Oleh Khairul Arifin, S.Pd.I.
BAGI bangsa Indonesia, hidup dalam keragaman yang sangat komplek sudah menjadi sebuah keniscayaan. Sebagai bangsa dengan tingkat keragaman yang tinggi dalam hal jumlah agama yang dianut, suku, bangsa, ras, bahasa, dan budaya, mengharuskan kita siap menghadapi berbagai macam keragaman.
Para pendahulu dan pendiri Negara telah merumuskan ideologi negeri ini berupa Pancasila yang memiliki semboyan Bhineka Tunggal Ika sebagai pedoman bagaimana kita menjalani kehidupan sebagai bagian dari bangsa ini. Sehingga sampai sekarang, dengan menjunjung tinggi persatuan dan kesatuan, bangsa Indonesia masih bisa menghirup keleluasaan dalam menjalankan keyakinannya masing-masing secara harmonis. Sebuah keadaan yang patut kita syukuri.
Keragaman yang kita miliki ini bisa kita sikapi sebagai suatu hal yang harus kita syukuri. Semua ini adalah salah satu jenis kekayaan yang tidak ternilai harganya bagi bangsa kita. Oleh karena itu, sangat penting menjaga dan memelihara sikap hubungan baik antarumat beragama di Negara Indonesia.
Kita menyebutnya dengan istilah tasāmuḥ atau toleransi. Toleransi secara bahasa berasal dari bahasa latin tolerare, yang berarti sabar dan menahan diri, tenggang rasa, dan tepo seliro. Toleransi juga dapat berarti suatu sikap saling menghormati dan menghargai antarkelompok atau antarindividu dalam masyarakat atau dalam lingkup lainnya.
Sikap toleransi dapat menghindarkan masyarakat dari terjadinya sikap membedakan pihak tertentu karena adanya alasan perbedaan (diskriminasi), walaupun perbedaan itu adalah suatu kenyataan.
Sedangkan toleransi beragama adalah sifat atau sikap saling menghargai antarumat yang berbeda agama. Memperkenankan masyarakat untuk dapat beribadah sesuai dengan ajaran agama dan kepercayannya masing-masing. Bukan mencampuradukkan antarajaran agama. Hal ini didasarkan atas suatu kenyataan bahwa manusia merupakan makhluk individu sekaligus juga sebagai makhluk sosial.
Sebagai makhluk individu ia mempunyai kecenderungan untuk sendiri dan merefleksikan kediriannya. Sebagai makhluk sosial manusia diwajibkan untuk mampu berinteraksi dengan pihak lainnya dalam rangka memenuhi kebutuhan hidupnya. Dalam menjalani kehidupan sosial bermasyarakat, seorang individu akan dihadapkan dengan kelompok-kelompok yang berbeda dengan dirinya, termasuk yang berbeda agamanya.
Adapun dalam ajaran Islam, berdasarkan firman Allah Swt. pada Q.S. Al-Kafirun 1—6: “Katakanlah (Muhammad), ‘Wahai orang-orang kafir! Aku tidak akan menyembah apa yang kamu sembah. Dan kamu bukan penyembah apa yang aku sembah. Dan aku tidak pernah menjadi menyembah apa yang kamu sembah. Dan kamu tidak pernah (pula) menjadi penyembah apa yang aku sembah. Untukmu agamamu, dan untukku agamaku’.”
Perintah tentang sikap toleransi juga tersirat pada ayat-ayat lain, yaitu sikap dan perilaku yang dapat diterapkan sebagai penghayatan dan pengamalan Q.S. Al-Kāfirūn ayat 1—6 sebagai berikut:
Pertama, hendaknya setiap mukmin memiliki kepribadian yang teguh dan kuat. Kedua, masing-masing pemeluk agama bisa melaksanakan apa yang diyakininya benar dan baik sesuai dengan pemahamannya. Ketiga, setiap pemeluk agama akan dimintai pertanggunganjawab di hadapan Allah Swt.
Sedangkan sikap dan perilaku yang dapat diterapkan sebagai penghayatan dan pengamalan Q.S. Yūnus ayat 40—41, yaitu setiap orang mukmin harus taat pada Allah Swt. dan rasul-Nya, hendaknya orang mukmin mengetahui bahwa Allah Swt. adalah pemelihara dan pembimbing kita semua, dan orang yang tidak beriman menolak mempercayai Nabi Muhammad saw. sebagai rasul Allah Swt. dan semua apa yang dibawanya.
Mereka berhak untuk berpisah secara baik-baik dan masing-masing akan dinilai oleh Allah Swt. serta diberi balasan dan ganjaran yang sesuai.
Kemudian, sikap dan perilaku yang dapat diterapkan sebagai penghayatan dan pengamalan Q.S. Al-Kahfi ayat 29, yaitu nilai kebenaran (ḥaqqullāh) adalah sesuatu yang pasti dan menjadi harga mati, sebab sumbernya dari Allah Swt. yang tidak boleh diubah atau diabaikan. Keuntungan dan kemanfaatan dari keimanan kita kepada Allah Swt. akan kembali kepada diri kita sendiri, dan mereka yang mengingkari serta menolak ayat-ayat Allah Swt. akan merugi dan celaka.
Selanjutnya, sikap dan perilaku yang dapat diterapkan sebagai penghayatan dan pengamalan Q.S. Al-Ḥujurāt ayat 10—13 yaitu, sesama orang mukmin harus mempunyai jiwa persaudaraan yang kokoh, meskipun berbeda bahasa, suku bangsa, adat kebiasaan, ekonomi-sosial, tetapi mereka satu ikatan persaudaraan. Sesama orang mukmin tidak boleh mengolok-olok, mengejek, menghina satu sama lainnya. Sesama orang mukmin tidak boleh memanggil orang mukmin lain dengan panggilan atau sebutan yang buruk. Orang mukmin dilarang berburuk sangka, dan orang mukmin harus mengikuti perintah untuk sadar dan mengakui bahwa di sisi Allah Swt. semua manusia sama kedudukannya, yang membedakan derajat mereka adalah ketakwaannya.
Toleransi dijaga untuk mempertahankan keharmonisan dalam kehidupan kita. Harmonisasi akan menciptakan kedamaian, yang bisa memberikan ruang kondusif bagi kita untuk menjalani kehidupan yang damai, sejahtera, serta mempererat persatuan dan kesatuan bangsa.
Khairul Arifin, S.Pd.I., merupakan guru Al-Qur’an Hadis di MAN 2 Mojokerto, Jawa Timur. Aktif dalam kepengurusan di MGMP Al-Qur’an Hadis MA se-Kabupaten Mojokerto. Berasal dari Probolinggo dan berdomisili di Mojokerto.
Penulis: Khairul Arifin
Editor: Fataty Maulidiyah
Sumber ilustrasi: I Stock
Untuk keterbacaan teks dan tampilan yang lebih baik, sila unduh aplikasi Majalah Elipsis di Play Store, tanpa memerlukan login. Kirim naskah ke majalah digital elipsis (ISSN 2797-2135) via email: majalahelipsis@gmail.com. Dapatkan bundel digital majalah elipsis (format PDF 100 halaman) dengan menghubungi redaksi di nomor WhatsApp 0856-3029-582. Ikuti laman media sosial Majalah Elipsis (Facebook) atau @majalahelipsis (Instagram).