Kota Bunga dan Potret Padang Panjang dalam Novel Hamka

Share on facebook
Share on twitter
Share on linkedin
Share on whatsapp
Share on telegram

Oleh Muhammad Subhan

MEMBACA Padang Panjang adalah membaca keindahan. Kota kecil seluas 23 km³ ini diapit tiga gunung rancak; Singgalang, Tandikek, dan Marapi. Hawa udaranya sejuk. Airnya apalagi, mengalir jernih di lubuk-lubuk. Kehidupan masyarakatnya bersahaja. Nadi ekonomi berdenyut di jantung kota, dari sore hingga Subuh, terutama di pasar kuliner Padang Panjang. Hari balai (hari pasar yang ramai) Senin dan Jumat. Sebagian masyarakatnya mempunyai usaha rumah tangga (home industri).

Keindahan Kota Padang Panjang juga diabadikan Hamka dalam novel Tenggelamnya Kapal van Der Wijk yang fenomenal itu. Saya ceritakanlah agak sedikit, begini Hamka berkisah.

“Sebelum terjadi pemindahan pasar dari Pasar Usang ke Pasar Baru, adalah kota tersebut menjadi pusat perniagaan yang terbesar di bawah Padang, sebagai Kota Bukittinggi pada hari ini. Sampai terjadi peperangan dunia 1914—1918 yang hebat itu, kota Padang Panjang masih memegang kejayaan dalam urusan perdagangan. Pada masa itu masih dapat dilihat toko-toko yang besar, kedai kain yang permai, berleret sepanjang pasar, dekat jalan ke Mesjid Raya menuju Lubuk Mata Kucing. Di sanalah saudagar-saudagar yang ternama berjuang hidup memperhatikan jalan uang dan turun naiknya kurs. Saudagar-saudagar yang ternama, sebagai H.A. Majid, H. Mahmud, Bagindo Besar, H. Yunus, adalah memegang tampuk negeri tersebut, sekian lamanya.

Krisis perniagaan yang terjadi sehabis Perang Dunia telah menyebabkan kota itu lengang. Saudagar-saudagar yang masyhur dan ternama telah banyak yang meninggal dunia, sehingga dalam setahun dua saja, lenganglah negeri itu. Saudagar-saudagar telah pindah ke Padang, Bukittinggi, dan ada yang menyeberang ke negeri lain. Maka rumah-rumah besar, dan toko-toko yang indah dan kedai-kedai kain yang dahulunya dengan kain beraneka warna, kosonglah. Negeri Padang Panjang sepi jadinya, bagai negeri dikalahkan garuda.

Tetapi kesepian itu tidak dibiarkan lama oleh keadaan. Karena dalam tahun 1916 Tuan Zainuddin Labay mendirikan Sekolah Diniyah, satu sekolah agama yang mula-mula di Sumatera Barat, timbalan dari sekolah Adabiyah di Padang. Dalam tahun 1918 didirikan orang Sumatera Thawalib yaitu murid-murid dari Tuan Guru Haji Rasul yang dahulunya belajar secara pondok, model yang lama, telah diubah aturan pelajarannya dengan aturan sekolah pula, dengan kebijaksanaan seorang guru muda, bernama Hasyim dari Tiku. Pada masa itu pula, Gubernemen mendirikan sekolah Normaal di Padang Panjang.

Maka lantaran itu ramailah Padang Panjang kembali, bukan ramai oleh perniagaan, tetapi ramai oleh murid-murid mengaji, murid Sekolah Normaal yang datang dari seluruh Sumatera.

Sekali dalam setahun, di Padang Panjang diadakan pacuan kuda dan pasar malam, bernama keramaian adat negeri. Adat ini dilakukan di tiap-tiap kota yang terbesar di Sumatera Barat, sebagai Batusangkar, Payakumbuh, Bukittinggi, dan Padang. Maka keluarlah bermacam-macam pakaian adat lama, berdestar hitam, bersisit keris, menyandang kain sumbiri, sejak dari yang muda sampai kepada penghulu-penghulu. Kaum perempuan dari kampung-kampung memakai tikuluk pucuk…” (Hamka, “Tenggelamnya Kapal van Der Wijk”, Jakarta: Balai Pustaka, 1951, hal. 66—68).

Demikianlah Hamka menceritakan keindahan Padang Panjang dalam novel yang sudah difilmkan itu. Konon, ramainya orang mengaji dan bersekolah agama di Padang Panjang, disebut oranglah kota ini sebagai Kota Serambi Makkah, hingga sekarang. Dan, Padang Panjang layak menyandang gelar itu—dan semoga selalu terjaga dan tidak sekadar “sebutan saja”.

Banyak potensi Padang Panjang, mulai dari Kota Pendidikan, Kota Seni, Kota Sastra, Kota Literasi, Kota Santri, Kota Perniagaan, hingga berkemungkinan menjadi Kota Bunga. Saya membayangkan Padang Panjang seperti Tromso, sebuah kota di Norwegia yang di mana-mana orang melihat banyak bunga bermekaran, dan bukan hanya ada di kedai-kedai penjualan.

Padang Panjang berpeluang pula seperti Tromso. Karena kota kecil ini indah, apalagi kalau keindahannya itu dihiasi banyak pemandangan bunga. Dan, potensi itu sudah ada, tinggal dirawat menjadi pewarisan tradisi kota berbunga. Yang bukan sekadar ada, tetapi menjadi satu bagian dari denyut nadi warga kota.

Lihatlah di gerbang masuk Kota Padang Panjang, di Silaing Bawah, di sepanjang jalan, orang-orang menanam bunga-bunga indah. Tanaman hias itu ragam jenis dan rupa warnanya. Dari Silaiang hingga ke perbatasan kota jelang Penyalaian Tanah Datar, berderet-deret masyarakat membuka usaha tanaman hias. Halaman-halaman rumah warga juga penuh ditumbuhi tanaman hias, meski belum semua. Agaknya, masyarakat Padang Panjang menyukai keindahan melalui bunga-bunga yang dibudidayakan itu.

Menanam bunga telah menjadi bagian dari kearifan masyarakat Padang Panjang. Jika potensi ini dikembangkan, dan penggeraknya pemerintah kota melalui sebuah regulasi yang terjaga dan didukung warga, betapa dahsyatnya geliat ekonomi masyarakat kota ini suatu hari nanti.

Membangun branding Kota Bunga itu, pemerintah kota setiap tahun bisa berinisiatif menggelar Lomba Tanaman Hias di pekarangan rumah, atau juga menghelat Festival Tanaman Hias terbesar dengan melibatkan seluruh warga dan pedagang bunga di kota ini—tak menutup kemungkinan diikuti para pehobi bunga di kota-kota lain. Sebab, belum ada kota-kota di Sumatra Barat yang secara massal dan masif melakukannya. Tentu bisa mengundang MURI (Museum Rekor Indonesia) untuk mencatat rekor baru—sekian juta bunga dengan beragam jenisnya difestivalkan di Padang Panjang. Efek ekonominya, Padang Panjang akan menjadi sorotan banyak orang untuk datang, tidak hanya di Sumatra Barat namun juga dunia.

Dulu, di saat saya masih bertugas sebagai jurnalis aktif di sebuah surat kabar harian di Padang dan ditempatkan di Kota Bukittinggi, Kota Jam Gadang itu pernah mewacanakan tekadnya menjadi Kota Bunga. Namun, agaknya impian itu belum terwujud hingga kini—tidak tahu pula sebabnya apa. Namun, Padang Panjang yang didukung potensi masyarakat dan iklim udara yang sejuk, sangat berkemungkinan mewujudkan itu.

Menjadikan Padang Panjang sebagai Kota Bunga pengaruh ekonominya luar biasa. Akan tumbuh sentra-sentra perdagangan bunga baru yang dibuka masyarakat Padang Panjang. Juga munculnya berbagai usaha pembuatan pot bunga, penjual pupuk, penjual benih tanaman hias, hingga berbagai usaha kreatif masyarakat membuat kerajinan-kerajinan tangan bermotif bunga sebagai ikon Kota Padang Panjang.

Memang ini agaknya semacam mimpi. Namun, banyak hal terjadi karena dimulai dari mimpi. Dan, tak mustahil Padang Panjang mewujudkan mimpi itu lalu di saat terwujud selayaknya kita turut merayakan kebahagiaan bersama. (*)

Untuk keterbacaan teks dan tampilan website majalahelipsis.com yang lebih baik, sila unduh aplikasi majalah elipsis di Google Play atau APP Store, tanpa memerlukan login. Kirim naskah ke majalah digital elipsis (ISSN 2797-2135) via email: majalahelipsis@gmail.com. Dapatkan bundel digital majalah elipsis (format PDF 100 halaman) dengan menghubungi redaksi di nomor WhatsApp 0856-3029-582. Ikuti laman media sosial Majalah Elipsis (Facebook) atau @majalahelipsis.

Subscribe To Our Newsletter

Get updates and learn from the best

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Download versi aplikasi untuk kenyamanan membaca