Kisah Kita dan Rumah Pohon Itu

Share on facebook
Share on twitter
Share on linkedin
Share on whatsapp
Share on telegram

Oleh Syafira Fadilla

DUNIA masa kecil yang indah bagi Haneena dan Rahman. Mereka punya sebuah rumah pohon di tepi hutan. Rumah itu indah. Di bawah pohon, ada sebuah ayunan, tempat mereka bermain dengan riang gembira.

“Rahman, sini! Tolong dorongin ayunannya!” teriak Haneena. Rambutnya tergerai dibuai angin, bergelombang, dikepang dua dan diikat pita berwarna pink.

Seorang anak laki-laki bertubuh pendek, dekil, beranjak mendekati Haneena. Rambutnya acak-acakan.

“Iya, tapi kalau kau jatuh jangan nangis, ya?” seru Rahman.

Haneena mengangguk dengan senyum lucunya.

Rahman mendorong ayunan yang diduduki Haneena pelan agar Haneena tidak terjatuh.

“Kelak, kalau kau pergi jangan lupakan tempat ini. ya? Kau enggak boleh tinggalin rumah pohon. Ini rumah kita,” ujar Haneena.

Rahman mengangguk. Dia berjanji.

Dan, hari beranjak petang. Mereka harus pulang.

Begitulah, di hari yang lain, Haneena dan Rahman bermain kembali di rumah pohon mereka.


HANEENA telah dewasa. Ia duduk di bangku SMA.

Pagi itu, Haneena diantar ayahnya ke sekolah. Ayahnya membawa mobil. Saat memasuki kelas Hanena sebangku dengan teman lamanya. Bukan Rahman, tetapi Alea. Alea teman SD-nya yang cantik dan berprestasi.

Dan, siapa sangka, kalau ternyata Haneena juga satu kelas dengan Rahman. Rahman yang dulu ….

Hei, tunggu! Bocah kecil yang tengil itu kini sudah dewasa pula. Tubuhnya tinggi dan atletis. Garis wajahnya tegas, bahunya lebar, rambutnya terawat dengan baik, dan hidungnya mancung.

“Masyaallah, ini cowok ganteng banget,” gumam Haneena.

Rahman pura-pura tidak melihat Haneena. Ia tahu kalau Haneena sekelas dengannya.

“Woi! Bocil jelek! Sombong banget, sih!” Tanpa beban, Haneena memanggil sebutan itu kepada Rahman yang hendak beranjak ke kantin. Rahman menoleh.

“Hei, Haneena. Kau di kelas ini juga?” seru Rahman. “Lho, kok, kamu tetap pendek seperti bocah SD, tahu?” Rahman tertawa lebar. Dia sukses meledek Haneena pada pertemuan pertamanya di sekolah itu.

“Eh, kamu nge-bully aku, ya? Awas, kamu! Biasanya cewek pendek jodohnya cowok tinggi, lho?” celetuk Haneena tak mau kalah meski ia marah.

“Lah? Berarti aku, dong?” jawab Rahman pula, sekenanya.

Tanpa Rahman sadari, pipi Haneena bersemu merah. Dia salah tingkah.

Rahman yang melihat itu pun tertawa dan dia ingin sekali mencubit pipi gembul Haneena. Baginya itu menggemaskan.

Haneena langsung pergi ke luar kelas setelah sebelumnya dia menyenggol bahu Rahman.


DI RUMAH Haneena mengempaskan tubuhnya ke sofa dan memeriksa ponselnya. Tunggu! Siapa ini? Ada pesan masuk.

p
sv Aga
Kamu cantik banget.

“Hei! Aga? Dia yang orang kaya itu? Yang bener aja!” batin Haneena.

Haneena menjawab pesan Aga. Tanpa Haneena sadari, ada hati yang telah dia obrak-abrik. Yap! Benar! Dia Aga. Anak dari bos perusahaan besar di Jakarta. Entah mengapa Aga ingin sekali melihat wajah cantik itu, ingin sekali menanyakan namanya, rumahnya dan, ingin memilikinya.

Cukup mengerikan, padahal baru pertama kali Haneena dan Aga berpapasan di jalan. Aga jatuh cinta pada gadis itu. Ia ingin membuat Haneena bahagia dan dalam pikirannya itu mungkin terjadi.


HARI beranjak. Tiba bulan datang tahun.

Haneena telah kuliah dan mengambil jurusan Hukum, sementara Rahman jurusan Psikologi.

Namun, Haneena takut dan cemas. Ia merasa hidupnya diawasi seseorang. Bahkan, ketika ia pergi ke luar rumah, ia diikuti. Saat ia melihat bulan melalui jendela kamarnya, di kejauhan ada seseorang yang diam-diam memotretnya.

Ya, dia Aga. Siapa lagi?

Sangat mengerikan.

Bahkan, di rumah Aga, laki-laki itu menyimpan banyak foto Haneena di kamarnya. Juga ada sebuah lukisan wajah Haneena yang dilukis dengan darah Aga. Darah itu dia silet dari jarinya.


HANEENA mendengar suara ketukan di pintu depan. Ia bergegas membuka pintu dan mendapati Rahman serta orang tuanya datang dengan pakaian rapi.

“Kenapa, Man? Tumben rapi banget?” tanya Haneena kaget sembari menyalami takzim kedua orang tua Rahman.

Rahman tersenyum, sementara Haneena masih diselimuti tanda tanya.

Keterkejutan Haneena semakin sempurna ketika tiba-tiba kedua orang tua Rahman menyampaikan maksud kedatangan mereka kepada kedua orang tua Haneena.

Rahman melamar gadis itu.

“Ya, Allah. Apa aku tidak sedang bermimpi?” batin Haneena. Keinginan menikah dengan laki-laki tampan itu adalah doa-doanya sekian lama.

“Apakah Nak Haneena bersedia?” tanya ayah Rahman dengan tutur kata yang sopan dan lembut.

Haneena menoleh ke arah ayah dan ibunya. Ayah Haneea hanya mengangguk sambil tersenyum. Haneena tidak mengeluarkan sepatah kata pun. Dia hanya mengangguk pula, menandakan isi hatinya gembira dan setuju atas pinangan itu.

Sejenak, Rahman dan Haneena saling pandang, sama-sama tersenyum, lalu saling membuang muka. Malu.


DI MOMEN bahagia itu, ada seseorang yang marah, kecewa, dan berteriak histeris di kamarnya.

“Tidak! Haneena tidak boleh menjadi milik orang lain. Dia harus jadi istriku!”

Laki-laki itu memukul-mukul dinding kamarnya. Dia melempar benda apa pun yang ada di dekatnya.

Dialah Aga.

Laki-laki itu tahu dan mendengar kabar pernikahan Haneena dan Rahman.

Aga merencanakan sesuatu tindakan yang jahat. Dia berniat membunuh Rahman.


Di PAGI yang cerah, sepasang insan tersenyum bahagia. Hari itu Haneena berdandan cantik sekali. Dia mirip seorang putri. Haneena mengenakan gaun berwarna putih. Sementara di kepalanya ada sebuah mahkota permata.

Tak jauh dari duduk Haneena, Rahman memakai jas putih serta sebuah peci hitam. Laki-laki itu gagah sekali.

Hari itu adalah hari sakral bagi Haneena dan Rahman. Keduanya akan menikah.

Angin lembut menerpa wajah tampan Rahman. Sinar matahari yang masuk di sela-sela ventilasi udara menghangatkan suasana. Pun nyanyian burung di luar gedung, merdu sekali.

Sungguh, pemandangan yang menakjubkan.

Di tengah panorama alam yang indah, di saat itulah resepsi ijab kabul antara sepasang calon pengantin dimulai.

Rahman deg-degan. Dia menghela nafas dan bersiap menggenggam tangan ayah Haneena. Harus mengucapkan ijab kabul sebagai pertanda ia sah menikahi gadis pilihannya.

Kedua tangan telah saling berjabatan, antara Rahman dan ayah Haneena. Laki-laki itu megucapkan ijab kabul dengan lancar.

“Sah, sah, sah!” seru orang-orang yang menjadi saksi pernikahan itu.

Di saat ucapakan sakral itu menyeruak ke seisi gedung, tiba-tiba tubuh Rahman rebah ke lantai. Bersimbah darah. Orang-orang yang menyaksikanya terpekik histeris.

Di kejauhan, dari sebuah gedung yang lain, seorang sniper membidikkan senjata yang mematikan ke tubuh laki-laki itu.

Di hadapan penghulu dan kedua orang tua mempelai, Rahman jatuh terkulai sembari memegang dadanya yang berdarah. Kedua matanya memandang wajah Haneena dengan tenang. Lamat-lamat dia mengucap dua kalimat syahadat.

Haneena histeris menyaksikan peristiwa tragis itu. Kebahagiaannya yang baru dimulai, tiba-tiba diregut paksa oleh seorang pembunuh.

Peristiwa itu begitu cepat terjadi. Seisi ruangan buncah. Tak lama kemudian terdengar suara ambulans dan mobil polisi datang.


BEBERAPA tahun kemudian Haneena datang kembali ke gedung di mana ia melangsungkan pernikahan dengan Rahman. Di pemakaman, hampir setiap pekan ia menziarahi pusara suaminya itu. Meski telah menikah, ia tetap sebagai seorang gadis yang suci.

Di ruang di mana Haneena menyaksikan Rahman menjabat erat tangan ayah gadis itu, Haneena mengenang kehadiran Rahman dalam hidupnya. Suka, duka, canda, tawa, lengkap mewarnai kehidupannya ketika masih bersama Rahman, terutama di masa kecilnya ketika mereka bermain di rumah pohon di tepi hutan.

“Rahman, andai kau tahu, aku belum menemukan orang sebaik kamu, seperhatian kamu. Kaulah yang terbaik, Suamiku. Kau ingat rumah pohon kita, kan? Rumah itu telah lapuk ditelan semak belukar. Di mana janji kamu yang akan datang lagi bersamaku? Kamu di mana? Aku rindu kamu dorong ayunanku, kala itu. Aku rindu saat kita tertawa, bermain, dan bercerita di rumah pohon,” gumam Haneena menahan isak tangisnya.

Siapa pembunuh Rahman. Sudah tertebak. Aga! Ya, laki-laki berengsek itu mati bunuh diri di kamarnya yang mengerikan, dan polisi menemukan foto-foto saat Aga membidikkan senjata mematikannya ke tubuh Rahman. Dia merekam proses penembakan itu di dalam kameranya.

Haneena membaca berita di surat kabar dan mendengar cerita dari orang-orang yang dekat Aga dan dekat pula dengan dirinya. Sungguh, laki-laki itu tega menghancurkan kehidupan Haneena.

Angin bertiup lembut menyapu wajah Haneena. Dia belum beranjak dari gedung itu. Dia masih ingin bercengkerama dengan Rahman. Dan, tanpa ia sadari ada seorang di alam yang lain tersenyum lembut memandang dirinya yang cantik. (*)

Guguk, 22 Agustus 2024

Syafira Fadilla
Lahir di Ampang Gadang, 11 November 2008. Saat ini duduk di bangku kelas X-5 SMA Negeri 1 Kecamatan Guguk, Kabupaten Lima Puluh Kota, Sumatra Barat. Cerpen ini karya perdananya usai mengikuti kelas cerpen bersama Muhammad Subhan yang diselenggarakan SMA Negeri 1 Guguk pada 21—22 Agustus 2024.

Untuk keterbacaan teks dan tampilan website majalahelipsis.com yang lebih baik, sila unduh aplikasi majalah elipsis di Google Play atau APP Store, tanpa memerlukan login. Kirim naskah ke majalah digital elipsis (ISSN 2797-2135) via email: majalahelipsis@gmail.com. Dapatkan bundel digital majalah elipsis (format PDF 100 halaman) dengan menghubungi redaksi di nomor WhatsApp 0856-3029-582. Ikuti laman media sosial Majalah Elipsis (Facebook) atau @majalahelipsis.

Subscribe To Our Newsletter

Get updates and learn from the best

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Download versi aplikasi untuk kenyamanan membaca