Maaf Bu, Aku Terlambat

Share on facebook
Share on twitter
Share on linkedin
Share on whatsapp
Share on telegram

Oleh Faizah Atifa

TETESAN air hujan itu jatuh membasahi tubuh Rani, termasuk air matanya. Hanya dia yang tersisa di sana sekarang. Tadi siang semua orang beramai-ramai datang ke pemakaman untuk menguburkan jasad yang ada di bawah tanah ini. Jasad itu adalah seorang wanita yang selalu disebut malaikat tidak bersayap. Dialah ibunya Rani. Rani tersenyum pahit sambil mengelus batu nisan ibunya.

“Bu, Rani datang, Bu ….”

Rani teringat sepuluh tahun lalu, saat itu dia baru saja mendapatkan ijazah SMP.

“Kamu akan bertunangan dengan si Rean, juragan tanah terkaya di sini.”

“Bu, aku ingin lanjut sekolah. Aku bisa kok, tetap kerja sambil sekolah, aku enggak akan ngerepotin Ibu.”

“Tapi kan waktu kerja kamu jadi sedikit. Lagian kalau sekolah pasti ada biaya untuk baju kamu, buku, sepatu, dan biaya biaya lainnya. Kamu pikir itu semua dibeli pakai daun, ha? Sudahlah, kamu hanya Ibu suruh tunangan, bukan nikah, kan?”

“Terus, habis tunangan Rani nikah sama orang lain, gitu maksud Ibu?”

“Ya enggak lah! Di kampung ini dia orang paling kaya. Lagian kalau tunangan dengan si Rean kamu harus nikah sama dia lah. Apa kata orang kampung nanti kalau kamu nikah dengan orang lain?”

“Ya sudah, kalau gitu Rani mau bekerja sama Om Bima saja.”

“Selangkah kamu pergi dari rumah ini, kamu akan menjadi anak durhaka!”

Teriakan ibu Rani menggema ke seluruh penjuru rumahnya. Dia mengejar Rani sampai ke depan pintu, tapi Rani tak mempedulikan ibunya lagi. Dia memekakkan pendengarannya dan berlari menuju pangkalan ojek yang akan mengantarkannya ke jalan besar yang sering dilalui bus menuju ibu kota, kota tempat omnya tinggal.

Sepanjang perjalanan Rani berdoa apa saja untuk kehidupan yang akan dia lewati selanjutnya. Dengan uang tabungannya selama ini dan beberapa baju yang dia bawa dengan tas sekolahnya sebelum meninggalkan rumahnya, Rani berharap bisa mengubah nasib keluarganya di kampung. Rani mengeluarkan foto mendiang ayahnya yang dia simpan di dalam tas sekolahnya. Dia mengusap foto itu.

“Ayah, maafin Rani. Rani masih mau meraih cita-cita Rani. Sejak ayah enggak ada, ibu jadi kalang kabut mencari nafkah. Bang Gani juga enggak mau bantu ibu sama sekali. Sekarang dia sukanya beli kartu untuk main bersama temannya. Rani sering dipukul kalau enggak ngasih duit pas dia mau beli kartu itu.”

Rani sudah capek dengan situasi di rumahnya. Ibunya selalu menyuruhnya bekerja ke sawah setelah pulang sekolah untuk biaya sekolahnya. Tapi abangnya selalu menghabiskan uang itu, padahal abangnya sudah tamat SMA sekarang. Dan setelah tamat SMP, ibunya menyuruhnya untuk bertunangan dengan juragan tanah yang suka berjudi, mabuk-mabukan, dan pelit untuk melunasi utang-uutang abangnya.

Sekarang Rani ingin ke rumah omnya. Ia tidak tahu apa yang akan terjadi padanya nanti. Tapi yang jelas, omnya mempunyai rumah makan di sana, minimal Rani bisa bekerja menjadi tukang cuci piring secara merdeka.

Dua hari berlalu, Rani pun sampai di depan komplek rumah omnya. Komplek perumahan itu sangat megah dan besar. Dari luar gerbang saja sudah tampak atap-atap yang menawan.

“Cari siapa, Neng?” tanya satpam yang berjaga di depan gerbang komplek itu.

“Maaf, Pak, apa Bapak tahu rumah Pak Bima di sini?”

“Neng siapanya Pak Bima ya?”

“Saya keponakannya, Pak.”

Gimana kalau Neng telepon beliau, biar dijemput ke sini saja?”

“Oh iya, kenapa enggak saya telepon dari tadi ya, Pak?”

Rani memukul jidatnya sendiri. Kenapa dia lupa hal sepenting ini?

Sekarang Rani sudah ada di depan rumah Bima, betapa besarnya rumah ini, kalau dibandingkan dengan rumahnya di kampung sudah seperti semut dan gajah saja.

Awalnya Bima memerintahkan Rani untuk menjadi pembantu di rumahnya. Rani tak masalah, sudah tidak ditelantarkan saja Rani sudah sangat bersyukur. Tapi karena kinerja Rani yang sangat ulet, apalagi dia ahli dalam memasak, Bima pun memerintahkan anak buahnya untuk mengajarkan Rani memasak makanan yang ada di rumah makannya.

Hari berganti minggu, minggu berganti bulan, bulan berganti tahun, Rani pun diangkat menjadi kepala koki di rumah makan milik omnya.

“Rani, kamu pelajari ya, tentang rumah makan ini. Om enggak punya anak, istri pun udah enggak ada, cuma kamu keluarga Om. Nanti kalau Om udah enggak ada, jangan biarkan rumah makan ini hancur, ya.”

“Eggak Om, Rani enggak berhak sama rumah makan ini. Rani udah nyusahin Om sejak lama, sekarang Rani malah keenakan dapetin hartanya Om.”

“Astagfirullah, Rani, kamu itu udah Om anggap anak sendiri. Kamu bukan mencuri harta Om juga, kan? Kalau kamu merasa udah merepotkan Om selama ini, maka sebagai gantinya kamu harus memajukan rumah makan ini sampai ke kancah internasional.”

Rani mengangguk. Dia merasa tertantang

“Insyaaallah Rani akan memajukan rumah makan ini, Om.”

Gitu dong, keponakan kesayangan Om.”

Air mata Rani menetes mengingat kejadian-kejadian yang menimpa hidupnya. Sekarang sudah dua tahun dia menjadi pemilik rumah makan mendiang Omnya. Dua tahun yang lalu pula Omnya meninggal dunia setelah menjalani operasi pengangkatan tumor. Dua tahun itu pula waktu yang dibutuhkan Rani untuk menyiapkan dirinya agar diterima dengan baik olah ibunya di kampung.

Tapi kenyataan tak sesuai harapannya. Ia ternyata terlalu lama meninggalkan keluarganya. Lututnya melemas, badannya tak berdaya. Air matanya berselancar deras membasahi kedua pipinya. Mulutnya tak bisa berkata apa-apa, oksigen terasa sangat lambat masuk ke organ pernapasannya. Hari yang dia tunggu tunggu, hari yang dia siapkan untuk memulai kehidupan baru bersama ibunya. Untuk menjadi anak yang berbakti kepada ibunya sudah lenyap.

“Ikhlas ya, Nak ….”

Hanya itu yang bisa dia dengarkan dari warga di sana, yang juga merupakan tetangganya.

Azan Zuhur pun berkumandang, bersamaan dengan selesainya proses penguburan jenazah ibunya. Ia menangis, tangannya tak henti-hentinya mengelus papan bertuliskan nama ibunya itu.

“Ibu, padahal sekarang ibu udah bisa makan di rumah makan yang sering ibu liat di TV warung Bu Yana dulu. Tapi sekarang, Rani harap ibu udah bisa makan makanan yang jauh lebih mewah, jauh lebih banyak, dan jauh lebih bagus dari makanan yang Rani bisa buat sekarang, Bu. Maafin Rani Bu, jangan sebut Rani anak durhaka di sana, Bu ….”

Senja jatuh. Rani masih bersimpuh di sisi pusara ibunya. (*)

Padang Panjang, 10 september 2024

Faizah Atifa
Lahir di Padang, 31 Agustus 2008. Saat ini duduk di bangku XI Ibnu Sina Putri, MA KM Kauman Muhammadiyah Padang Panjang. Ia suka membaca karya sastra. Cerpen ini karya Faizah saat mengikuti Pelatihan Menulis Kreatif bersama penulis Muhammad Subhan di Pondok Pesantren Kauman Padang Panjang.

Untuk keterbacaan teks dan tampilan website majalahelipsis.com yang lebih baik, sila unduh aplikasi majalah elipsis di Google Play atau APP Store, tanpa memerlukan login. Kirim naskah ke majalah digital elipsis (ISSN 2797-2135) via email: majalahelipsis@gmail.com. Dapatkan bundel digital majalah elipsis (format PDF 100 halaman) dengan menghubungi redaksi di nomor WhatsApp 0856-3029-582. Ikuti laman media sosial Majalah Elipsis (Facebook) atau @majalahelipsis.

Subscribe To Our Newsletter

Get updates and learn from the best

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Download versi aplikasi untuk kenyamanan membaca