Oleh Fataty Maulidiyah
SEJAK kecil saya menyukai buku, meskipun koleksi buku saya tidak seberapa. Yang saya baca pun tidak sampai ratusan. Ibu yang memperkenalkan pada saya bahwa membaca buku adalah satu hal yang sangat menarik. Sekitar kelas 2 MI setiap kali pulang dari tugasnya sebagai kepala sekolah, di tempat saya sekolah juga, ibu selalu membawa 3—4 buku agar saya baca. Mungkin juga supaya beliau tidak repot meladeni berbagai pertanyaan saya, apalagi setiap hari beliau kelelahan.
Selain membaca buku dari perpustakaan sekolah, saya juga sering berkelana di pasar untuk mengunjungi toko buku bekas. Saat itu pusatnya di Pasar Kliwon Kota Mojokerto. Banyak sekali di salah satu lorongnya berderet-deret penjual buku bekas. Masih terlihat rapi, dan bagus sampulnya. Selain buku, ada juga majalah bekas, buku-buku pelajaran, komik, dan buku tuntunan salat maupun kumpulan doa.
Beberapa waktu kemudian, ketika ada salah satu plaza didirikan di Mojokerto sekitar awal tahun 1990-an, hanya berjarak 500 meter saja dari gang rumah saya, namanya Mojo Indah Plaza, ada Gramedia di sana. Tempatnya nyaman, bersih, dan bukunya terlihat baru, menarik, bersegel, ditata rapi pada rak-rak yang bagus. Saya sering berkunjung, meskipun hanya untuk membaca saja. Akan tetapi, toko buku Gramedia tersebut akhirnya tutup juga, lantaran sepi pengunjung setelah tiga tahun buka.
Pandemi Picu Tutupnya Toko Buku
Daya minat baca di Indonesia memang masih rendah. Data tentang ini sudah seringkali digembar-gemborkan orang di berbagai tulisan ataupun seminar-seminar bertema literasi. Saya sampai bosan. Namun, fakta memang benar adanya. Dibandingkan dengan jumlah data pengguna internet tingkat dunia yang mencapai 200,6 juta menurut data Kominfo 2021, jumlah pembaca di negeri kita memang sangat minim.
Sehingga pada masa pandemi itu pula, Gramedia, sebagai salah satu toko buku terbesar di Indonesia menutup lebih dari 90 cabangnya. Namun, saya menyukuri, bahwa toko buku Gramedia yang ada di Sunrise Mall Kota Mojokerto sampai sekarang masih buka. Masih terdapat pengunjung yang keluar masuk di sana, bahkan sering menggelar bazaar buku diskon dan murah di lantai dasar.
Tak hanya itu, toko buku Togamas juga masih bertahan. Meskipun tidak begitu besar, tempatnya yang berganti-ganti di sekitaran Kota Mojokerto dari Jalan Pahlawan, Gajah Mada, dan terakhir lokasinya di Jalan Majapahit, sekitar beberapa ratus meter saja dari rumah sampai sekarang masih buka.
Toko buku lainnya yang sering saya kunjungi berkaitan dengan menambah koleksi kitab-kitab pesantren, yaitu Toko Hasan Bin Syaiban. Pemiliknya orang Arab. Sampai sekarang masih buka. Pembelinya kalangan santri dan guru-guru agama. Selain menjual buku, ada tasbih, kaligrafi, parfum, dan beberapa obat tradisional Arab.
Ada yang menarik ketika di masa pandemi tahun 2020 lalu yang menjadi pemicu gulung tikarnya berbagai toko buku, maupun lesunya dunia penerbitan saat ini. Sebuah lapak buku baru saja dibuka tepat di masa tinggi-tingginya kasus pandemi Covid-19. Toko buku bekas ini saya tenggarai baru hadir, karena berada di jalanan yang setiap hari saya lewati. Sebelumnya kios tersebut adalah warung. Saat ini berganti menjadi kios bertulis “Lapak Buku”, yang di dalamnya ditata rapi berbagai buku bekas maupun baru.
Lokasinya ada di depan SPBU Sooko. Terlihat sepasang suami istri menata buku diletakkan di bagian luar kios. Memasang rak-rak dan sebagainya. Mereka menunggu kios sembari membaca buku. Saya tidak habis pikir, mengapa mereka memilih menjadi penjual buku. Mengapa tidak memilih barang-barang lain yang lagi laris dijual, seperti makanan, pakaian, dan lain sebagainya? Sekali lagi, mengapa mereka memilih menjual buku?
Bukankah saat ini menjual buku tidak menjanjikan penghasilan yang besar? Bahkan sekelas Gramedia saja harus berani memutuskan tutup dari pada harus merugi?
Semangat Berliterasi
Hal serupa juga menjadi tanda tanya dan daya tarik saya, ketika melihat beberapa foto menggugah di Kota Rabhat, Maroko. Seorang laki-laki tua di sudut kiosnya yang menjual banyak buku bekas, bergunung-gunung. Dia bernama Ammu Mohammaed al Azizi. Fotonya viral di dunia fotografi karena keunikannya. Ia berusia 70 tahun dan menjual buku sejak tahun 1963. Selama lebih dari 50 tahun dia konsisten menjual dan terbiasa membaca buku enam jam sehari. Satu-satunya hal yang menarik baginya adalah membaca buku.
Jika saat ini gerakan literasi terbatas pada kalangan pendidik, akademisi, pelajar, dan mahasiswa, menurut saya, penjual buku justru memiliki peran besar dalam menghidupkan literasi. Sebelum ada program-program literasi, mereka lebih dulu menyosialisasikan betapa menariknya sebuah buku. Kata-kata yang berujung menjual sebuah buku memang murni cara pedagang menjual barangnya, tetapi bagi saya penjual buku sangat berbeda.
Memilih menjadi pedagang buku saja sebuah langkah berani di tengah persaingan memburu cuan yang makin sengit, alih-alih dapat untung banyak. Bisa jadi, mereka mengalami kerugian. Mengingat jumlah pembaca buku di negeri kita masih sedikit.
Ketika sempat mencari dan membeli beberapa buku di “Lapak Buku” yang terlihat baru buka, datang lelaki setengah baya melayani saya dengan baik. Menanyakan apa yang saya cari. Dia sangat fasih menyebut beberapa nama sastrawan lama, maupun generasi baru beserta judul-judul karangannya pada saya. Dia juga merekomendasikan novel luar negeri dengan menceritakan sekilas isinya.
Dalam hati saya kagum. Literasi bukan hanya dimiliki kaum terdidik secara akademis. Penjual buku bahkan jauh lebih literat dari pada saya sendiri. (*)
Fataty Maulidiyah, Tim Kreatif Kelas Menulis Daring (KMD) elipsis dan Tim Redaksi Majalah Digital elipsis. Berdomisili di Mojokerto, Jawa Timur.
Untuk keterbacaan teks dan tampilan yang lebih baik, sila unduh aplikasi majalah elipsis di Play Store, tanpa memerlukan login. Kirim naskah ke majalah digital elipsis (ISSN 2797-2135) via email: majalahelipsis@gmail.com. Dapatkan bundel digital majalah elipsis (format PDF 100 halaman) dengan menghubungi redaksi di nomor WhatsApp 0856-3029-582.