Satria. Bagi Ananda Sukarlan, B.J. Habibie seorang tokoh yang berjasa dalam karier musik yang ia tekuni hingga kini.

“Saya pernah menggarap sebuah acara yang diminta Pak Habibie untuk mengenang istri beliau, Ibu Ainun. Pada 11 Agustus 2018, saya diminta Pak Habibie mengadakan konser dengan tema “Sebuah Simfoni tentang Perempuan” yang bertepatan dengan peringatan ulang tahun Ibu Ainun. Saat itu saya membawakan beberapa lagu di Perpustakaan Habibie Ainun, di Patra Kuningan, Jakarta Selatan,” kenang Ananda Sukarlan.

B.J. Habibie pernah meminta Ananda Sukarlan untuk membuatkan sebuah “monumen” untuk mengabadikan kisah cintanya dengan almarhumah istrinya, Dr. Hasri Ainun Habibie. Lalu Ananda menciptakan “Chamber Symphony In Memoriam Ainun Habibie” kemudian direkam dalam bentuk CD dan telah mendapat sambutan luas dari media, kritikus, dan penikmat musik klasik dalam dan luar negeri.

Atas kesuksesannya ini, Yayasan Habibie-Ainun meminta Ananda Sukarlan untuk membuat sebuah karya lagi, untuk mengeksplorasi aspek-aspek yang berbeda. Kali ini Ananda mengambil ide Habibie yang bercita-cita untuk membawa Indonesia ke jenjang hi tech and hi touch sebagai dasar dari karya barunya.

“Ketika menyiapkan acara tersebut, saya selalu berdiskusi dengan Pak Habibie untuk mendalami rasa dan suasana yang diinginkan. Hingga satu ketika, ada pernyataan beliau yang membuat rasa nasionalisme saya tersentil. Pak Habibie mengatakan, Ananda, kamu orang Indonesia. Jangan sampai kehilangan keindonesiaanmu dalam karyamu dalam karya-karyamu. Saat itu Pak Habibie juga berpesan agar saya menciptakan musik yang mengangkat kekayaan seni dan budaya Indonesia serta menemukan bibit-bibit musikus hebat di Tanah Air. Itulah yang menjadi pemicu dan penyemangat saya dalam aktivitas bermusik selanjutnya,” ungkap Ananda Sukarlan.

Salah satu karya monumental Ananda Sukarlan adalah “Rapsodia Nusantara”. Ketika memainkan “Rapsodia Nusantara” Ananda selalu mengingat Pak Habibie. Sebab karya ini mendapat dukungan dari beliau serta menginspirasi Ananda untuk membuatnya.

“Menurut Pak Habibie, lewat ‘Rapsodia Nusantara’ kita dapat memperkenalkan Indonesia ke kancah Internasional, seperti tradisi musik klasik,” ujar Ananda Sukarlan.

Video “Trbute to B.J. Habibie” yang digubah Ananda Sukarlan dapat disimak di YouTube: https://www.youtube.com/watch?v=yvTSC1L232U

Penulis: Tiara N. S.
Editor: Muhammad Subhan

Untuk keterbacaan teks dan tampilan website majalahelipsis.com yang lebih baik, sila unduh aplikasi majalah elipsis di Play Store, tanpa memerlukan login. Kirim naskah ke majalah digital elipsis (ISSN 2797-2135) via email: majalahelipsis@gmail.com. Dapatkan bundel digital majalah elipsis (format PDF 100 halaman) dengan menghubungi redaksi di nomor WhatsApp 0856-3029-582. Ikuti laman media sosial Majalah Elipsis (Facebook) atau @majalahelipsis (Instagram).

Subscribe To Our Newsletter

Get updates and learn from the best

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Download versi aplikasi untuk kenyamanan membaca