Komunitas Seni Kebas Sukses Pentaskan “Senja” yang Deraikan Air Mata

Share on facebook
Share on twitter
Share on linkedin
Share on whatsapp
Share on telegram

BANDA ACEH, majalahelipsis.com—Komunitas Seni Kebas telah sukses mementaskan drama “Senja” di Gedung Tertutup Taman Seni dan Budaya Aceh pada 26 Oktober 2024. Pementasan ini merupakan salah satu program reguler UPTD Taman Seni dan Budaya Aceh.

Pertunjukan dimulai dengan panggung yang masih gelap, diiringi suara kicauan burung. Perlahan, cahaya muncul dari arah kiri belakang panggung, seakan-akan menggambarkan matahari terbit di balik plang bertuliskan Panti Jompo Senja.

Setting artistik ini ditata Nasruddin, yang akrab disapa Che’ Naz, bersama Jack Monarch, serta dibantu Denny Irfan dan Mahfud Ridha sebagai kru panggung. Nuansa rumah bergaya Eropa semakin terasa dengan suara radio yang perlahan-lahan menghilang, disusul dengan musik dan lagu pembuka yang merdu, menciptakan suasana pagi yang nyaman.

Adegan pertama menampilkan seorang lelaki tua yang duduk di bangku panjang, meletakkan radio di atas meja. Tampak seorang perempuan paruh baya bernama Bu Ratih (diperankan oleh Cut Ratna), kepala asrama yang penuh kesabaran dan kharisma, melayani para penghuni Panti Jompo Senja yang memiliki karakter beragam. Opa Adam (Riza Sachfan) tampil sebagai tokoh yang selalu sinis ketika diajak bicara, Opa Bowo (Faisal Amir) yang suka berbuat usil, dan Oma Ayu (Dede Sachfan) yang manja dan lembut.

Kehadiran Opa Bowo di Panti Jompo Senja atas keinginannya sendiri, untuk menemani Opa Adam, teman lamanya yang merasa kesepian setelah ditinggalkan anak-anaknya yang merantau ke luar negeri. Dialog dan interaksi kocak mereka berhasil menghibur penonton dengan tawa kecil yang menggambarkan kehidupan sehari-hari.

Konflik cerita semakin memuncak ketika Ningsih, putri Oma Ayu yang harus pindah tugas ke luar kota, menitipkan ibunya di panti jompo tersebut. Perasaan kesepian Oma Ayu terasa kuat dalam dialog emosionalnya dengan Opa Adam, yang berujung pada kambuhnya penyakit jantung Opa Adam. Panggung pun perlahan-lahan gelap.

Babak kedua diiringi kembali dengan lagu tema yang menyentuh, digarap oleh Mulya Syahputra pada keyboard/piano dan Yudi Amirul pada gitar akustik, serta vokal Icut Aprillia, yang berhasil membangun suasana yang mengharukan. Ketika Opa Adam kembali dari rumah sakit dan duduk di kursi yang sama, adegan romantis antara Opa Adam dan Oma Ayu mencapai puncaknya, dengan Oma Ayu yang diam-diam menyimpan rasa cinta untuk Opa Adam. Mereka bersepakat untuk menikah di Panti Jompo Senja, tetapi takdir berkata lain. Ketika mereka berbicara tentang masa depan, Opa Adam terdiam dan akhirnya meninggal di sisi Oma Ayu. Suasana menjadi haru, diiringi lantunan lagu yang menambah kesedihan suasana.

“Pertunjukan teater Senja membuat saya berharap agar anak-anak lebih peduli pada orang tua mereka yang tinggal di panti jompo. Saya merasa ingin segera pulang dan memeluk orang tua saya, menyadari betapa beruntungnya saya masih memiliki kesempatan untuk merawat mereka,” ungkap Syaiful, salah satu penonton setia teater.

“Alhamdulillah, saya merasa terhormat dipercaya memerankan tokoh Adam dalam pementasan ini. Sosok ayah yang rindu pada anak-anaknya yang merantau ke luar negeri ini mengajarkan saya tentang kesepian di masa tua,” ujar Riza Sachfan, pemeran Adam.

“Awalnya saya hanya melihat para seniman berlatih, namun akhirnya menerima tantangan sutradara untuk memerankan Bowo, teman Adam. Meski saya pemula, saya berhasil menghidupkan karakter ini, dan pengalaman ini memberikan banyak ilmu kehidupan bagi saya,” ungkap Faisal Amir atau yang akrab disapa Oleg.

“Saya sangat senang menerima naskah Senja dari Dede Nasmawati, seorang penulis naskah perempuan, yang sangat langka di Aceh. Kami berdiskusi intens tentang naskah ini, terutama pada pengembangan dramatiknya. Saya sangat menghargai kerja keras aktor-aktor dan semua kru yang terlibat dalam mewujudkan pertunjukan ini,” kata Zulfikar Kirbi, sang sutradara.

Pada tahun 2024 ini, Kepala UPTD Taman Seni dan Budaya Aceh telah memberikan dorongan besar pada dunia teater dengan mengadakan lima pementasan teater, membangkitkan semangat berkesenian di Aceh seperti era 80-an dan 90-an. (zl/aan)

Editor: Muhammad Subhan

Untuk keterbacaan teks dan tampilan website majalahelipsis.com yang lebih baik, sila unduh aplikasi majalah elipsis di Google Play atau APP Store, tanpa memerlukan login. Kirim naskah ke majalah digital elipsis (ISSN 2797-2135) via email: majalahelipsis@gmail.com. Dapatkan bundel digital majalah elipsis (format PDF 100 halaman) dengan menghubungi redaksi di nomor WhatsApp 0856-3029-582. Ikuti laman media sosial Majalah Elipsis (Facebook) atau @majalahelipsis.

Subscribe To Our Newsletter

Get updates and learn from the best

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Download versi aplikasi untuk kenyamanan membaca