Oleh Muhammad Subhan
“Sudah dua tahun awak tak boleh ke luar, Engku,” ujar Etek Imar kepada Engku Tau ketika ia bersua di Padang. Dua tahun yang sesak dihondoh pandemi. Semua orang merasakan pahitnya.
Etek Imar mudik. Ke luar Simpang Lapan.
Kini, Etek Imar, Engku Tau, dan banyak orang lainnya terjebak macet mudik dan arus balik. Libur hari raya tahun ini orang-orang tumpah ruah di jalanan.
Oto-oto rancak orang rantau, orang kampung, dan orang kota merangkak merayap dengan sangat lambat. Hari itu, kalau ke arah Bukittinggi tampak macet padat, sementara dari Bukittinggi ke Padang sedikit lapang, tak terlalu macet, kecuali di beberapa simpang.
“Ondeh, jam berapa pula awak sampai ke Simpang Lapan ini?” keluh Etek Imar kepada Sidar, kemenakannya. Mukanya tampak kusut, melebihi kusut Engku Sut.
Engku Sut entah ke mana mudik dia. Engku Kari mudik ke Pessel. Orang ramai ke Carocok. Melihat masjid terapung, katanya. Padahal, masjid itu di tepi pantai, bukan sebenar terapung di atas air. Cuma, ketika air laut pasang, tampaklah ia seperti terapung.
Di sepanjang jalan arus balik, terdengar di telinga Etek Imar suara riuh pengemudi oto, juga penumpang, terpekik melihat kemacetan. Senasib dengan dirinya. Beberapa orang bercarut, sebab tak sabar didera macet. Barangkali kurang jauh mudiknya, sehingga tak siap ketika berhadapan dengan kemacetan. Kalau sudah tak sabar, jangankan macet, teh telur sedang dibuat dan belum terhidang di meja, sudah bercarut-carut dia.
“Sabarlah kita juga, Tek, ujian mudik,” ujar Sidar, yang melihat kerisauan eteknya. Untunglah Etek Imar tak bercarut, berusaha kuat bersabar, meski terbit juga keluhnya.
Macet yang terjadi di jalanan banyak faktor penyebabnya. Kalau hari libur, apalagi hari raya, jalan dipenuhi oto, baik roda empat maupun roda dua. Oto itu oto orang rantau, juga oto orang-orang di kampung yang menjadi tujuan. Belum lagi oto umum, oto prah pengangkut barang, dan segala oto lainnya yang hilir mudik siang dan malam.
Kalau ada oto mogok di jalan, di salah satu jalur, sudahlah, dipastikan macet, apalagi kalau oto itu oto gadang. Mau dibawa ke tepi, oto tegak rusak payah diarak. Mau tak mau, pemilik oto memperbaiki oto-nya di tengah jalan, sambil menunggu datang bantuan.
Faktor lain kalau pengalihan jalur di jalan-jalan alternatif kurang tepat juga menjadi sumber masalah, apalagi kalau di simpang-simpang itu banyak “Pak Ogah”. Pak Ogah ini pemuda-pemuda setempat yang memberikan jasa bantuan mengarahkan oto agar tak terjebak macet. Niatnya baik, tetapi tak jarang aksi itu malah menambah panjang durasi macet sebab sempitnya badan jalan dan tingginya jumlah kendaraan.
Tak sedikit pula dari Pak Ogah itu yang memanfaatkan kesempatan di tengah kesempitan untuk mendulang cuan dari para sopir yang mereka bantu. Pitih dua ribu rupiah atau lebih dikalikan ribuan kendaraan yang melitas lewat di simpang-simpang itu, sudah berapa didapat. Namun, demikianlah, dalam hidup orang memang saling ketergantungan. Ada simbiosis mutualisme, kata Engku Raoh, pengusaha teh telur di Simpang Lapan itu.
“Ya, bagaimana lagi, Engku. Hari raya setahun sekali. Kita bawa senang saja,” ujar Engku Raoh kepada Engku Kari sebelum Engku Kari ikut mudik pula.
Berhari raya adalah sebuah kegembiraan. Orang rantau pulang. Kampung ramai. Orang kampung menyambut dengan suka cita sebab sudah lama tak bersua. Ada yang tahun-tahun sebelumnya bersua, kini tak lagi bersua sebab sudah tiada. Tinggal menjenguk pusara dan berkirim doa saja.
“Semoga kita kembali bisa mudik tahun depan, Engku,” ujar Etek Imar kepada Engku Tau sebelum mereka berpisah. Engku Tau mengangguk mengaminkan. Karena bagi Engku Tau, teh telur di kampung tak ada lawan. Teh telur itu pula yang mendorong kuat hasratnya untuk selalu ingin pulang.
Untuk keterbacaan teks dan tampilan yang lebih baik, sila unduh aplikasi Majalah Elipsis di Play Store, tanpa memerlukan login. Kirim naskah ke majalah digital elipsis (ISSN 2797-2135) via email: majalahelipsis@gmail.com. Dapatkan bundel digital majalah elipsis (format PDF 100 halaman) dengan menghubungi redaksi di nomor WhatsApp 0856-3029-582. Ikuti laman media sosial Majalah Elipsis (Facebook) atau @majalahelipsis (Instagram).